Sakit Tiada Terperi

1207 Words
Laura terpaksa pulang dari salon dengan menggunakan ojek online. Sandra dan Jenny sudah tidak peduli lagi dengan dirinya, ketika mengetahui jika sekarang Laura tidak memiliki apa-apa. Kedua wanita itu langsung memandang rendah pada Laura, bahkan untuk memberi Laura tumpangan saat akan pulang saja mereka tidak mau. Sesampainya di rumah Laura langsung mencari keberadaan mobilnya di garasi, namun sayang mobil itu tidak ada di sana. Laura pun langsung masuk ke dalam rumah untuk mencari keberadaan ibu mertuanya, tapi sayang nyonya Miranda juga tidak ada karna belum pulang ke rumah. Laura kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa serayak membuang nafas kasar. Sejenak wanita itu memejamkan kedua matanya sambil memikirkan cara bagaimana agar Arfa mau kembali mengaktifkan kartu kreditnya. Setelah menemukan cara untuk membujuk Arfa, Laura pun bangkit dari duduknya lalu menuju ke lantai atas dengan langkah gontai. Begitu tiba di kamarnya, wanita itu segera membuka brankas penyimpanan miliknya. Ia lalu mengambil sejumlah uang dari brankas tersebut untuk menebus perhiasan dan handphone miliknya yang dijadikan sebagai barang jaminan oleh pihak salon. Selain menyimpan dan mengoleksi beberapa perhiasan mahal, Laura juga tidak lupa menyimpan sejumlah uang tunai untuk berjaga-jaga selama ini. Laura kembali keluar dari kamarnya lalu menuju lantai bawah. Wanita itu kemudian berteriak memanggil salah satu sopir yang bekerja di rumah itu. "Iya Bu, ada apa?" tanya Jupri, salah satu sopir yang kebetulan mendengar teriakan Laura. "Anterin saya ke salon sekarang," titah Laura sambil melangkah menuju keluar. "Ee, maaf Bu, mulai hari ini kami dilarang oleh Pak Arfa untuk mengantar ibu pergi ke mana pun," ucap Jupri, sambil mengusap tengkuknya. "Hah? Apa? Coba ulangi lagi, saya kurang dengar," sahut Laura dengan nada serius. Wanita itu seperti mendengar suara petir di siang bolong, begitu mendengar perkataan Jupri. "Kami semua dilarang oleh Pak Arfa untuk mengantar ibu, kemanapun Ibu mau pergi, jadi silakan Ibu pergi sendiri karena kami masih ingin bekerja di sini dengan Pak Arfa," sahut Jupri dengan wajah serba salah. "Tidak usah mengada-ada kamu, tidak mungkin mas Arfa sampai berbuat seperti itu. Kamu mau melawan perintah saya?" tanya Laura dengan nada marah. "Tega kamu Mas, demi w************n itu kamu rela membuatku malu dan menderita," ucap Laura di dalam hati, sambil menahan sakit dan sesak di dadanya. "Maaf Bu, saya tidak mengada-ada, kalau memang Ibu tidak percaya, silakan konfirmasi langsung kepada pak Arfa," jawab sopir tersebut. "Aah! Sudah sudah, sana, kamu boleh pergi," ucap Laura dengan wajah gusar. "Jika di biarkan, lama-lama mas Arfa akan menendangku keluar dari rumah rumah ini. Aku harus bergerak cepat sebelum semuanya terlambat," batin Laura. Wanita itu kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke garasi mobil, namun lagi-lagi ia dibuat terkejut karena tidak mendapati kunci-kunci mobil itu di tempat biasanya. Laura kembali berteriak memanggil Jupri, bermaksud menanyakan di mana kunci-kunci mobil itu berada. "Ke mana kunci mobil-mobil ini? Mengapa tidak ada di tempatnya?" tanya Laura sambil berkaca pinggang. "Maaf Bu, tadi ada salah satu orang kepercayaan pak Arfa yang mengambil semua kunci mobil atas perintah pak Arfa, dan pak Arfa berpesan jika Bu Laura ingin berpergian, silakan memakai mobil yang itu," jawab Jupri, sambil menunjuk sebuah mobil yang biasa digunakan oleh asisten rumah tangga di rumah itu untuk berbelanja sayur dan kebutuhan lain di pasar. "Hah! Yang benar saja kamu," teriak Laura semakin murka. "Saya hanya menyampaikan apa yang diperintahkan oleh pak Arfa Bu, kalau ibu mau protes dan tidak terima silahkan Ibu hubungi Pak Arfa langsung. Kalau begitu saya permisi Bu," jawab Jupri, lalu kembali masuk ke dalam rumah. "Sial! Sial! Gara-gara wanita pelakor itu hidupku hancur! Awas saja kamu Aleena, aku akan membuat hidupmu hancur berkeping-keping!" Teriak Laura dengan wajah merah padam. Aaaahhhk!! Laura kembali berteriak sekuat tenaga, melampiaskan kekesalan di hatinya. Dalam sekejap mata hidupnya langsung berubah drastis karena kehadiran Aleena. Dari awal ia terlalu menganggap enteng wanita itu, sehingga membuatnya bertindak gegabah tanpa memikirkan akibatnya. *** *** Hari ini, Laura bertekad untuk menemui Arfa di kantornya. Wanita itu pergi dengan menggunakan taksi online. Ia sudah bertekad untuk menguatkan hati, apapun yang akan dilihatnya di kantor Arfa nanti. Ia yakin, jika Aleena pasti berada di kantor Alfa hari ini. Semalaman ia menunggu kepulangan ibu mertuanya, ingin memberitahukan rencananya itu, tapi sayang nyonya Miranda tetap tidak bisa dihubungi dan dia tidak pulang semalaman. Entah ke mana perginya wanita paruh baya itu, Laura sendiri tidak pernah tau. Begitu tiba di kantor Arfa, Laura langsung merasakan jika ada sesuatu yang aneh. Pegawai resepsionis dan beberapa karyawan yang berpapasan dengannya di lobby kantor, seolah tidak melihat keberadaannya. Mereka terlihat abai dan cuek, bahkan penghormatan yang biasa mereka lakukan ketika melihat Laura muncul di kantor itu, sudah tidak lagi terlihat. Tidak mau ambil pusing dengan keanehan di depan matanya, Laura bergegas menuju ke arah lift kusus. Belum sempat Laura menekan tombol lift, tiba-tiba seorang petugas security datang menghampirinya. "Maaf Bu, silahkan naik lift yang ada di sebelah sana," ucap petugas keamanan tersebut. "Kamu berani melarang saya naik lift kusus ini? Kamu tidak tau siapa saya?" tanya Laura dengan nada angkuh. "Maaf Bu, Pak Arfa yang memberi perintah. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh menaiki lift ini, dan Ibu tidak di izinkan menaikinya," jawab petugas keamanan tersebut dengan ramah. "Saya ini istri nya pak Arfa, bukan orang lain. Tidak ada yang bisa melarang saya," sahut Laura. "Seret saja wanita ini keluar, jika ia masih ngotot ingin menaiki lift ini." Tiba-tiba terdengar suara Alex dari arah belakang Laura. "Kau," ucap Laura serayak menunjuk ke arah wajah Alex dengan tatapan benci. "Kenapa? Apa kau tuli sampai tidak mendengar apa yang di katakan oleh petugas keamanan ini?" tanya Alex sambil bersedekap. "Apa kau juga tuli dengan apa yang aku katakan tadi? Aku ini istrinya mas Arfa, apa kau lupa?" "Istri? Kau istrinya Arfa? Mengapa aku sampai tidak tau? Kau istrinya yang ke berapa? Ke dua? Ke tiga? Yang aku tau istri pertama dan terakhir buat Pak Arfa adalah Nona Aleena," jawab Alex dengan tenang. "Kurang ajar!" Secepat kilat Laura melayangkan sebuah tamparan ke wajah Alex. Tap! Secepat kilat juga, Alex menahan tangan wanita itu di udara. "Jika kau ingin keluar dari kantor ini dalam keadaan utuh, bersikap sopanlah. Dan jika kau ingin ke lantai atas menemui Arfa, maka gunakan lift karyawan yang ada di sana. Jangan melampaui batasanmu, karna kau bukan siapa-siapa bagi Arfa." Bruk! Tubuh Laura langsung tersungkur ke lantai, begitu Alex menyentakkan tangannya dengan kasar. "Pastikan wanita ini tidak menggunakan lift kusus, seret saja tubuhnya keluar jika ia masih bersikeras." Perintah Alex kepada petugas keamanan yang berjaga, lalu membalikkan tubuh meninggalkan tempat tersebut. "Siap Pak!" Jawab mereka serentak. Laura yang masih terduduk di lantai, mengepalkan kedua tangannya sambil menatap nyalang ke arah Alex. Ingin rasanya ia membunuh Alex saat ini juga, dengan kedua tangannya sendiri. Sakit hati, marah, benci dan malu, bercampur aduk menjadi satu di d**a Laura. Air mata wanita itu seolah sudah mengering, hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sakit yang tiada terkira di rasakan oleh wanita itu saat ini. Tidak hanya melukai hati dan perasaanya, tapi Arfa juga menjatuhkan harga dirinya dengan mempermaluknnya di depan banyak orang. Dengan langkah tertatih, Laura kemudian menuju ke arah lift yang biasa di gunakan oleh para karyawan. Sudah sejauh ini penderitaan yang ia rasakan, Laura pun bertekad untuk tidak akan pernah menyerah. Jika ia tidak berhasil mendapatkan Arfa kembali, maka ia juga tidak akan membiarkan Aleena untuk mendapatkannya. Itulah tekadnya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD