Dia yang Istimewa

1301 Words
Nama kakakku Abimanyu. Ia lebih sering disapa Bimbim. Saat masih meringkuk dalam perut ibu, dokter mengatakan ia akan lahir dengan kelainan genetik. Namun ibu tetap merawatnya, melahirkannya, mengabaikan anjuran keluarga besar untuk menggugurkan kandungan. "Kakakmu istimewa, Abisena," kata ibu, selalu. "Tolong jaga dia." Sebelum bersekolah, aku banyak menghabiskan waktu bermain bersama kakak. Bisa dikatakan, ialah satu-satunya kawan bermainku. Dan aku baru mengerti keistimewaan kakakku yang dimaksud ibu saat menjadi siswa TK nol kecil, ketika banyak berkenalan dengan kawan baru. Saat itu mata seorang kawan menelisik kakakku yang berdiri di samping ibu yang menjemputku sekolah sembari berujar pada ibunya: "Dia aneh, Bu. Aku takut." Setiba di rumah aku memperhatikan kembali perilaku kakakku. Bicaranya diulang-diulang dan dan tidak jelas. Seperti sedang memainkan gelembung air dalam mulut. Bimbim tidak pernah memandangku saat bercakap-cakap. Matanya ke sana kemari. Ia lamban dan ketika marah ia akan sanggup membunuh dirinya pelahan-lahan dengan cakaran dan tamparan. Betul kata kawanku, Bimbim aneh, batinku saat itu. Seiring kedekatanku dengan kawan sekolah, aku mulai terpancing membeda-bedakan saat bermain dengan mereka dan saat bermain dengan kakakku. "Bu, aku tidak mau lagi bermain dengan Bimbim," kataku suatu Minggu pagi saat baru bangun tidur. Aku mendatangi ibu di dapur sembari mendekap mobil-mobilan yang baru dibelikan ayah yang kuajak tidur bersama setiap malam. Mobil milikku berwarna merah menyala sementara milik Bimbim hijau tua dan sudah rusak sejak tiga puluh menit dikeluarkan dari bungkusnya. "Pagi, Sena. Apakah tidurmu nyenyak?" Ibu mengabaikan ucapanku. "Lumayan," sahutku. Dan aku mengulang kembali ucapanku. "Aku tidak mau bermain dengan Bimbim mulai sekarang." Ibu menolehku. Tangannya cekatan mengaduk irisan bawang dan cabai dalam wajan. Aromanya membikinku bersin-bersin. Ia lalu mencemplungkan kangkung ke dalam wajan. "Benarkah? Kenapa?" "Bimbim aneh, Bu. Aku tidak sayang lagi padanya." "Kawan-kawanmu yang mengatakan itu padamu, Sena?" Aku diam, ragu-ragu untuk menjawab. Namun kemudian aku mengangguk. "Apakah menurutmu juga?" Aku mengangguk, "Bimbim tidak seperti semua kawanku di sekolah. Kawan-kawanku tidak ada yang aneh seperti Bimbim." "Jadi kamu tidak menyayangi Bimbim lagi?" "Ya, tidak mau sayang lagi," kataku. "Aku sayang kawan-kawanku di sekolah sekarang." "Baiklah, Sena. Tapi ibu mohon kamu rahasiakan percakapan kita dari Bimbim. Supaya dia tidak bersedih sebab kamu tidak sayang lagi padanya." Aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Kupikir ibu akan marah mendengarku. "Kamu sudah cuci muka, Sena?" Aku menggeleng. Tanganku spontan menyentuh liur yang mengerak di sudut bibirku. "Cuci muka dulu, ya. Setelah itu sarapan bersama." Aku terbiasa duduk berdekatan dengan kakakku saat makan dan pagi itu aku duduk menghindarinya. Ibu melambai pada Bimbim memintanya duduk bersama. "Abiya sedang kurang enak badan. Bimbim sama Ibu dulu, ya." Namun bukannya mendatangi ibu, Bimbim malah meraba-raba keningku. "Abiya. Abiya," katanya. Aku menepis tangannya. "Jangan ganggu. Aku mau makan, Bimbim," kataku ketus. Kakakku tampak terkejut. Ia kemudian bergerak menjauhiku. Kepada ibu ia berkata: "Abiya yah. Abiya yah. Ket Abiya. Abiya ket." Ibu mengangguk. Ia mengelus ubun-ubun kakaku. Katanya: "Iya, Sayang. Abiya marah-marah karena sedang sakit." Selama makan kakakku terus berceloteh agar aku segera istirahat dan makan obat. Karena tidak sayang lagi dengannya, aku tak tahan mendengarnya dan buru-buru ke kamar mengunci pintu. Aku bermain mobil-mobilan seharian dan menderita bosan sebab kesepian yang akut. Dan perasaan rinduku pada sekolah, pada kawan-kawan, benar-benar tak tertahankan. Senin pagi aku berangkat sekolah bersama ayah. Bimbim--seperti biasa--ingin ikut serta. Namun aku melarangnya. Sempat terjadi keributan kecil pagi itu, aku akan mogok sekolah jika Bimbim tetap memaksa ikut. Kami sama-sama menangis dan saling hajar. Ibu mengalihkan amarah Bimbim dengan dua pelepah daun pisang. Ia merayu kakakku untuk melipat daun itu menjadi koin bersama-sama. Keributan kecil terjadi lagi keesokan pagi. Bimbim kembali memaksa ikut. Aku menangis. "Aku malu punya kakak sepertimu," kataku. Saat itu ibu sedang ke pasar. Di rumah hanya ada Bimbim, aku, dan ayah yang bersiap-siap mengantarku sekolah. Kupikir ayah akan memarahiku yang berujar keterlaluan. Namun ayah justru memarahi Bimbim. Katanya kepada kakakku, Bimbim menyakiti Abiya hingga sedih dan menangis. Kakakku menarik-narik