Capsacain yang Berlebihan

1265 Words
Kami keluarga dan kami bertumbuh dengan menu makan yang sama dan pakaian yang direndam untuk dicuci dalam bak yang sama. Aku tidak ingat kapan tepatnya, peristiwa ini telah terjadi bertahun-tahun lalu. Aku pernah mengutarakan pada ibu bahwa kami memiliki aroma kentut yang seragam. Hari itu menu makan kami adalah nasi dengan lauk ikan asin goreng dan sambal petai dan gulai nangka. Ibu tidak memasak tiga menu itu setiap hari. Sebulan sekali saja, katanya. Sebab setelah mengkonsumsi trio yahud--begitu kami menamai menu kegemaran bersama itu--kami akan menderita kembung dan diare. Nangka dan santan adalah makanan bergas lumayan tinggi. Apalagi saat dipadukan dengan zat capsaicin yang berlebihan dalam sambal. Kelezatan trio yahud itu berbanding terbalik dengan dampak yang akan diderita oleh pencernaan kami. "Seragam?" Ibu mengernyit. Ia sedang mencongkel petai dari kulitnya yang keras kemudian meletakkan biji bulat itu ke dalam mangkok. Sudah tiga hari ibu memasak menu dengan campuran irisan petai di dalamnya. Saat itu musim penghujan dan di desa kami petai sedang berada di puncak musim. Petai di tangan ibu montok, sepertinya menua dengan baik saat masih di pohon. Warnanya hijau ranum, segar dan menggoda. Ayah dan ibu bisa melalap habis satu lonjor petai sendirian. Dengan ataupun tanpa sambal. Dan setelah itu, keduanya akan mengeluhkan sekujur badan yang pegal-pegal. Menurut informasi yang beredar, terlalu banyak melahap petai akan mengakibatkan nyeri sendi. Sementara aku dan Bimbim--kami menyukai biji berbau menyengat itu saat sudah dimasak, dipotong pipih, dan dicampur kedalam tumis terong, tempe, sambal, dan juga sayur bersantan. Baunya akan memudar dan rasanya lebih bisa ditolerir lidah kami. "Ya, kentut kita sama persis," kataku. "Aku sudah memikirkan ini sejak lama sekali.” Ibu tertawa. Tampaknya ia mulai memahami apa yang sedang aku bicarakan. "Kenapa bisa begitu, Bu?" "Ya, bisa saja seperti itu," kata ibu. Ia menganggukkan kepalanya. "Sebab kita memakan lauk yang sama setiap hari." Aku diam merenungi ucapan ibu. Lalu kataku, "Tapi terkadang tidak juga. Aku tidak pernah makan jajanan kesukaan Bimbim. Tidak begitu enak.” "Tart potong maksudmu?" “ya,” sahutku. Ibu menjeda pekerjaan masaknya. Ia mengambil segelas air di atas meja di samping talenan yang dipenuhi irisan tomat. Ia sempat menawariku minum yang kujawab dengan gelengan sebelum menenggak seluruh isinya yang hanya seperempat. "Ibu pikir kau menyukainya. bimbim suka tart dengan banyak krim dan kau menyukai tart dengan tanpa krim. Bukan begitu?” “Ya, itu maksudku aku tidak menyukai krim yang manisnya membikinku mual.” Ibu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lagi. "Tapi kentut kami tetap berbau persis. Bukankah itu aneh?" "Oh, Sena. Kau hanya tidak memakan krimnya. Kau makan kuenya. Begitu pula Bimbim. Dan wush… jadilah kentut kalian berbau sama persis.” “Aku paham sekarang.” Ibu memandangku dengan raut muka terbebani oleh berlusin-lusin tanda tanya yang amat kentara. "Sejak kapan kau gemar menciumi kentut orang rumah, Sena?" Kami bertukar pandang sejenak, kemudian sebuah tawa penuh tekanan yang semula ditahan-tahan ibu, menyembur dari bibirnya. Tidak tahu harus kuapakan tawa itu--maksudku kubalas apa. Tawa ibu terlalu bar-bar untuk bisa kumaknai sebagai candaan. Ikut tertawa pun aku tak sanggup. Mukaku panas. Otakku tidak mampu menyusun kalimat dan mulutku tidak mau membuka. Apa kataku. Seharusnya aku menyimpan saja pertanyaan ini untuk diriku sendiri. Bukannya malah kubagi dengan ibu. pertanyaan tentang kentut itu sungguh t***l--aku pun menyadarinya. "Oh, Tuhan," seru ibu di tengah tawa. "Maaf Ibu sudah tertawa sekeras ini. Tapi sungguh, tidak ada maksud untuk mencemooh perbuatanmu itu." Aku mengedikkan bahu, "Tidak masalah," kataku. Perempuan dengan tulang pipi tinggi itu membuang seluruh kulit petai ke dalam keranjang sampah. Ia hanya perlu menggeser sedikit badannya ke arah kanan untuk menuntaskan pekerjaan itu. Saat itu aroma petai yang tajam dan pahit menyebar ke seluruh dapur dan barangkali sampai juga ke ruang makan yang terletak persis di sebelah dapur. Ada sebuah jendela kayu besar yang bisa digeser-geser yang menghubungkan ruang dapur dan ruang makan. Ketika selesai memasak, ibu akan menyajikan makanan dan alat makan melalui jendela itu. Ia tak perlu membuang lebih banyak kalori untuk mondar-mandir menyiapkan makanan berjalan dari dapur ke ruang makan. Ayah yang memiliki gagasan pembuatan jendela Doraemon--begitu kami menamai benda itu. Kendati jendela itu tidak menjanjikan sebuah petualangan pun benda ajaib ketika kami membukanya. Kata ayah, masakan ibu lebih tinggi nilainya daripada semua itu. Tak tertandingi. Ayahku, dia adalah satu dari sekian lelaki yang percaya bahwa cinta bisa datang dari mana saja termasuk perut yang kenyang oleh makanan rasa kayangan racikan jelmaan Nawang Wulan alias ibu. "Kau marah, Sena?" Aku meringis. " Aku sudah besar. Aku tidak marah dengan hal remeh seperti itu." "Ya, Ibu lupa kau sepuluh tahun dua pekan lalu." "Ya," kataku. "Kapan persisnya pikiran itu datang, Nak?" "Entahlah," kataku. "Sudah lama sekali, ya?" Aku mengedikkan bahu. Ibu tersenyum. Katanya; "Kau mengingatkanku pada diriku di masa lalu." Aku diam. Ibu menoleh padaku. Saat itu ia sudah menggenggam bawang merah dan mengupasnya satu per satu. "Ibu juga pernah berpikiran sama denganmu. Saat tahun ketiga pernikahan, Ibu menyadari sesuatu yang luput sejak lama. Yah, sering sekali aku dan Ayahmu memiliki aroma kentut yang seragam. Kami pernah membahasnya dan kemudian dari waktu ke waktu, kami begitu antusias menyiapkan hidung setiap seseorang dari kami mengeluarkan kentut. Astaga." Ibu melanjutkan ucapannya, "Dan, kau tahu apa yang paling luar biasa dari antusiasme kentut itu? Ibu bahkan sering membuntuti Ayahmu saat mulas dan membutuhkan toilet. Ibu menunggu saat Ayah keluar demi bisa membaui aroma kotoran perutnya; apakah beraroma persis dengan milik Ibu atau tidak." "Dan ternyata?" Ibu mengembangkan senyumnya lebar-lebar hingga kedua pipinya menggelembung. "Sama. Persis." Ibu menggoreng petai ke dalam minyak panas dan seketika, aromanya yang semula pahit dan menyengat berubah harum, gurih. Dimasukkannya irisan bawang merah dan tomat ke dalam penggorengan petai itu. Ia pun mengaduknya dengan hikmat. Perutku tergoda oleh aroma itu. Dan refleks hidungku mengendus-ngendusnya sembari lidahku menjilat bibirku. Perih mengaduk perutku yang keroncongan. ñ Pukul berapa saat itu? Barangkali menjelang ashar. Ibu sedang memasak menu makan malam dan aku baru ingat "Maka dari itu Ibu bertanya padamu, sejak kapan kau berpikiran seperti itu. Sebab perilakumu adalah perilaku Ibu juga dahulu." Aku meringis. Kataku: "Tapi, Bu. Kupikir aku tidak sampai hasrat menunggui Bimbim buang hajat ke kamar mandi lalu mengendus aroma hajatnya. Kentut, itu saja kurasa sudah cukup." Ibu tertawa. Katanya; "Barangkali, setelah ini, Ibu akan kembali mengendus-endus kentut kalian, mencari kecocokan. Kau yang membawa ingatan itu hari ini, Sena." Aku membalas tawa wanita itu. Wanita yang akan selalu menjadi nomor satu di sepanjang hidupku dan bahkan setelah hidupku bersambung di akhirat. Hari demi hari berlalu sejak percakapanku di dapur bersama ibu. Dan aku pun menyadari--bisa dibilang kesadaran yang terlambat--bahwa tubuh kami dibalut pakaian yang wanginya berasal dari satu merk pelembut pakaian yang sama. Dan satu batang sabun yang digunakan bergantian. Dan sikat gigi kami berdekatan di dalam satu buah gelas dan ujung bulunya saling bersentuhan menularkan kuman. Begitulah. Saat salah satu anggota keluarga menderita pilek, maka ingus itu juga akan dengan cepat bersarang di dalam hidung anggota lainnya. Kami pernah demam dan pilek bergantian dan entah bagaimana ibu selalu menjadi yang terakhir sakit. Pertama-tama, ia merawat--biasanya Bimbimlah yang pertama-tama menjadi inang virus itu lalu aku lalu ayah. Lalu ibu terkapar di kamarnya dengan selimut katun oranye yang membalut tubuhnya. Raut mukanya kuyu. Ia serupa dahan bidara yang menguncup dan layu menjelang senja. Dan di saat seperti itu penting baginya bertanya: "Apakah Bimbim baik-baik saja? Apakah Bimbim sudah makan? Apakah suhu tubuhnya kembali tinggi? Apakah kau, Sena, menjaga kakakmu dengan baik?" Kami keluarga dengan banyak cinta dan persamaan, tetapi kadang-kadang sesuatu yang jahat bercokol di dalam hatiku. Tidak juga pergi setelah kuusir dan kumaki. Sesuatu itu... Bahwa--sekali lagi kutekankan ini hanya terjadi kadang-kadang saja--aku membenci kakakku. Sungguh-sungguh membencinya. Ia mendapat terlalu banyak cinta dari ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD