Jangan Memaksa

1164 Words
BSM 6 "Jangan terlambat, Pa! Buruan siap-siap, Mama sudah janji kita berangkat habis Magrib. Jangan sampai telat, malu sama calon besan," ujar Bu Sarah-ibu Naren- saat melihat suaminya hanya sibuk dengan ponsel yang dipegangnya. Ia sedang duduk di depan meja rias guna memoles wajahnya agar garis-garis penuaan di area matanya tersamarkan. "Jangan terlalu memaksakan kehendakmu, Ma! Narendra sudah dewasa, biarkan dia menentukan masa depannya sendiri," elak Pak Hadi-ayah Naren- sambil matanya tetap fokus dengan layar ponselnya. "Papa membela gadis itu? Masih cinta sama ibunya? Iya?" cecar Bu Sarah dengan menggebu. Emosi yang tadinya sudah mereda kini kembali memanas setelah Pak Hadi membela sang putra. "Astaga, Mama! Kejadian itu sudah tiga puluh tahun yang lalu, masih saja dibahas?" pekik Pak Hadi dengan nada tinggi. Ia melepas kaca mata bacanya agar bisa memandang sang istri dengan mata polosnya. "Terus apa lagi namanya?" Mata Bu Sarah menatap wajah Pak Hadi tajam. Sorot mata itu mengunci tatapan lelaki di depannya melalui kaca rias yang didalamnya terdapat bayangan wajah lelaki halalnya. Bibir yang masih polos tanpa lipstik itu pun mengatup rapat. Pak Hadi hanya mampu geleng-geleng kepala. Ia yang berniat istirahat sejenak setelah selesai salat Magrib segera berdiri dari tempatnya duduk. Matanya tak lagi betah melihat wajah sang istri ketika sedang dikuasai amarah. Lelaki pensiunan guru itu lantas berjalan menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering setelah berdebat dengan sang istri yang tak terkalahkan. Narendra sedang menikmati jus jeruk buatan Bi Inah saat Pak Hadi berjalan dengan wajah yang ditekuk menuju arah dispenser. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menggerak-gerakkan tangannya di atas layar sambil sesekali menyeruput jus yang berada di depannya. "Kenapa, Pa?" tanya Naren. Sejenak ia memperhatikan wajah papanya yang tampak murung. Sedang tangannya yang lain sibuk mengggulir layar ponsel. "Mamamu, kalau sudah punya kemauan nggak bisa diganggu gugat. Heran Papa! Masalah sudah berlalu sekian tahun masih saja dibahas," gerutunya. Tangannya memegang gelas berisi air putih yang siap ia teguk. Narendra hanya diam. Ia membenarkan ucapan sang papa. Siapapun tak bisa menolak permintaan mamanya yang cantik jelita itu. "Masalah apa sih, Pa?" tanya Naren setelah ia menekan tombol samping di benda yang di pegangnya. Setelahnya lampu ponsel itu mati. "Masa lalu. Ah sudah lah nggak usah dibahas lagi," elak Pak Hadi mengalihkan pembicaraan. "Kamu belum siap? Marah lagi mamamu nanti?" "Emang Mama mau kemana?" tanya Naren sambil meneguk jus jeruk yang tinggal separuh. "Kamu lupa?" Bapak Narendra itu kembali mengajukan pertanyaan setelah air dalam gelas yang dipegangnya telah berpindah ke kerongkongannya. Naren mengusap layarnya yang menyala untuk membaca sebuah pesan yang baru saja masuk. Dengan cepat ia membaca pesan itu sebelum menjawab ucapan sang papa. "Lupa? Enggak. Mama ngga bilang apapun. Mau kemana emang?" Alis Narendra bertaut. Ia sama sekali tidak mengetahui acara yang telah disiapkan Bu Sarah untuk dirinya. "Mama mau ngajak kita buat hadiri acara makan malam bareng keluarga Fara," lirih Pak Hadi. Seketika wajah Naren menghadap sang papa dengan penuh tanda tanya. "Makan malam? Kok mendadak, sih? Emang aku juga harus ikut? Tumben?" tanya Naren sambil melirik layar ponsel yang kembali menyala. "He'em. Kalau mamamu sudah punya rencana, ngga ada yang bisa melawan," lirih Pak Hadi. Ia menyandarkan punggungnya disandaran kursi meja makan. Kepala yang masih terasa berat ia letakkan di ujung sandaran kayu tersebut. Narendra mendengus sebal. Ia yang baru saja membuat janji dengan seseorang merasa kebingungan. Mana yang harus didahulukan. Keduanya sama-sama berarti untuknya. "Kenapa sih, Pa, harus dijodohkan? Narendra sudah punya Nara," sergah Naren tak terima. "Papa sudah bilang sama mamamu. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana mamamu kalau punya keinginan?" Pak Hadi menatap wajah Naren pasrah. "Ck!" desis Naren. Ia meletakkan ponselnya dengan kasar. Lalu meraup mukanya dengan kedua telapak tangannya. "Narendra ngga mau dijodohin, Pa!" "Lalu? Papa harus bagaimana?" "Ngga ada yang harus bagaimana-bagaimana. Perjodohan tetap berlanjut. Kamu harus nurut sama mama!" Suara Bu Sarah membuat dua lelaki di meja makan itu menoleh padanya. "Ma!" pekik Narendra tak terima. "Sudah, Ren. Nurut sama mama!" teriak Bu Sarah dengan keras. "Cepat bersiap!" titah Bu Sarah lagi. Narendra melengos. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan berlari menuju kamarnya. Bu Sarah geleng-geleng kepala melihat sikap Naren. Anak laki-lakinya mulai menunjukkan sikap penolakan. "Anakmu itu, Pa!" sungut Bu Sarah pada suaminya yang masih duduk di kursi meja makan. Pak Hadi mencebik. Ia malas meladeni sang istri. Tak ada pilihan lain selain kembali pergi dari hadapan wanita yang dinikahinya bertahun-tahun silam. "Belum siap juga?" ucap Bu Sarah setelah membuka pintu kamar Narendra dan mendapati putranya itu masih belum berganti pakaian. "Naren ngga mau ikut, Ma!" ucap Naren tanpa menoleh. Pandangannya fokus pada layar ponsel yang sedang dipegangnya. "Ngga ikut gimana? Jangan buat malu mama sama papa!" sengit Bu Sarah. "Sudah buruan ganti baju. Mama tunggu sepuluh menit." Bu Sarah meninggalkan Narendra di kamarnya untuk bersiap. Ia memanggil sang suami yang juga masih berada di dalam kamarnya. "Dua laki-laki di rumah lemot semua!" sungut Bu Sarah. Ia menunggu dengan sabar di ruang tamu hingga dua lelaki itu keluar secara bersamaan. Setengah hati Narendra bergabung bersama rombongan dua keluarga yang sudah janjian bertemu di sebuah resto yang memiliki fasilitas ruang makan pribadi. "Hai Tante," sapa Fara saat dua kendaraan yang beriringan itu sudah berhenti untuk menurunkan penumpangnya. "Hai Sayang. Apa kabar? Lama ya tak jumpa? Kamu makin cantik aja," sapa Bu Sarah. Sebuah pelukan hangat ia berikan untuk gadis berambut panjang yang dikeriting bagian bawahnya dengan dress motif bunga selutut itu. "Baik, Tante. Tante juga makin cantik. Kerutan di wajah hampir ngga kelihatan, padahal aku mau ajak Tante ke salon langgananku," ujar Fara sambil berjalan beriringan menuju bagian dalam resto. Sedangkan yang lainnya berjalan dibelakang Fara bersama calon suaminya. Kedua orang tua Fara pun tak lupa menanyakan kabar masing-masing karena sulitnya memiliki waktu luang yang membuat mereka tak bisa sering berjumpa. Persahabatan yang telah lama dibangun itu terkadang perlu diberikan waktu spesial untuk bisa saling melepas rindu. Fara yang bekerja sebagai pegawai bank swasta membuatnya sibuk hampir setiap hari. Berangkat pagi sekali dan kembali ke rumah sudah hampir petang. Ia hanya memiliki waktu senggang di akhir minggu, itu pun dihabiskan di rumah orangtuanya di kampung halaman. "Yuk mari silahkan duduk. Boleh pesan apa aja," ujar Pak Fahri sambil mengangsurkan buku menu di atas meja depan Pak Hadi dan Bu Sarah. Sebuah meja makan berbentuk persegi menjadi tempat dua keluarga itu menghabiskan makan malam mereka. Ruangan privat yang menjadi tempat makan mereka membuat acara rapat untuk persiapan acara lamaran terasa nyaman dan tenang. Tidak ada suara bising pengunjung lain yang mengganggu mereka. Bu Sarah dan Pak Hadi duduk bersebelahan. Sebelahnya Narendra yang duduk bersebelahan dengan Fara. Sementara Pak Fahri dan Bu Rahma, ayah dan ibu Fara duduk tepat di depan Bu Sarah dan Pak Hadi. Suasana yang tenang di tempat itu membuat kedua keluarga tampak akrab dan hangat. Semuanya saling bertukar cerita dan saling melempar canda setelah hidangan berpindah ke perut mereka masing-masing. Namun tidak dengan Narendra dan Fara. Usaha yang dilakukan Farah untuk mendekati Naren sama sekali tak direspon olehnya. Bahkan Fara pun tak sungkan untuk bergelayut manja di lengan kekar lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu, meskipun selalu diabaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD