“Sorry ya Indra, saya ada keperluan mendadak. Saya akan segera kembali ke kantor setelah menjemput Alex.” Bastian berkata pada Indra ketika sekretaris pribadinya itu menoleh dan menatapnya penuh tanya.
“Pak Alex? Apa terjadi sesuatu hal yang buruk dengannya?”
“Ya, atau mungkin tidak. Saya akan segera mengetahuinya nanti,” jawab Bastian. “Oh, langsung saja nanti letakan laptopnya di meja kerja saya. Sekalian ya Indra, tolong buatkan surat tembusan ke perusahaan Brawijaya terkait produk sponsor yang kemarin sudah mereka sapakati dan tanda tangani.”
“Baik,” angguk Indra sembari menatap pintu lift yang kembali tertutup dan membawa Bastian turun ke lobi dasar.
Indra pun segera masuk ke ruang kerja. Di sana ada Chelsea yang baru saja meletakkan secangkir kopi di atas meja kerjanya.
“Selamat pagi,” sapa Chelsea ramah.
Indra menjawab sapaan dari Chelsea lengkap dengan senyum ramahnya. Harus Indra akui memang, bahwa kinerja Chelsea cukup bagus sebagai seorang office girl. Bahkan kopi buatan Chelsea pun rasanya enak sekali.
“Ruangan Pak Bastian sudah beres?”
“Sudah dong!” jawab Chelsea, kemudian dia pun segera pamit pergi untuk membersihkan ruangan lain.
Indra sendiri langsung melakukan rutinitas paginya. Dia mengecek jadwal kerja Bastian hanya untuk ia ingat-ingat nanti harus dia beritahukan pada pria tersebut. Terbesit sedikit tanda tanya dalam benak, ada urusan apa tadi Bastian mendadak pergi lagi.
Mungkin itu baru setengah jam berlalu, Indra masih sangat fokus menyortir email-email yang masuk ke email perusahaan ketika perutnya mendadak mulas. Indra berusaha menahan diri dan mencoba membalas surat satu persatu yang memiliki waktu mendesak untuk harus segera dibalas. Terutama tentang email-email yang berisi surat tembusan perjanjian kerja sama dengan Perusahaan WINA, berikut dengan para investornya.
Namun semakin lama Indra menahan mulas di perut, semakin besar pula penderitaannya. Terlebih panggilan telepon kantor terus berbunyi tiada henti. Berasal dari perusahaan-perusahaan besar yang menjalin kerja sama dengan perusahaan WINA.
“ ... terkait perjanjian tersebut yang akan berlaku sejak hari ini sampai kurang lebih tiga tahun lamanya. Kami telah mengecek email yang Anda kirimkan kemarin dan hasilnya adalah ... “
Sosok sekretaris dari seberang telepon terus menyerocos, sementara perut Indra semakin sakit. Bahkan saking mulasnya, tubuh Indra sampai tertunduk-tunduk.
Makan apa dia semalam? Kenapa perutnya mendadak mulas parah seperti ini? Batinnya.
Di sisi lain, Chelsea yang masih membersihkan ruang rapat baru menyadari bahwa ponselnya tidak ada di saku.
Dia mencari-cari ke lantai, takut-takut kalau jatuh di atas karpet. Namun di ruang rapat tidak ada.
Benda itu tidak mungkin tertinggal di loker kerjanya sebab sambil membersihkan ruangan Bastian, Chelsea sempat membalas pesan singkat dari Manda dan membahas soal makan siang nanti. Manda ingin bercerita banyak tentang kencannya kemarin.
Huh, mungkin Manda hanya akan pamer pada Chelsea bahwa hubungannya dengan sang kekasih berjalan dengan sangat-sangat baik.
“Jatuh di ruang kerja Pak Bastian kali ya?” gumam Chelsea. Dia menatap jam dinding ruang rapat dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi.
“Aduh, sudah datang belum ya dia?” kata Chelsea lagi sambil menepuk jidat. Sebab kalau CEO-nya sudah datang, dia pasti tidak akan bisa mengambilnya sampai jam makan siang atau malah sampai pulang kerja nanti. Padahal Chelsea akan merasa sepi tanpa ponsel dan mengecek pesan-pesannya yang masuk. Meski kebanyakan chat random dari Manda saja.
Chelsea bergegas keluar dari ruang rapat. Berjalan perlahan sembari mengawasi apakah Bastian sudah datang atau belum. Dia terlalu takut membuka ruang kerja Bastian saat ini. Takut kalau pria itu sudah ada di dalam sana.
Chelsea bisa membayangkan iris mata tajam yang akan Bastian layangkan padanya jika Chelsea masuk seenaknya tepat di depan mata kepalanya sendiri.
“Iiiiish, ngeri!” Tubuh Chelsea merinding.
“Oh, minta tolong Pak Indra saja deh!” Chelsea mendadak punya ide bagus. Solusi semua masalah yang berhubungan dengan ruang kerja Bastian saat ini hanyalah Indra saja.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Chelsea mengetuk pintu ruang kerja Indra. Dia mengernyit sebab sama sekali tidak ada jawaban dari dalam.
Aneh.
Chelsea mencoba mengetuk pintu Indra lagi, kali ini lebih keras namun masih saja tidak ada seruan baginya untuk masuk.
Apa Pak Indra sedang ada di ruangan Pak Bastian ya? Makanya nggak dengar? Batinnya.
Diam-diam, Chelsea pun membuka pintu ruangan Indra. Awalnya dia mengintip saja dan kemudian tersenyum lega mendapati pria itu masih duduk di mejanya.
“Permisi, Pak,” ucap Chelsea, kembali mengetuk pintu meski kali ini kepalanya sudah menyembul dari luar. “Saya sudah ketuk pintu tapi Pak Indra tidak dengar—“
Kalimat Chelsea terinterupsi karena Indra sudah melambaikan tangannya, meminta Chelsea untuk mendekat. Chelsea pun menurut. Gadis itu mengernyit heran melihat tangan kanan Indra sibuk memegang ganggang telepon sementara tangan yang lain sibuk memegang perut. Chelsea juga baru sadar betapa pucat wajah Indra, pun dengan keringat sebesar biji-biji jagung yang keluar dari pelipis jatuh ke sepanjang rahang dan lehernya.
“Pak Indra sakit?” tanya Chelsea setengah berbisik sebab dia tahu Indra sedang menelpon, mendengarkan pembicaraan penting dari seberang sambil berusaha mengingatnya.
Mata Chelsea tertuju kepada laptop berisi banyak email. Ada ketikan balasan tidak selesai di sana.
“Tolong aku,” jawab Indra tanpa suara. Wajahnya semakin pucat seiring detik yang terus berjalan.
Chelsea mengangguk, kemudian menekan tombol speaker telepon. Saat itu, Chelsea masih sempat mendengar sedikit penjelasan mengenai beberapa hal yang katanya sudah dikirm via email dua hari yang lalu dan membutuhkan jawaban cepat.
“Halo? Halo? Apa anda masih bersama saya?”
Indra ingin menjawab iya, namun tak kuasa. Akhirnya Chelsea lah yang menggantikannya.
“Ya, saya masih bersama Anda.”
Hening sejenak. Sepertinya orang di seberang telepon terkejut sebab suara Indra berubah menjadi perempuan.
“Maaf, Pak Indra sedang ada urusan mendadak tadi. Beliau akan segera kembali secepat mungkin. Namun Anda tenang saja, saya sudah mendengar penjelasan tadi. Yang anda butuhkan adalah beberapa data laporan hasil penjualan perusahaan kami bulan lalu sebagai patokan memperkuat keyakinan para investor. Di sini saya akan mengirimkan email pada Anda. Silakan langsung dicek ya.” Chelsea berkata dengan tenang, kemudian mengambil alih laptop Indra.
Sebenarnya Indra ingin mencegah, bahkan memarahi Chelsea yang sok paham tentang pekerjaan. Namun isi perutnya sudah ingin keluar. Dan dia harus ke toilet sekarang! Sekarang juga!!
Indra pun berdiri, sambil memegangi perut, dia berjalan tertatih meninggalkan ruangan untuk segera membuang apapun yang ingin keluar saat ini dari dalam perutnya. Sementara Chelsea masih sibuk dengan panggilan telepon Indra.
“Iya. Iya. Oke, nanti saya sampaikan. Tentu jika perusahaan kami sudah menerima detail dengan jelasnya, maka kami akan mengevaluasinya untuk kemudian dinaikkan ke atasan atau tidak. CEO kami sangat cerdas, jadi anda bisa mempercayakan hal ini pada perusahaan kami. Iya. Iya. Baik. Terima kasih.”
Chelsea menutup telepon sambil mendesah lega. Matanya menatap note di laptop yang buru-buru dia buka dan ketik perihal apa saja yang tadi dibicarakan oleh klien mereka.
Untung saja dia pernah bekerja sebagai sekretaris, jadi dengan mudah dia menghandelnya.
Setelah mengamati beberapa tulisan dan memperbaikinya agar bisa dipahami dengan mudah oleh Indra, tak sengaja keyboard malah mengklik sebuah folder bertuliskan RAHASIA.
Sebenarnya Chelsea sudah ingin menutupnya, namun justru dia malah mengklik tombol open. Kemudian mata Chelsea terbelalak lebar, sebab yang dia lihat adalah sebuah video biru dengan artis dari Negeri Sakura sebagai pemain utama.
Apa-apaan ini? Jadi Indra adalah seseorang yang seperti ini? Batin Chelsea takjub.
Sayang, bersamaan dengan itu, Indra masuk. Dan dia langsung terkejut mendengar desahan bersahutan di ruangannya. Iris matanya bertatapan dnegan mata Chelsea awkward.
Oh my God, situasi macam apa ini?