tanganku untuk meminta maafku. Kami bersalaman. Dan ia berhenti memaksa mengantarku sekolah bersama ayah. Saat melihat Bimbim menyeret kakinya menuju kamar, perasaan bersalah menghantuiku. Benarkah Bimbim menyakitiku? Aku senang ayah tidak memarahiku. Dan perasaan senang itu seperti penghianat yang bercokol di atas kebenaran. Sepanjang jalan menuju sekolah, aku menyimpan pertanyaan yang ingin sekali kuajukan pada ayah. Namun aku bungkam sampai kami tiba di gerbang sekolah bahkan saat di kelas pun aku banyak diam. Lalu aku menangis. Aku terluka oleh kekejian mulutku pada Bimbim. Aku mengacaukan keseruan teman-teman sekelas yang saat itu dibimbing guru menyanyi lagu satu-satu aku sayang ibu. Semua mata tertuju ke arahku. Bu guru menghampiriku, mengusap air mataku dengan tisu. "Kau kenapa, Sena?" Aku menggeleng lalu menyeka ingus yang mengalir dari lubang hidung dengan lengan seragam. "Apa Aldo mengganggumu?" Aldo yang duduk di sebelahku buru-buru menyahut: "Saya tidak melakukan apa-apa pada Sena, Bu." "Benar itu, Sena?" Aku mengangguk. Aldo mendesah lega. Ia kemudian berbisik di telinga guru kami. Sebuah bisikan yang bisa terdengar sampai ke kelas sebelah. "Pasti anunya digigit semut." Tawa seluruh penghuni kelas pecah. Tangisku makin kencang. Seakan di depanku sedang ada Bimbim yang mengadukanku ke ibu. Saat aku menangis sambil memejam, bayangan itu tampak sangat nyata bahkan detail motif daster ibu yang bergambar bunga-bunga kecil merah muda. Karena aku yang tak juga berhenti menangis setelah dibujuk-bujuk guru dan kawan-kawan. Kepala sekolah akhirnya menelepon orang tuaku di rumah. Saat itu aku pulang lebih awal dari jadwal, dijemput ibu. Kami berjalan beriringan. Ibu menggandeng tanganku. Sementara tangan satunya menenteng keresek jeruk yang ia beli pada pedagang yang mangkal di luar gerbang sekolah. Di depan kami, Bimbim berjalan sembari menyanyi dengan suara sengaunya. Ia tampak gembira bersama ibu menjemputku sekolah, seperti biasa. "Kau sudah kembali menyayangi Bimbim sekarang?" tanya ibu. Aku menoleh ibu sambil mengangguk mantap. Tadi saat di sekolah, aku meminta Bu Guru menelepon ibu agar menjemputku bersama Bimbim. Aku senang mendengar lagu yang dinyanyikan Bimbim meskipun pelafalannya kurang jelas. Dan aku tidak malu lagi mempunyai ia sebagai kakakku. Saudaraku satu-satunya. Jarak kami terpaut delapan tahun. Saat aku sudah fasih bicara, kakakku baru bisa bicara lima kata: Yayah, Bubu, Koen, dan Abiya. Lain daripada itu, bicaranya patah-patah dan susunan kalimatnya terbolak-balik. Bahkan hingga saat ini. Kendati ia sudah lumayan lancar bicara ia masih memanggilku Abiya. Ia menyukai koen baca: koin--yang terbuat dari daun pisang atau bungkus makanan ringan. Kami sering melipat pelepah daun pisang bersama-sama. Kakakku mengumpulkan koin mainan itu sampai mengering berwarna kecokelatan. Dan jika tersentuh tangan akan hancur. Biar begitu ia masih akan tetap menyimpan mainan itu dan tak seorang pun bisa mengambilnya. Ia menghitung seluruh kekayaannya itu dan apa bila tiba masanya ia sendiri yang akan meremas koin-koin itu hingga menjadi serpih. Aku suka melihat tawa lepasnya saat serpih daun kering itu berhamburan mengotori ruangan ataupun halaman jika ia menghancurkannya di sana. Di kamar ia memiliki kotak khusus untuk menyimpan koin yang terbuat dari plastik makanan ringan. Ia memperlakukan koin mainan itu seperti lego. Kakakku membuat rumah-rumahan dan robot dari koin-koin itu. Abimanyu, dalam Mahabarata adalah anak dari Arjuna dan Subadra. Dalam pewayangan Jawa ia punya banyak nama alias, salah duanya ialah Angka Wijaya dan Jaka Pengalasan. Arti namanya adalah pahlawan yang gagah berani. Aku sering berpikir nama kami mirip atau sebenarnya sama persis. Aku adalah bala tentara, sang penjaga. Begitu pula kakakku, jika ia gagah berani maka ia juga senantiasa melindungi. Namun ibu selalu menekankan akulah penjaga itu. Ia membisikkan kalimat itu ke telingaku sejak hari pertama aku melihat matahari. Orang-orang yang sok tahu mengatakan kakakku keberatan nama. Mereka menyarankan orang tuaku mengubah namanya. Abimanyu anak Dewa Bulan. Cerdas sejak dalam kandungan dan menawan. Nama itu, kata mereka, terlalu bagus untuk kakakku. Namun ibu menanggapinya dengan senyuman. Ia lalu menjauhkan kakakku dari mulut dan mata orang-orang itu. Kepadaku ibu berkata, "Jangan bermain dekat rumah mereka, Abisena. Jangan bawa kakakmu ke sana. Jaga kakakmu, Ibu mohon." Sepuluh tahun berlalu sejak hari itu dan aku pun telah sepenuhnya memahami namaku sebagai sang penjaga di mata ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD