Sudah tiga hari Labibah di rumah untuk menghabiskan waktu cuti. Pagi ini Labibah kembali bekerja, kembali bertemu rekan kerjanya yang sudah satu minggu tidak bertemu karena cuti menikah. Pagi ini Labibah benar-benar terkuras sekali tenaganya, sampai rumah masih berantakan. Labibah menuruti apa yang Fauzan inginkan. Apalagi yang Fauzan mau kalau bukan menghabiskan waktu di ranjang bersama istrinya.
Entah kenapa Fauzan yang katanya tidak cinta, katanya benci tapi malah keterusan minta Labibah melayani di atas ranjang hingga Labibah menahan sakit dibagian intimnya. Entah itu karena Fauzan marah pada Labibah dan melampiaskannya dengan bercinta, atau memang karena Fauzan ingin. Tapi, kalau ingin, harusnya Fauzan main dengan lembut, tidak kasar seperti yang dilakukan tadi pada Labibah.
Labibah tertekan sekali, baru tiga hari berada di rumah suaminya, dia mendapat perlakukan yang kasar. Tidak pernah Fauzan berkata lembut, dia selalu membentak Labibah, tatapannya juga menunjukkan kalau Fuzan sangat membencinya.
“Rumah belum beres dan rapi kamu sudah mau berangkat kerja?” ucap Fauzan dengan sinis.
“Makanya, biarkan asistenku di sini, atau kamu sewa asisten siapa gitu? Aku juga punya pekerjaan kok,” jawab Labibah.
“Kamu perempuan, seorang istri, kerjaanmu di rumah, urus rumah, urus kebutuhan rumah, urus suami, bukan di luar!” hardik Fauzan.
“Kamu juga seorang suami, harusnya kalau kamu mau istrimu di rumah saja, penuhi fasilitas yang baik dan membuat istri nyaman, bukan disuruh seperti budakmu. Cukup aku diperbudak kamu di atas ranjang, Mas! Aku manusia, bukan binatang!” seru Labibah dengan meninggalkan Fuzan.
“Mau ke mana?! Satu langkah kamu keluar dari pintu kamar, jangan harap kamu bisa terbebas dari siksaanku! Atau aku akan men ....”
“Akan apa? Menceraikan aku? Silakan! Aku malah bahagia, aku bisa terbebas dari laki-laki terkutuk seperti kamu! Laki-laki biadab yang tidak punya perasaan!” seru Labibah. “Aku punya tanggung jawab di luar sana, Mas. Aku pamit!” ucap Labibah dengan berlalu meninggalkan Fauzan di kamarnya.
“Hei ...! Berhenti! Kamu tahu aku suamimu, dan ini rumahku? Kamu harusnya menurut apa kata suami! Jangan membantah suami! Kamu tahu itu dosa besar, Labibah?” teriak Fauzan yang berhasil membuat Labibah menghentikan langkahnya.
“Dosa? Tahu apa kamu tentang dosa, Mas? Kamu memperbudak istrimu seperti pembantu apa kamu tidak berdosa? Menggauli istri kamu dengan kasar atau itu bukan dosa? Tahu apa kau tentang dosa, Mas Fauzan yang terhormat?!” tegas Labibah.
“Apa istri selamannya harus menurut apa kata suami? Oke, bisa aku menurut, tapi dengan suami yang seperti apa? Apa aku harus menurut dengan suami yang menyiksa istrinya? Apa aku harus nurut dengan suami yang tidak mencintai istrinya dan suami yang menggauli istrinya tapi selalu menyebut wanita lain yang mungkin sekarang dia sudah bahagia dengan orang lain?” ucap Labibah dengan tatapan nanar, wajahnya merah padam karena dia sangat marah dengan suaminya.
“Tadi kamu bilanga apa? Dia sudah bahagia dengan orang lain? Katakan sekali lagi Labibah, apa dia sudah dengan orang lain? Labibah, kamu tahu di mana Syafira? Katakan, Labibah!” teriak Fauzan.
“Aku tidak tahu soal Syafira. Aku hanya menebak saja dia sudah bersama orang lain. Bahkan sudah bahagia? Mungkin dia pergi meninggalkan kamu juga karena kamu kasar? Mana ada perempuan yang mendapat perlakuan kasar dari kekasihnya mau bertahan? Secinta apa pun perempuan itu dengan pasangannya, kalau dia mendapatkan perlakuan kasar, pasti akan pergi meninggalkannya. Apa hidup hanya untuk cinta melulu? Tidak, kan?” ucap Labibah.
“Aku tidak pernah kasar dengan dia! Karena aku sangat mencintainya!” ucap Fauzan.
“Kamu mencintainya tapi tidak tahu di mana dia? Hah lucu sekali!” ucapnya dengan sinis. “Aku tidak mau berdebat, masalah rumah pulang kerja akan aku bereskan, aku berangkat!” pamit Labibah.
Fauzan terdiam, tidak melarang lagi Labibah untuk berangkat kerja. Dia semakin penasaran dengan keberadaan Syafira. Fauzan yakin Labibah tahu soal Syafira yang sudah menghilang selama hampir dua tahun. Syafira menghilang tanpa sebab, tidak ada omongan apa pun, dan kedua orang tuanya pun tidak tahu Syafira pergi ke mana saat itu. Padahal satu minggu lagi Syafira akan menikah dengan Fauzan.
Sebenarnya Labibah tahu ke mana Syafira pergi. Tapi, dia tidak tahu di mana Syafira tinggal. Labibah hanya tahu kalau Syafira pergi ke Jakarta. Labibah juga tidak menyangka Syafira akan melakukan hal seperti itu, setelah membuat Labibah kecewa, dan membuat Labibah menyerahkan orang yang ia cintai untuk Syafira, tapi Syafira malah mengkhianati Fauzan dan menghilang begitu saja, saat akan menikah denga Fauzan. Dan, sekarang Labibah lah yang menanggung semua deritanya karena Syafira kabur, lalu kedua orang tua Labibah dan Fauzan berniat untuk menjodohkan Labibah dan Fauzan setelah hampir dua tahu Syafira menghilang tanpa kabar.
^^^
Siang ini, Labibah begitu disibukkan dengan pekerjaannya. Maklum hari senin memang hari yang sangat sibuk. Labibah sampai belum bisa istirahat, karena masih banyak sekali pekerjaan yang harus ia kerjakan hari ini.
Rekha, teman satu ruangan Labibah mendadak heboh karena ada seseorang yang sedang diagung-agungkan seantero Permata Medika.
“Dokter Fahri tuh? Huh ... gantengnya ... Masya Allah, andai saja dia mau melirik kita?” ucap Rekha.
“Siapa kamu, Kha? Gak mungkin seorang direktur rumah sakit melirik kamu?” ucap Gladis.
“Ih, kamu kalau ngomong? Ya kali saja ada keajaiban dari Tuhan, tiba-tiba Rekha dapat jodoh dokter setampan Dokter Fahri?” ucap Rekha antusias.
“Kalian itu bicara apa? Jangan halu deh kalian, mending bantuin aku nih,” ucap Labibah.
“Ih, mentang-mentang sekarang sudah menikah, gak mau tuh lihat Dokter tampan? Tuh lihat tuh, lirik dikit saja?” ucap Gladis.
“Oh Mas Fahri,” ucap Labibah keceplosan menyebutnya dengan panggilan mas.
“Mas? Sejak kapan Dokter Fahri jadi kakakmu?” tukas Rekha.
“Eh ma—maksudku Dokter Fahri,” ucap Labibah gugup.
“Duh mentang-mentang sudah punya mas di rumah, manggil dokter Fahri saja pakai mas?” ledek Gladis.
“Tau tuh!” tukas Rekha.
“Eh, tuh lihat dia melirik ke sini?” ucap Gladis, lalu menundukkan kepalanya sopan menyapa Fahri.
Fahri yang melihat Labibah sedang bersama kedua temannya, dia langsung bergegas mendekati ruangan Labibah.
“Saya tinggal ke sana dulu, ya? Mau ada urusan dengan istrinya temanku. Ya tadi belum sempat aku kasihkan titipan dari suaminya,” pamit Fahri dengan rekan kerjanya.
“Baik, Dok. Silakan,” ucapnya.
Fahri langsung berjalan ke arah ruangan Labibah. Dia langsung ke samping, ke arah pintu masuk ruangan Labibah. Untung saja saat ini Labibah sudah agak senggang pekerjaannya, hanya tinggal sedikit saja. Karena akan pergantian shif juga.
“Eh .. eh ... Dokter Fahri ke sini,” ucap Rekha kegirangan.
“Eh iya, duh aku sudah cantik, kan?” ucap Gladis dengan membenarkan jilbabnya.
“Gak usah kecentilan kamu, Dis!” tukas Rekha.
“Apaan, sih!” jawab Gladis.
“Kalian ribut amat, kek gak pernah lihat dokter tampan saja?” ucap Labibah.
“Bibah ... aku tahu kamu sudah punya suami, jadi gak ngaruh ada Dokter tampan. Udah ah, tuh kan beneran ke sini?” ucap Gladis dengan menunjuk ke arah kaca yang ada di sebelah pintu.
“Ngapain dia ke sini? Pasti mau tanya soal puisi itu?” gumam Labibah.
Pintu ruangan Labibah terbuka, Rekha dan Gladis menunduk ramah menyapa Fahri yang masuh ke ruangannya.
“Siang,” sapa Fahri denga ramah.
“Selamat siang, Dok?” jawab mereka dengan ramah.
“Bibah, kamu sudah berangkat? Bagaimana cuti kamu?” tanya Fahri.
“Ya biasa saja, Mas. Eh maaf, maksudku, Dok,” ucap Labibah gugup.
“Mas lagi? Kamu kesambet apa sih, Bibah?” seloroh Gladis.
“Tidak apa-apa, dia itu istri sahabat saya, mungkin ya karena kemarin kita baru saja bertemu, dan mengobrol cukup lama, jadi masih kebawa manggil saya mas,” ucap Fahri.
“Ih Bibah, kenapa gak bilang dia sahabat suami kamu sih?” ucap Rekha.
“Memang penting?” tanya Labibah.
“Ya penting lah,” jawab Rekha.
“Menurutku enggak penting, tuh?” ucap Labibah.
“Dokter Fahri ada urusan apa ke sini?” tanya Labibah dengan dingin.
“Urusan kita soal puisi itu belum selesai, Bibah,” jawab Fahri.
“Saya sudah bilang itu bukan punya saya, Dok? Itu puisi milik Rekha, iya kan, Kha? Kamu kemarin menulis puisi?” tanya Labibah pada Rekha.
“Puisi? Oh iya kemarin saya nulis puisi. Kita biasa kok bikin-bikin puisi kalau lagi gabut. Sama Mas Anton juga biasanya, tapi dia masuk siang,” jawan Rekha.
Beruntung, Rekha memang suka menulis puisi juga, sama seperti Anton. Jadi dia bisa menjawab tanpa Labibah kasih kode ke dia.
“Oh gitu? Lalu ini punya kamu?” tanya Fahri dengan menunjukkan lembaran kertas yang tertulis puisi milik Labibah di dalamnya.
Rekha membacanya, dan dia tahu itu puisi milik siapa. Gaya bahasa puisi itu juga sudah ketahuan kalau puisi itu milik Labibah. Apalagi di bawah ada nama pena Labibah yang digunakan di blog puisinya.
“Ini mah punya Bibah, Dok?” jawabnya tanpa ragu.
“Yakin ini milik Labibah?” tanya Fahri lagi.
“Yakinlah, Dok?” jawab Rekha dengan yakin.
“Bukan milik kamu?”
“Bukan ini jelas milik Bibah, Dok,” jawab Rekha. “Dis, ini milik Labibah, kan?” tanya Rekha pada Gladis.
“Iya lah, jelas ini juga ada nama penanya Bibah?” jawab Gladis.
Labibah tidak bisa berkutik lagi. Percuma saja dia berbohong pada Fahri. Dia menyembunyikannya karena dia tidak mau kalau suaminya mengetahui dirinya bisa menulis puisi. Dia juga tidak ingin kesalah pahaman lewat sebuah puisi di masa lalunya terkuak nyata.
“Kamu mau mengelak Labibah? Kenapa kamu bilang ini milik Rekha?” tanya Fahri.
“Bu—bukan maksud saya tidak jujur, Dok. Tapi ....”
“Tapi, apa? Kamu sepertinya takut sekali mengaku bisa menulis puisi di depan suami kamu?” ucap Fahri. “Ini sangat bagus sekali Bibah?” imbuhnya.
“Dok, bisa bicara sebentar? Kita bicara di Cafetaria saja, sekalian saya mau ke Masjid,” ajak Labibah.
“Oke, sekarang?” tanya Fahri.
“Iya, sekarang,” jawab Labibah.
“Dis, Kha, aku titip ini sebentar. Ada penting dengan Dokter Fahri, sekalian aku istirahat, aku juga belum sholat,” ucap Bibah.
“Iya, silakan,” jawab Rekha dan Gladis.
Mereka makin penasaran dengan Labibah, kenapa dia menutupi di depan Fahri kalau itu puisi miliknya?
Mungkin saatnya Bibah harus jujur soal puisi itu, dan meminta Fahri merahasiakan pada suaminya, kalau Labibah sebenarnya bisa menulis puisi, dan dia memang seorang penulis puisi di blog miliknya.
“Mungkin aku harus jujur pada Mas Fahri soal ini. Tapi, aku harus minta pada Mas Fahri untuk merahasiakan ini semua dari Mas Fauzan. Karena, belum saatnya Mas Fauzan tahu siapa pengirim puisi sebenarnya dari dulu,” gumam Labibah sambil berjalan di sisi Fahri.