Help Me 18 - Menghibur Clarisa

1323 Words
Clarisa dan Naina tiba di rumah sementara itu Gatot langsung memutuskan pulang begitu selesai mengawal mereka. Grelanda yang melihat kepulangan keduanya menyambut dengan wajah heran. “Cepat sekali.” “Kami nggak jadi pergi Grelanda. Mas Gatot ada urusan,” kilah Naina diangguki Grelanda. “Aku ke kamar dulu kalau begitu.” Clarisa menghampiri Grelanda lebih dekat. “Boleh kupinjam bayi menggemaskan ini?” cicitnya dengan wajah riang. Naina tahu Clarisa sedang menyembunyikan keresahannya. Karena itu ia berusaha menghibur diri dengan bermain bersama Grelanda seperti yang sering ia lakukan dengan adik-adik Naina. Clarisa adalah anak tunggal. Karena itu terkadang gadis itu merasa kesepian karena tidak memiliki saudara. Grelanda memberikan Aneth pada Clarisa. Bayi itu memang sudah terbiasa bersama Clarisa karena Grelanda selalu membawa Aneth sesuai permintaa Naina dan Clarisa jika mereka sedang libur kuliah. “Aku ke kamar dulu?” Naina mengangguk. Grelanda melanjutkan pekerjaannya. Hari ini ia membuat roti dan biskuit untuk kedua majikannya. “Ada yang bisa aku bantu?” Grelanda menoleh dan tersenyum pada Naina yang berjalan menghampirinya di dapur. “Bagaimana kalau kau mencicipi kue saja. Aku perlu tahu apa kue buatanku sesuai dengan selera kalian.” “Tentu saja. Itu keahlianku dan Clarisa.” Naina terkekeh lalu menoleh ke arah ruang tengah. “Kenapa?” “Tidak. Clarisa sepertinya tidur dengan Aneth.” Grelanda mengangguk. “Tadi aku memberinya s**u saat kau sedang mandi.” Naina lantas menghampiri kulkas dan mencari minuman yang bisa ia buat sebagai teman camilan biskuit yang Grelanda buat. Mereka mengobrol sambil bercerita banyak hal hingga Clarisa turun sambil membawa Aneth yang sudah bangun. “Popoknya penuh sepertinya.” Grelanda lalu bangun dan mengambil Aneth dari gendongan Clarisa, membawa bayi itu ke kamar mandi. Clarisa lalu duduk sambil mencomot biskuet yang sedang Naina nikmati sebelumnya, mencelupkannya ke dalam s**u lalu memakannya dalam sekali lahap. Clarisa pasti masih memikirkan hal yang menimpa mereka sebelumnya. “Grelanda belum masak ‘kan?” “Belum. Tadi aku bilang kita mau makan di luar. Tapi tunggu kamu bangun.” Clarisa mendesah pelan. “Aku bingung banget sama kejadian ini, Nai. Tadi juga sebenarnya aku nggak tidur. Aku nggak tau harus gimana.” Naina mengelap tanganya lebih dulu lalu menyentuh bahu Clarisa dan memutar tubuhnya ke hadapan Naina. “Kayaknya kamu butuh obat lagi. Mau aku temenin ke psikiater?” “Aku nggak mau minum obat lagi.” “Tapi kalau nggak gitu kegiatan kamu bisa terganggu. Ya, kita ke dokter? Seenggaknya kamu bisa tidur kalau malem. Atau tidur sama aku aja.” “Tidur sama kamu aja, deh.” Naina tersenyum. “Ya udah. Siap-siap dulu. Grelanda selesai kita langsung pergi.” Clarisa mengangguk lalu pergi ke kamarnya. Naina mengirim pesan pada Gatot dan mengatakan kalau ia mengajak pria itu makan siang. ‘Tapi aku akan sedikit terlambat. Ada yang harus kukerjakan’ ‘Okay!’ balas Naina dalam pesannya. Tak lama Grelanda menghampiri bersama Aneth. Naina memangku bayi menggemaskan itu sementara Grelanda menyiapkan kebutuhannya. Hari ini mereka akan keluar untuk makan siang, jalan-jalan dan makan malam di luar. Karena itu, Grelanda mempersiapkan kebutuhan bayinya. “Aku udah siap?” “Okay. Ayo berangkat!” Naina menggendong Aneth lalu mendudukkannya di baby car seat di sebelah Clarisa sementara ia duduk di depan bersama Grelanda. Mereka melewati kampus tempat Naina dan Clarisa berkuliah lalu Grelanda memarkirkan mobilnya di dekat sebuah restoran semi café yang banyak dikunjungi mahasiswa dan pekerja freelance. “Pantes rame banget kalau weekdays. Serame ini ternyata,” celetuk Clarisa lalu membawa Aneth duduk bersamanya sementara Naina dan Grelanda memesan makan siang untuk mereka. “Satu lagi buat siapa?” “Mas Gatot.” Clarisa hanya ber’oh saja, tak sesewot saat biasanya jika mendengar nama pria itu disebut. Ia juga memilih menyantap makanannya sambil memperhatikan lalu lalang orang yang melintasi kafe tempat mereka makan yang cukup ramai. “Habis ini kita mau ke mana?” “Aku harus membeli popok dan keperluan untuk Aneth, kalian jalan-jalan saja. Nanti kususul jika sudah selesai.” “Sekalian belanja bulanan saja. Mumpung kita di luar. Aneth biar aku dan Clarisa yang bawa.” “Kalian yakin?” Keduanya mengangguk kompak. Adanya Aneth membuat Naina senang karena Clarisa terhibur dan melupakan kesedihannya akibat kejadian tadi pagi. “Baiklah. Aku akan menghubungi kalian jika sudah selesai belanja.” Naina mengangguk lagi. Grelanda mencium putrinya lebih dulu lalu pergi meninggalkan mereka yang masih menunggu Gatot datang. Tak lama setelah kepergain Grelanda, Gatot datang. Naina melambaikan tangan seraya menunjukkan keberadaan mereka di kafe tersebut. “Maaf terlambat.” “Nggak papa, Mas.” Pria itu melirik sedikit pada Clarisa yang kini lebih pendiam dari biasanya. “Makan, Mas?” Gatot mengangguk lalu mulai menyantap makanan yang pesankan Naina hingga tandas. Barulah setelah itu mereka mengobrol. “Apa kita bisa bicarain soal kejadian tadi di sini?” Gatot melirik ke arah sekitar untuk memastikan sebelum akhirnya menggeleng. “Kenapa? Kita ngobrol juga pakai bahasa Indonesia.” “Hantu tidak mengenal bahasa.” Naina dan Clarisa sama-sama menatap pria itu. Satu hal baru yang mereka ketahui dan tidak pernah terpikirkan sama sekali. Mereka pikir, makhluk selain manusia juga hanya mengerti bahasa di mana mereka tinggal. Ternyata tidak. “Kok bisa?” Kali ini Clarisa terlihat tertarik. “Yang mereka lakukan membaca pikiran dan gerakan. Sementara gelombang otak itu bisa dibaca tanpa bahasa.” “Ah, jadi gitu. Dari mana Mas Gatot bisa tahu?” “Seseorang mengatakan pada saya.” Naina dan Clarisa manggut-manggut saja. “Sebaiknya kita cari tempat yang lebih aman.” “Taman kayaknya cocok. Aneth juga pasti seneng diajak ke sana.” Gatot mengangguk setuju lalu menatap bayi dalam gendongan Clarisa. Kedua manusia beda usia jauh sekali itu saling tatap untuk waktu yang lama hingga akhirnya Aneth mengerutkan kening dan alis. Begitu pun dengan Gatot. Naina dan Clarisa yang melihat hal itu jadi tertawa. “Lihat, bayi saja bisa merasakan kalau elo orang yang nyebelin,” desis Clarisa membuat Gatot mendengus lalu menatap bayi itu kembali. “Benarkah aku menyebalkan?” Gatot tersenyum. Memamerkan satu lesung pipinya yang indah saat tersenyum, dan hal itu membuat Clarisa sedikit terpukau apalagi ketika melihat Aneth tiba-tiba tersenyum dan mengulur tangan seraya minta dipangku. Gatot mendengus bangga. “Menyebalkan, ya?” sindirnya membuat Clarisa kesal dan berakhir menginjak sepatu Gatot. “Ahhh!” “Clarisa!” “Sory. Reflek,” acuhnya mengedikkan bahu. Tiba-tiba Aneth mengulur tangan dan meraih jemari Clarisa lalu mengigitnya. “Aduh! Kenapa kamu menggigitku, hmm?” “Karena kamu menyebalkan, iya ‘kan?” tanya Gatot pada Aneth yang dibalas bayi itu dengan kekehan menggemaskan. “Eh, jangan cium-cium!” “Kenapa?” “Bukan muhrim!” celetuk Clarisa membuat Gatot memutar bola mata malas. Naina tertawa melihat interaksi Gatot dan Clarisa. Terutama sang sahabat karena kemurungan Clarisa terlihat semakin pudar dan menghilang dari wajahnya. Setidaknya, Naina tenang karena ia tahu apa yang dialami Clarisa masih menjadi tanda tanya besar. Seseorang pernah mengatakan, apa yang Clarisa alami disebabkan karena gadis itu bergaul dengan Naina yang memiliki kekuatan dan sering berinteraksi dengan makhluk halus. Karenanya, energi yang Clarisa terima sedikit banyak dihasilkan dari hal-hal yang membuat mata batin dan indera keenamnya menguat. Di awal Naina sering merasa bersalah karena takut Clarisa mengalami apa yang dialaminya juga. Namun seiring berjalannya waktu, Naina melihat Clarisa bisa beradaptasi dengan hal itu meski dibanyak momen gadis itu masih sering ketakutan. “Ayo, pergi sekarang.” Gatot dan Clarisa mengangguk. “Mau apa?” “Gendongannya?” “Kamu mau gendong dia?” tanya Clarisa diangguki Gatot. "Jangan. Kalau kejadian kayak tadi bahaya. Setidaknya aku bisa lindungin Aneth dan kalian yang bertarung." Naina mendesah pelan. Sepertinya ketakutan itu masih menghantui pikiran Clarisa. Padahal suasana sedang ramai. Seharusnya tidak mungkin makhluk-makhluk tadi muncul. Lagipula mereka akan pergi ke taman. Di sana pasti banyak orang dan itu akan menjadi tempat yang aman karena makhluk itu pasti tidak akan muncul di depan banyak orang. Terlihat dari kepergian makhluk-makhluk itu saat sebuah mobil melintas dan menyelamatkan keberadaan mereka yang sedang berhadapan dengan rusa-rusa hitam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD