SB - 08

2046 Words
Tidak tidur itu sudah biasa. Terjaga semalaman mengerjakan tugas juga bukan hal aneh. Lelah? Kata itu seperti sudah menjadi sahabat bagi kami. Bagiku. Tapi ada masa di mana aku benar-benar lelah. Bukan lelah fisik tapi lelah pikiran. Alhasil aku akan menelfon Ibu dan menangis untuk meredakan semrawut di dalam kepala.  Tapi soal K' Tana ini tak bisa aku adukan pada Ibu. Marah, kesal, dan lelah harus aku tahan sendiri.  Berjarak sebentar dengannya sepertinya bisa membantuku berpikir. Pukul 6 lewat 15 aku sudah berangkat ke kampus. Aku tidur cepat tadi malam. Mungkin karena terlalu lelah. Paginya aku bisa bangun dengan kondisi segar.  Teman panitia yang lain sudah datang beberapa. Kami menyiapkan beberapa hal yang diperlukan. Kedatangan kami ke lokasi tak hanya untuk memeriksa lokasi. Tapi sekaligus untuk mengantar setengah dari bibit yang akan ditanam di desa itu. Ini sesuai dengan perjanjian, setengahnya diberikan sekarang dan setengah lagi nanti untuk ditanam bersama dengan mahasiswa baru.  "Kau tak membawa baju cadangan?"  "Untuk apa?"  "Vano bilang cuaca di sana agak buruk. Jalannya cukup terjal, jadi berjaga-jaga kalau seandainya kita tak bisa pulang."  "Hm, aku tak membawa baju cadangan. Aku tidak tahu."  "Sebaiknya kau jemput dulu pulang. Condomu tak terlalu jauh dari sini. Pekerjaan ini juga sudah hampir selesai."  "Baiklah."  "Mau ke mana?"  "Condo, aku tak membawa baju cadangan."  "Van, kau temani saja Tarin agar lebih cepat. Urusan ini sudah hampir selesai, jadi kita bisa langsung berangkat setelah ini."  Aku dan Vano meninggalkan kampus. Vano mengantar dengan mobilnya. Dia bilang lupa mengabariku karena terlalu banyak pekerjaan tadi malam.  "Tunggu sebentar.." aku turun dari mobil Vano dan setengah berlari memasuki condo. Aku mengganti tas yang aku bawa. Aku masukkan baju dan barang yang aku butuhkan. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, aku segera pergi. Ranha tak ada di condo karena dia ikut olahraga pagi dengan K' Tana dan Nayna tadi. Rajin sekali mereka.  Saat sampai di parkiran, aku malah bertemu K' Tana, Nayna, dan Ranha yang sedang mengobrol dengan Vano.  "Ada yang tertinggal?" tanya Ranha.  Aku menggeleng. Sepertinya Vano tak memberitahu bahwa ada kemungkinan kami akan menginap. Jadi aku putuskan untuk tidak mengatakannya juga.  "Semoga selamat sampai tujuan. Kabari aku kalau sudah sampai dan telfon aku juga kalau kalian sudah akan pulang." Ranha berpesan, sudah seperti ibuku saja.  "Yap, akan aku kabari. Kau mau aku kabari juga?" Aku bertanya pada K' Tana.  Alih-alih menjawab dia malah menghampiriku dan mengacak rambutku yang sudah susah payah aku ikat dengan rapi.  "Kau membuat rambutku berantakan." Aku menggerutu.  Dia malah tersenyum tanpa dosa. "Sudah bagus bukan hatimu yang aku buat berantakan."  APA? s****n!  "Kami pergi dulu." Vano pamit. Aku pun ikut masuk ke dalam mobil. Ketiganya masih memandangi sampai mobil Vano berbelok. Ranha dan Nayna melambaikan tangan dengan ceria. Dari kaca spion aku masih bisa melihat K' Tana. Apa maksud kata-katanya tadi?  ...  Kupikir tempatnya benar-benar dikelilingi hutan belantara, semacam desa di tengah hutan. Tapi ternyata dugaanku salah. Desanya memang di tengah hutan, tapi tidak sepedalaman yang aku bayangkan. Yang aku sukai adalah suasananya yang sejuk, tenang, dan damai. Benar-benar suasana yang aku butuhkan. Rasanya jadi ingin pulang kampung. Maksudku pulang ke kampung Ibuku. Ibu memang berasal dari sebuah desa, meski Ibu sendiri tumbuh besar di kota. Ibu pindah ke kota ikut dengan kakaknya, bude ku, sejak ia SMP. Saat SMA Ibu bertemu ayah dan mereka jatuh cinta. Hubungan mereka berlanjut hingga jenjang pernikahan. Luar biasa memang. Ya aku tahu, tentu tidak mudah untuk sampai di tahap itu.  Kisah cinta Ibu yang mulus jelas berbanding terbalik dengan aku. Jadi aku sendiri tak yakin apa Ibu bisa memahami masalahku. Satu-satunya persamaanku dan Ibu adalah kami sama-sama tipe susah move on. Kalau sudah suka pada satu orang kami cenderung bertahan.  Kami memasuki balai desa, bertemu dengan kepala desa dan stafnya serta beberapa pemuka masyarakat yang ternyata memang sudah menunggu kedatangan kami. Mereka sangat ramah dan juga humoris. Aku tak menyangka akan mendapat sambutan semanis ini. Sepertinya benar orang bilang kalau orang-orang di desa itu lebih ramah. Ya meski ada beberapa yang tidak. Tapi ya sudahlah.  Satu kekurangan di desa ini yang juga dikeluhkan oleh kepala desa, signal komunikasi yang lemah. Jaringan telekomunikasinya lemah sekali. Internet hanya bisa digunakan di sekitar balai desa saja dan jangkauannya pun kecil. Untuk menelfon pun selain balai desa hanya ada di titik-titik tertentu. Ada beberapa titik yang memang tak ada jaringan sama sekali.  "Makanya kami sangat senang saat mendengar akan ada mahasiswa melakukan kegiatan di sini. Desa kami sangat terpencil, lokasinya jauh, dan akses ke sini agak sulit. Jadi beberapa kelompok terkadang sudah menyerah sebelum berkegiatan."  Aku manggut-manggut. Setelah selesai makan siang, kami memutuskan untuk menurunkan seluruh bibit pohon kemudian melakukan sosialisasi kecil-kecilan dengan masyarakat. Syukurlah ternyata masyarakatnya tak kalah ramah.  "Kau suka tempatnya?"  Aku menoleh pada Vano sembari tersenyum. "Iya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan alam seperti ini. Siapa yang menemukan tempat ini?"  "Saka. Katanya ayahnya yang memberikan saran."  Aku menganggukkan kepala. Aku akan berterima kasih pada Saka nanti.  "Apa menurutmu acara kita akan sukses nanti?" Mendengar pertanyaan Vano aku spontan menoleh padanya. Aku melihat ada kegugupan dan kekhawatiran pada wajahnya. Baru kali ini aku melihat Vano begini. Biasanya aku selalu melihat Vano dalam mode tangguh dan penuh percaya diri. Tapi wajar sebenarnya jika Vano sedikit khawatir sekarang. Sebab kini persiapan sudah memasuki tahap 80%. 20% adalah eksekusi pada hari acara nanti.  "Aku tidak akan bilang acara kita sukses. Tapi aku bisa yakin kita akan memberikan yang terbaik. Aku yakin hasil tidak akan mengkhianati usaha kita. Dan menurutku kau sudah melakukan yang terbaik."  "Menurutmu begitu?"  Aku mengangguk dengan yakin. Terlepas dari adanya niat Vano mendekatiku, sebenarnya aku tidak punya masalah dengan Vano. Aku sudah pernah bilang kan kalau Vano itu hampir sempurna. Kami sesuai dan cocok dalam segala urusan. Bahkan aku bisa bilang aku sangat cocok dengan gaya bekerja Vano.  Vano akhirnya tersenyum. "Kepercayaan diriku meningkat."  Vano menatapku cukup lama. Lalu ia tiba-tiba menggaruk tengkuknya. Terlihat kikuk. "Sebenarnya aku tidak seyakin itu. Aku merasa aku masih punya banyak kekurangan dalam pekerjaan ini. Sejujurnya aku juga pernah ingin mengundurkan diri dari jabatan ini.." dan obrolan kami mengalir begitu saja. Semenjak awal aku kenal dan bekerja dengan Vano, inilah kali pertama aku berbincang sebanyak ini dengannya. Aku seperti mengenal sisi lain dari seorang Vano.  Harus aku akui, Vano adalah pria yang menyenangkan.  ...  Suasana di perkampungan memang tak pernah mengecewakan. Keputusan pergi ke sini sepertinya sebuah keputusan yang tepat. Rasanya seperti aku sedang healing. Aroma rerumputan dan pepohonan. Suara sungai dan angin. Semua bersatu padu seperti irama di telingaku.  "Tal, sepertinya kita akan menginap di sini."  "Hah?"  "Iya. Katanya cuaca kurang bagus di perbatasan. Jadi sedikit bahaya jika kita pulang sekarang. Bagaimana? Kau oke?"  Aku mengangguk. Aku tak ada masalah. "Ya, aku oke. Tak ada masalah."  Ingga mengangguk. Aku sudah sedikit antisipasi sebenarnya. Sudah feeling kalau kami akan habiskan malam di sini.  "Kau tidak masalah kan kalau kita habiskan malam di sini?" Vano menghampiriku.  "Aku baik-baik saja. Anggap saja simulasi sekaligus untuk kita refreshing."  Kepala Desa kemudian membawa kami ke rumah yang akan kami tempati malam ini. Tadi Vano mengusulkan untuk kami menginap di penginapan yang terletak tak jauh dari perbatasan, tapi Kepala Desa melarang kami menginap di sana. Kata beliau hanya membuang-buang uang.  "Kau mau mandi, Tal?"  "Hmm sepertinya belum. Kau mandi lah dulu. Aku ingin jalan-jalan. Atau kau mau ikut denganku?"  "Tidak. Kau pergilah. Aku ingin mandi dulu."  "Oke. Aku pergi ya."  Aku meninggalkan Ingga di rumah. Ah indahnya hidup ini. Kapan terakhir kali aku menikmati waktuku seperti ini? Aku sendiri saja lupa kapan aku benar-benar menikmati waktuku.  ...  "Tarin ada di dalam?" Aku baru selesai mandi saat kudengar suara Vano di luar, tengah bicara dengan Ingga.  "Kenapa kau mencari Tarin? Hayo, kenapa?" Kudengar Ingga menggoda Vano.  "Aku ada urusan."  "Urusan apa? Jangan-jangan rumor yang aku dengar itu benar."  "Rumor apa?"  "Hmm kau benar-benar tidak tahu atau kau pura-pura tidak tahu? Katanya kau sedang pedekate dengan Tarin.."  Aku memutar bola mata. Bahasan ini lagi. Sudahlah. Terserahlah mereka mau membicarakan apa. Aku melanjutkan kegiatanku. Udara mulai dingin.  "Tal, Vano memanggilmu.." Ingga muncul saat aku tengah mengoles handbody.  "Aku dan yang lain ingin membeli cemilan. Kau ingin ikut atau dipesan saja?"  "Apakah jauh dari sini?"  "Tidak terlalu. Bisa dengan berjalan kaki."  "Hm baiklah, aku akan ikut." Aku kembali ke kamar untuk mengambil jaket. Ingga tinggal di rumah karena dia ingin menelfon pacarnya.  "Jadi rumor itu benar?" Bahasan tentang kedekatan aku dan Vano menjadi topik pembicaraan kami di sepanjang perjalanan. Sepertinya rumor ini memang sudah tersebar ke mana-mana.  "Ahh sepertinya acara kita akan meninggalkan cerita yang menarik. Tapi itu bagus. Jika kalian ada hubungan, maka tidak akan ada lagi alasan untuk senior kita berdebat. TekLing dan Arsitektur selalu saja tak akur.."  Astaga, ke mana perginya.  "Apa hubungannya?" Akhirnya aku bersuara. Vano sendiri tak berkomentar dari tadi. Ia hanya tersenyum mendengar guyonan teman-teman kami.  "Ya tentu saja ada hubungannya, Tal. Jika kau dan Vano pacaran, itu artinya TekLing dan Arsitektur akan menjadi keluarga."  "Kita sudah berkeluarga," sanggahku. Nyatanya memang begitu.  "Ini akan lebih erat.." timpal yang lain masih bersikukuh.  "Kau mengada-ngada. Sebelumnya bukan tak ada yang berpacaran di fakultas kita. Beberapa senior dan beberapa teman kita pun ada yang menjalin hubungan." Aku tahu ada beberapa temanku yang berpacaran dengan anak TekLing. "Apa bedanya dengan kami?"  "Beda, Tal. Beda sekali. Memang banyak teman dan senior kita yang pacaran. Tapi tidak ada yang sepertimu dan Vano.."  Aku menaikkan sebelah alis. Aku masih belum mengerti.  "Kau dan Vano itu seperti perpaduan yang pas. Vano idaman di TekLing, kesayangan banyak senior. Dan kau sendiri punya banyak sekali kenalan senior. Beberapa senior tua bahkan sangat dekat dan hanya mau dekat denganmu saja. Jujur saja Tal, jika bukan karenamu, sekarang kita belum bisa sampai di sini."  "Hah?"  "Iya. Kami hanya tidak mengatakannya padamu. Sebenarnya senior setuju dengan usulan kita saat akhir itu adalah berkat dirimu."  Benarkah? Astaga. Apa mereka serius? Aku benar-benar tidak tahu soal ini.  "Kalian serius?"  "Iya."  "Kenapa kalian yakin ini berkat diriku?"  "Sebenarnya aku tak sengaja mendengar Kak Tana bicara dengan seorang senior. Katanya usulan kita disetujui oleh 3 dari 5 senior lain itu karena dirimu."  Aku bahkan tak melakukan apapun.  "Aku tak tahu detailnya bagaimana. Aku hanya tahu kalau salah satu alasan kenapa mereka setuju adalah karena dirimu."  Aku masih tak percaya. Sepertinya ini hanya salah paham. Aku memang dekat dengan beberapa senior. Tapi dalam mengambil keputusan sudah jelas mereka tak akan terpengaruh olehku.  Aku tak terlalu memikirkan hal itu. Obrolan kami juga terputus karena kami sudah sampai di warung. Saat pulang kami lebih fokus membahas tentang persiapan acara kami ke depannya.  ...  Kami baru sampai di depan rumah saat Ingga datang dengan tergesa.  "Tal, ponselmu terus berdering sejak tadi."  "Apakah ada signal?" Seingatku tak ada signal tadi.  "Sudah." Aku segera masuk ke kamar. Kudengar pemilik rumah memanggil kami untuk makan malam. Aku mengambil ponsel di atas meja. Saat layarnya menyala, tepat sebuah panggilan masuk.  K'Tana?  "Hal—"  /Astaga. Kemana saja kau?/ Semprotan K'Tana langsung menyapaku.  "Bisakah kau bicara sedikit pelan? Telingaku sakit."  /Astaga, Tal. Aku khawatir dan kau masih sempat memikirkan telingamu." Lalu K'Tana menghela napas panjang. "Kenapa baru menjawab telfonku sekarang? Dan di mana kau? Sudah sampai?/ Pertanyaan K'Tana yang beruntun membuatku jadi terdiam.  /Tal, kenapa diam saja?/ Kembali K'Tana bersuara karena aku tak kunjung menjawab.  "Kau bertanya seperti aku seorang koruptor. Bagaimana aku bisa menjawab jika kau bertanya banyak begitu?"  "Tarin, ayo makan.." Ingga muncul, memanggilku untuk makan.  "Iya, sebentar.."  /Kau di mana?/ K'Tana kembali bertanya.  "Aku masih di desa.."  /Hah? Kenapa masih di desa jam segini?/  “Ya memangnya aku harusnya di mana?”  /Aku yang bertanya lebih dulu. Jangan ikut bertanya/  Aku mengerutkan kening. Kenapa dia marah? Apa hanya perasaanku saja kalau dia sensitif?  “Kau ini kenapa? Kau bertengkar dengan Nayna?”  /Kenapa kau berpikir aku bertengkar dengan Nayna? Aku bertanya tentang keberadaanmu. Tidak ada hubungannya dengan Nayna./ Suara K’Tana terdengar semakin ketus.  Astaga. Apa dia sedang datang bulan?  /Jadi kenapa kau masih di desa? Kenapa tidak pulang?/  “Memang kemungkinannya kami tidak pulang.”  /Hah?/  Aku menghela napas. Aku jelaskan pada K’Tana bagaimana situasinya.  /Jadi kau sudah tahu akan menginap di sana?/  “Hm..”  Hening.  /Astaga Tal./  “Kenapa?”  /Makan lah dulu. Nanti aku telfon lagi./  Sebelum aku menjawab, sambungan sudah diputus. Apa dia marah?  “Tal, ayo makan..”  “Eh iya..” aku segera meninggalkan kamar.  ———
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD