23. Pemilik Laptop

1711 Words
Indra baru bisa bernapas lega setelah dia masuk ke dalam toilet. Benar saja, baru duduk dan membuka celana isi perutnya langsung keluar tiada ampun. “Aaaah ... sambal cumi. Pasti gara-gara makan itu,” gumam Indra teringat dengan makanan pedas kemarin yang dia pesan dari aplikasi G. Setelah membuang seluruh hajat, Indra membersihkan diri. Dirasa semua beres dan sudah bersih higenis, barulah dia keluar dari kamar mandi dan kembali ke ruang kerjanya. Langkah Indra kian cepat saat teringat bahwa tadi Chelsea sempat mengambil alih teleponnya. “Gadis itu ... awas aja kalau semua jadi kacau,” gumam Indra penuh ancaman. Sesampainya di tempat, Indra langsung membuka pintu tanpa permisi. Bukan masalah sebab ini merupakan ruang kerjanya sendiri. Namun ketika dia benar-benar masuk dan menutup pintu, ada suara desahan saling bersahutan, membuat dahi Indra langsung mengernyit dalam. Untuk beberapa saat lamanya tubuh Indra membeku ketika menyadari dari mana suara tersebut berasal. Iris matanya mengunci Chelsea yang sudah duduk di kursinya tepat di depan sebuah laptop yang masih menyala. “Aaah ... aaah ... ahhh ... faster baby. Faster ahhh ... “ Seandainya saja Indra adalah seorang perempuan, pasti dia sudah berteriak histeris sebab ketahuan aibnya oleh orang lain. Apalagi orang lain itu mempunyai gender yang berbeda. Rasa malu pasti akan hinggap luar biasa jika mengalaminya sendiri. Akan tetapi Indra adalah seorang pria. Dia tidak berteriak keras lebay seperti perempuan melainkan langsung melesat, berlari cepat untuk menutup laptop di meja. Hening. Bahkan posisi Indra sekarang malah membuat situasi yang tadi awkward makin awkward lagi. Bagaimana tidak? Jika dia berdiri sambil membungkukkan separuh badan? Tangannya menutup laptop sementara di belakang sana p****t bulat yang tertutup celana bahan berwarna abu-abu tercetak dengan jelas? Chelsea sampai menganga dibuatnya. Blush! Kedua pipi dua insan tersebut memerah, sama-sama malu. Indra pun segera memperbaiki posisinya agar berdiri tegak sementara Chelsea langsung membuang muka. Berpura-pura jika hal itu tidak pernah terjadi ataupun dia lihat. “Ke-kenapa kamu lancang sekali membuka aplikasi di dalamnya?” tanya Indra dengan nada tinggi. Mengomeli Chelsea. Hanya dengan cara inilah dia bisa menutupi rasa malu. “I-itu ... saya tidak sengaja ...,” cicit Chelsea, namun ketika dia menyadari dia tidak salah-salah amat, Chelsea balik mengomel. “Lagian kenapa di laptop kerja ada film p***o—“ “Shhhh! Diam! Jangan keras-keras!” potong Indra cepat. Dia melirik, menoleh ke kanan dan ke kiri sementara telinga dia pertajam, waspada kalau-kalau tiba-tiba ada orang lain di depan ruang kerjanya. Setelah memastikan semua aman, Indra menarik napas panjang. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum garis lurus. “Itu bukan urusan kamu.” Adalah jawaban paling bijak menurut Indra saat itu. Akan tetapi sayang, dia malah malah mendapatkan tatapan mata Chelsea yang menyipit, sementara kedua bibir gadis itu terangkat naik, menahan tawa mencemooh. “Oh, dari ini sisi lain dari seorang Bapak Indra yang perfeksionis. Kabar baik sih, karena for your information, Pak. Orang-orang juga mulai berpikir kalau Pak Indra adalah seorang gay.” “A-aku?! Gay? Huh!” dengus Indra tidak percaya. “Bagaimana mereka bisa menyimpulkan hal semacam itu seenak jidat?” Chelsea mengindikkan bahu. “Entahlah. Mungkin karena Pak Indra satu-satunya pria yang tidak takut atau panik ketika berada di sekitar Pak Bastian. Atau mungkin juga karena Pak Indra tidak pernah berkencan dengan seorang wanita—well, setidaknya orang-orang di perusahaan ini tidak pernah tahu atau melihat Bapak berkencan dengan seorang wanita mana pun dan juga, mereka bahkan sempat berpikir kalau Bapak mungkin sudah punya hubungan spesial dengan Pak Bastian.” Menghela napas sejenak, Chelsea jadi sedih mengingat mustahil baginya mendapatkan Bastian. “It’s okay Pak kalau Pak Indra punya hubungan khusus dengan Pak Bastian. Tapi, Bapak harus janji satu hal sama saya , jangan pernah sekalipun bermesraaan dengan Pak Bastian di depan saya.” Cheslsea memegang dadanya dengan ekspresi wajah dramatis. “Rasanya sakit tahu. Ketika kamu jatuh cinta pada seseorang dan orang itu mencintai orang lain yang tidak mungkin bisa kamu kalahkan. Huuuft ... Tapi tenang saja. Sebagai sesama karyawan yang bekerja di perusahaan ini, saya tetap dukung Pa Indra sebagai pasangan Pak Bastian, bukan laki-laki kemarin yang saya lihat sedang berciuman dengan Pak Bastian.” Meski banyak sekali kalimat-kalimat pernyataan Chelsea yang ingin Indra sanggah, akan tetapi kenyataannya dia hanya fokus di satu kalimat terakhir. Mulut Indra setengah terbuka. Speechless. Hampir saja tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Apa katanya tadi? Bastian berciuman dengan laki-laki kemarin? Maksudnya Alex? “Oh, jadi pria itu namanya Alex? Ck, mulai saat ini sepertinya saya akan benci semua orang dengan inisial nama Alex!” gerutu Chelsea, di mana Indra baru sadar bahwa tadi dia tidak membatin dalam hati, melainkan bergumam keras sampai Chelsea pun bisa mendengarnya. “Ja-jadi itu yang membuat kemarin kamu keluar ruang kerja Pak Bastian dengan tanpa daya? Bahu merosot dan tatapan kosong?” Chelsea mengangguk sekali. “Sudah jangan dibahas. SAYA MAU MOVE ON!” teriaknya bersemangat. Kemudian dia menatap Indra dengan tatapan mencemooh sekali lagi. “Seleranya orang-orang Jepang ya, Pak? Hehehehe.” “Chelsea!” tegur Indra mendelik, yang malah membuat gadis itu tertawa kian keras. “HAHAHAHAHAHA!” tawa Chelsea sambil memegangi perut. Membuat wajah Indra memerah malu. “Sudah santai saja Pak. Nggak usah malu. Wajahnya sampai merah gitu.” Chelsea masih betah menggoda Indra. “Kan wajar tiap orang itu punya fetish dan selera—tunggu. Jadi Pak Indra bukan gay, Pak?” tuding Chelsea tanpa perasaan. “Kamu juga berpikir saya gay?!” tanya Indra setengah frustasi. “Nggak sih. Setidaknya habis nonton video di laptop ini. Hahahahaha.” “Chelsea!” “Iya?” “Berhenti meledek saya.” “Saya nggak meledek, Pak. Serius. Cuma lucu aja. Ternyata dibalik tampang pendiam dan datar ini tersimpan pikiran liar tentang—“ “Itu. Laptop. Pak Bastian.” Tanpa bisa dikendalikan, Indra mengatakan hal tersebut. Rasanya dia tidak tahan jika dikatai gay tepat di depan muka langsung. Lebih-lebih Indra masih sangat normal dan mencintai makhluk bernama perempuan. Hanya saja, dia memang belum bertemu perempuan yang sesuai dengan kriterianya. Makanya sampai sekarang dia masih single. Lain dengan Indra yang baru saja mengatakan hal jujur tersebut, lain pula dengan Chelsea yang tawanya langsung terhenti. Mulut yang sejak tadi terbuka gara-gara menertawakan Indra kini terkatup rapat. Iris matanya mengunci wajah Indra, mencari-cari apakah Indra sedang mengatakan lelucon atau bukan. Akan tetapi Chelsea tidak menemukannya. Tidak ada senyum sedikt pun di wajah Indra, melainkan wajah kesal karena dituduh yang tidak tidak oleh seorang office girl. What the fak, apa-apaan ini? Jika laptop ini milik Bastian apakah itu berarti ... Mulut Chelsea terkesiap. Menyadari satu fakta penting yang langsung terbentuk kala itu. “Jadi Pak Bastian tidak sepenuhnya gay, tapi dia biseksual? Dia tidak hanya tertarik dengan laki-laki saja namun bisa tertarik dengan perempaun juga?” kata Chelsea dengan suara lantang sampai-sampai dia berdiri sambil menggebrak meja. Indra pun menoleh saking terkejutnya. “Oh. My. God!” Chelsea berkata lagi. Entah ada apa dengan hatinya yang layu, sebab sekarang mengetahui fakta baru tersebut dia malah jadi tertarik untuk senyum-senyum sendiri. Chelsea pun menatap Indra penuh rasa terima kasih. Lantas dia meraih tangan Indra dan menggenggamnya. Jika ada orang lain yang melihat mungkin mereka akan mengira kalau Chelsea hendak menembak Indra dengan cara romantis. “Pak Indra yakin kan laptop itu milik Pak Bastian?” Indra yang sangat jarang memiliki kontak fisik dengan seorang wanita semakin merah mukanya. Jantung yang tadi berdetak normal kini jadi cepat karena posisi berdiri Chelsea yang teramat dekat. Lagi pula, seumur-umur, tidak ada perempuan yang berani menggenggam tangannya seperti ini, seperti yang sekarang sedang dilakukan oleh Chelsea. “Che-Chelsea, lepas—“ “Tidak. Tidak sebelum Pak Indra mengatakan yang sejujurnya. Laptop itu benar milik Pak Bastian?” Otak Indra bekerja cepat. Memikirkan kembali bahwa ucapannya tadi mungkin merupakan sebuah kesalahan fatal. “Pak?” bisik Chelsea, malah semakin melangkah maju, mendongakkan wajah hingga wajah mereka berjarak hanya satu jengkal. Indra tidak bisa bernapas. Ini semua benar-benar terlalu intim untuk ukuran seorang Indra. Pipi yang tadi merah karena malu kini makin bertambah merah seperti kepiting rebus. Demi membebaskan diri dari rasa aneh yang membuat dirinya grogi, Indra pun mengangguk. Menjawab dengan cepat. “I-iya,” ucapnya terbata. “Beneran?” Indra kembali mengangguk kuat. “Lalu yang naruh video xxxx itu ke laptop Pak Bastian, bukan Pak Indra sendiri kan?” “Bu-bukan. Untuk apa aku melakukannya?” “Ohm begitu. Jadi pasti ini kerjaan Pak Bastian sendiri,” gumam Chelsea sambil menampilkan senyum penuh kemenangan. Indra yang melihat meneguk saliva kasar. Entah kenapa mendadak perasaaannya jadi tidak enak. Dia merasa akan terjadi hal luar biasa ke depannya. “Pak Indra nggak bohong tentang jawaban dari pertanyaan yang saya lontarkan kan, Pak?” Kali ini Indra menggeleng. Yang semakin membuat Chelsea tersenyum kegirangan. “Lalu, Pak Indra sendiri memang suka nonton itu kah? Kok Laptop Pak Bastian ada di Pak Indra? Hayoo loh ngaku!” Oke, Indra tak tahan lagi. Dia menarik paksa tangannya dari Chelsea kemudian langsung mengambil langkah mundur selebar dua meter. Indra menarik napas lega. “Sekali lagi, Chelsea. Itu bukan urusan kamu. Dan yang jelas saya bukan gay dan saya tidak menonton film menjijikkan itu.” “Ah masaaaa?” kata Chelsea sambil menaik turunkan alis. “Terserah,” dengus Indra. Lalu dia menarik tangan Chelsea kemudian mendorongnya menuju pintu keluar. “Sekarang sebaiknya kamu pergi dari sini dan selesaikan pekerjaan kamu.” “Eh eh eh, tapi saya ke sini tadi mau nyari ponsel. Kayaknya ketinggalan di ruang kerja Pak Bastian makanya saya mau minta tolong ke Pak Indra buat ngambilin—oh, itu ponsel saya!” tunjuk Chelsea di meja sofa. Indra menoleh dan benar saja. Ada benda pipih yang bukan miliknya di atas sana. Setelah memastikan Chelsea mengambil barang miliknya, Indra kembali mengusir Chelsea dengan dalih dia harus kembali bekerja. Chelsea sendiri berkata bahwa dia memang akan pergi untuk melanjutkan pekerjaannya karena ponselnya sudah ketemu. Namun sebelum dia keluar, Chelsea teringat sesuatu tentang note dari investor tadi yang sempat dia tinggalkan di laptop. “Kalau Pak Indra mau, saya bisa mencarikan filenya tadi di laptop bagian—“ “Enggak. Nggak usah. Nanti saya cari sendiri,” sela Indra cepat. “Sekarang balik kerja sana. Go go go!!” Chelsea mengangguk, kemudian detik berikutnya gadis itu sudah keluar dari ruangan Indra dengan banyak rencana baru yang tersusun rapi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD