12. Kekacauan Para OB

2111 Words
Pagi ini Bastian dibuat kesal setengah mati oleh para Office Boy di perusahaannya. Pekerjaan yang harusnya dia selesaikan pagi itu jutru kocar-kacir sebab ulah para staff kebersihan tersebut. Kacau, sungguh kacau! Seperti yang terjadi setengah jam yang lalu. Bastian masuk ke ruang kerjanya dan mendapati tempat itu sudah bersih. Bau harum aroma pewangi lantai tercium memenuhi hidung. Terasa segar ditambah dengan aroma pengharum ruangan yang terpasang. Sayangnya, ketika Bastian sudah sampai di meja, dia menemukan ketidak bersihan debu di sana. Bahkan ada setitik kotoran cicak yang masih menempel dan mengering, membuat kening Bastian berkerut-kerut tidak suka sekaligus jijik. “Indra! Panggilkan OB yang barusan membersihkan ruangan saya!” perintah Bastian melalui panggilan interkom. Indra mengiyakan. Dan beberapa menit kemudian seorang Office Boy masuk setelah mengetuk pintu. Semula, Office Boy bernama Raden itu berjalan dengan gagah berani menghadap Bastian. Akan tetapi ketika Bastian mulai sedikit mengomel perihal ketidak bersihan mejanya dan meminta Raden untuk membersihkannya ulang, tau-tau pria itu ambruk dan pingsan di tempat. Membuat Bastian kaget setengah mati. Setelah kejadian itu, Pak Budi segera menugaskan Office Boy lain untuk menggantikan pekerjaan Raden. Mengingat separuh dari mereka telah mengajukan diri untuk mendapatkan pekerjaan itu dengan iming-iming lima kali gaji normal mereka, maka Pak Budi mulai menunjuk mereka satu per satu. Mungkin saat itu, Bastian yang terlalu positif. Mungkin juga Bastian yang terlalu mengharap mendapat hasil lebih. Sebab tak ada satu pun yang berjalan lancar setelahnya. Dimas—Office Boy yang menggantikan Raden, memang langsung tanggap mengambil lap meja beserta cairan pembersih meja bersamanya. Karena tadi komplen pertama Bastian adalah masalah kotoran cicak, maka dia pun segera mengatasi hal tersebut. Sambil membayangkan gaji lima kali lipat yang akan dia dapat, Dimas menyemprotkan cairan pembersih ke meja. Dan saking semangatnya, dia jadi terlalu over. Semprotan yang harusnya sekali cukup, dia gunakan sebanyak-banyaknya hingga tak sengaja mengenai tumpukan berkas di meja kerja Bastian. “M-m-maaf, Pak!” seru Dimas segera. Kulit wajahnya yang putih sebab dia berdarah campuran menjadi merah karena merasa bersalah sekaligus ketakutan. “S-s-saya tidak sengaja. T-tapi ini Cuma basah sedikit kok! Coba lihat!” Mengambil tumpukan berkas yang tadi terkena semprotan cairan pembersih, Dimas lupa sama sekali kalau tangannya pun masih setengah basah dan kotor. Membuat kertas berisi surat-surat perjanjian kerja sama dengan perusahaan lain tersebut semakin basah dan kotor. Wajah Dimas semakin pucat dibuatnya, menyadari apa yang baru saja dia lakukan. “M-m-maaf ...,” cicitnya. Rahang Bastian mengertak, namun dia menahan diri untuk tidak berteriak. Maka dengan satu isyarat tangan, dia menyuruh Dimas keluar dari ruang kerjanya saat itu juga. Dimas pun tak banyak protes. Segera angkat kaki dari sana dengan terburu-buru. Bahkan sampai jatuh jungkir balik ke lantai, dia segera berdiri lagi dan kabur dari sana. Setelah Dimas, ada lagi Office Boy lain yang menggantikan. Yanto namanya. Seorang pria berumur sekitar tiga puluhan tahun dan berasal dari desa. “Bisa kan bikin kopi hitam?” tanya Pak Budi setelah menunjuknya. “Bisa dong. Kan tiap hari saya minum kopi hitam pagi dan siang dan malam. Ditemani sebungkus rokok jarum super istimewa yang nikmatnya tiada tara dan bisa membuat hidup lebih bermakna,” jawab Yanto yang memang suka melebih-lebihkan jawaban. “Oke. Oke,” angguk Pak Budi. “Kalau begitu tugas kamu sekarang adalah buatkan kopi hitam untuk Pak Bastian lalu antarkan langsung ke ruang kerja beliau. Ingat, hati-hati! Jangan buat kesalahan seperti dua teman kamu sebelumnya. Paham?” “Demi gaji lima kali lipat! Saya paham sekali Pak Budi!” Setelah itu Yanto pun berangkat untuk melakukan tugasnya. Dia pergi ke lantai tiga puluh, masuk ke dalam dapur dan membuat secangkir kopi hitam. “Hmmm,” gumamnya nikmat ketika menghirup aroma kopi tersebut. “Pak Bastian pasti suka!” kekehnya ringan. Yanto meletakkan kopi tersebut di atas nampan, kemudian barulah dia pergi ke ruang kerja Bastian dengan penuh percaya diri. Tok tok tok! Rasanya kekesalan Bastian baru saja reda ketika pintu ruang kerjanya diketuk dari luar. Kacaunya kejadian tadi membuat pria itu langsung bersikap defensif dan waspada. Meski bibirnya langsung menyerukan kata, “Masuk!” Pintu terbuka, muncullah seorang office boy dengan nampan di tangan. Ternyata dia sedang membawa secangkir kopi hitam untuknya. Di sisi lain, tadinya Yanto memang sudah siap lahir batin untuk melayani Bastian sebagai OB khusus, terlebih bayangan gaji per bulan yang tinggi membuat dia jauh jauh lebih siap dari pada apapun dan siapapun. Namun siapa sangka ketika iris mata hitam itu mengawasinya tajam, memperhatikannya mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, Yanto merasa Bastian sedang menelanjanginya. Gawat! Jantung Yanto mulai berdebar tak karuan. Langkah kaki yang tadinya penuh percaya diri kini mulai sedikit oleng gemetaran. “S-s-saya membawakan kopi hitam untuk Pak Bastian,” ucap Yanto, terlalu lirih untuk didengar oleh Bastian. “Letakkan saja di sana,” ucap Bastian kemudian. Dia menunduk, melanjutkan mengamati laporan dari tablet yang dia bawa. Seharusnya Yanto sudah bisa merasa lega karena Bastian tak lagi memperhatikannya. Seharusnya Yanto sudah bisa bersikap rileks karena bastian tak lagi mengawasinya seperti tadi. Namun entah bagaimana, gemetar di tubuhnya tak kunjung hilang. Otaknya yang tiap malam selalu dia pakai untuk menonton film layar biru tiba-tiba memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Bagaimana kalau ketika dia meletakkan cangkir gelas itu, tiba-tiba Bastian memegang tangannya? Bagaimana kalau setelah itu tiba-tiba Bastian berdiri dan menciumnya? Bagaimana kalau saat dia berbalik akan pergi, Bastian tiba-tiba mencegahnya. Menggenggam tangannya dan memeluknya dari belakang? Aduh, demi Tuhan! Dia benar-benar laki-laki tulen yang cinta mati sama makhluk berjenis kelamin perempuan. Dia tidak siap jika mendadak Bastian memintanya untuk menjadi gay. Kan gini-gini, meski dia dari desa, namun tampangnya lumayan cakep. Jadi Pak Bastian pasti menyukainya. Pasti! Karena tadi dia mengawasinya dengan intens saat pertama kali dia masuk. Keanehan pikiran-pikiran tersebut malah semakin membuatnya gemetar. Tangan kanan yang memegang cangkir pun ikut gemetar hebat. Dan sekeras apa pun Yanto berusaha mengendalikan diri agar tidak gugup, nyatanya hal tersebut sia-sia saja. Bastian sendiri yang mendengar suara aneh dari cangkir kopi langsung melirik. Matanya membulat mendapati tangan Yanto gemetar hebat. Miris dengan dugaan atas apa yang akan terjadi, mulut Bastian pun berkata terbata. “P-Pak. Ja-jangan letakkan cangkir itu ke—“ Belum selesai Bastian pada kalimatnya, firasatnya benar-benar terjadi. Cangkir itu jatuh dan menumpahkan seluruh isinya di atas meja, mengenai file-file berisi kertas-kertas kerja yang baru saja Bastian selesaikan tadi malam dengan merelakan jam tidurnya. Tubuh Bastian jadi membeku, mematung dengan syarat mata putus asa. Apakah ini berarti nanti malam dia harus begadang lagi? Mengingat berkas-berkas tersebut akan dibutuhkan sesegera mungkin untuk devisi-devisi lain? “Ups, maaf,” ucap Yanto dengan nada penuh penyesalan dan rasa bersalah. Rahang Bastian mengetat kuat. Giginya bergemeletuk karena kini rasa kesalnya langsung naik hingga seratus derajat celcius. Tangannya mengepal kuat, sementara napasnya langsung terdengar berat karena benar-benar marah. “PERGI. DARI. RUANGAN SAYA. SEKARANG JUGA!!” teriak Bastian sambil mendesis. Tanpa membereskan kekacauan yang disebabkan, Yanto pun langsung kabur dari sana. Dia tidak ingin mengambil risiko diamuk bosnya. *** Kemarin Pak Budi telah berada di ruangan Bastian. Hari ini dia pun berada di ruang kerja Bastian lagi. Sayang, kemarin dia masih beruntung ditemani oleh tiga orang office boy. Sekarang? Dia hanya sendiri. Yang mana hal itu membuat dia harus kesulitan meneguk saliva berkali-kali. Keringat-keringat sebesar jagung pun menetes di kening dan lehernya saking gugupnya bertemu empat mata dengan CEO nya. Bastian tidak menoleh ke arah Pak Budi yang duduk di kursi sama sekali. Alih-alih, dia justru berdiri menatap jendela besar, di mana dia bisa langsung menatap sebagian keindahan kota Jakarta di siang hari. Hiruk pikuk kendaraan terlihat seperti semut di bawah gedung-gedung pencakar langit nan menjulang tinggi. Setidaknya, dengan cara ini Bastian bisa lebih cepat meredam emosinya yang tadi. Karena sudah lima belas menit Pak Budi di sana dan Bastian sama sekali belum berbicara padanya sejak dia masuk, Pak Budi mulai berdehem kecil. Kakinya bergerak-gerak gelisah di bawah meja. “Ehm, ehm. Pak Bastian. Apa anda ingin saya mengganti office boy yang baru lagi?” tanya Pak Budi memulai pembicaraan. Dia sudah menebak ke arah mana Bastian akan membahas dan perihal dia dipanggil. Pasti karena kekacauan yang disebabkan para OB. “Untuk apa? Membuat kekacauan lagi di tempat ini?” tanya Bastian balik. Dia memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat dan tatapannya langsung menghujam ke Pengawas staff kebersihan pria tersebut. Pak Budi menunduk, kedua tangannya saling bertautan untuk mengurangi rasa gugup. “La-lalu, saya harus bagaimana?” Bastian tidak langsung menjawab. Dia justru kembali duduk kemudian mengamati ekspresi Pak Budi yang terlihat begitu tegang. Hal yang baru Bastian sadari bahwasannya kebanyakan karyawan pria di perusahaannya memang setegang itu ketika berpapasan dengan Bastian. Kini Bastian mulai bertanya-tanya apakah keputusannya salah ketika memberi tahu publik bahwa dia pecinta laki-laki? “Siapa namanya?” ucap bastian kemudian. “H-hah? Nama siapa? Pria yang barusan menumpahkan kopi?” tanya Pak Budi memastikan. “Bukan.” Bastian menggeleng. “Gadis yang kemarin kamu suruh untuk membersihkan ruang kerja saya.” Meski tidak paham kenapa Bastian menanyakan tentang Chelsea, Pak Budi tetap menjawab jujur. Dia pun menyebutkan nama lengkap Chelsea sekaligus memberi tahu nama panggilannya. “Chelsea?” “Iya, Pak.” Bastian menghela napas singkat. Setelah dipikir-pikir lama tadi, dan karena dia tidak ingin mengulang kekacauan yang terjadi, bastian jadi mengambil keputusan ini. Sebuah keputusan yang menentang syarat-syarat yang dia tetapkan di ruang kerjanya sendiri. “Chelsea? Kamu punya biodatanya?” tanya Bastian lagi. “T-tidak, Pak. Di-dia baru bekerja dua hari dan belum sempat menyerahkan data dirinya ke bagian HRD,” jawab Pak Budi yang langsung membuat dahi Bastian mengerut dalam. Bagaimana mungkin ada seorang karyawan yang bekerja tanpa melalui HRD lebih dulu? Hal itu terbaca jelas oleh Pak Budi, dia pun segera melanjutkan. “M-maaf, Pak. Chelsea barang kali memang karyawan ilegal selama dua hari, namun saya dan Bu Siti sudah berencana untuk memberi tahu HRD kemarin, jika saja Pak Bastian belum memergokinya di ruangan ini dan mengusirnya pergi.” Bastian memijit pelipisnya sejenak. Kemudian barulah dia memberitahukan keputusannya pada Pak Budi. “Oke. Berhubung saya tidak ingin ada kekacauan lagi, kamu bisa menyuruhnya untuk membersihkan ruang kerja saya setiap hari. Sepertinya hanya dia yang bisa bekerja dengan baik di ruangan ini.” Pak Budi hampir saja membuka mulut, mengatakan pada Bastian bahwa Chelsea sudah memutuskan resign kemarin. Namun jika dia mengatakan hal ini, sudah pasti malah akan lebih gawat. Dia akan terus berurusan dengan drama tiap pagi para office boy karena dijadwalkan bersih-bersih di ruangan kerja Bastian dan mungkin juga akan berurusan dengan Bastian sendiri jika diketahui para OB membuat kekacauan. Dan sungguh, terus menghindari berurusan dengan Bastian adalah prioritas Pak Budi selama bekerja di perusahaan WINA. Jadi dia menahan diri untuk tidak mengatakan pada Bastian bahwa Chelsea sudah resign. “Pak Budi? Kamu mendengarkan saya?” tanya Bastian sebab Pak Budi belum juga memberi respon. “Eh? I-iya. Iya Pak, siap! Nanti saya suruh Chelsea untuk membersihkan ruang kerja Pak Bastian.” “Bagus!” ucap Bastian. “Dan jangan lupa suruh dia mengirimkan data diri di bagian HRD. Saya tidak mau ada satu pun karyawan yang tidak jelas asal-usulnya menetap di perusahaan saya. Mengerti?” “Mengerti Pak.” “Sekarang kamu boleh pergi.” Pak Budi menghela napas lega. Dia berdiri dan pamit keluar. “Oh, iya. Pak Bastian masih mau kopi hitam lagi? Nanti saya suruh salah satu OB buat—“ “Tidak usah, Pak Budi. Saya bisa membuatnya sendiri,” potong Bastian cepat. Benar-benar sudah tidak sanggup apabila ada satu lagi OB yang berbuat kacau di ruang kerjanya. Sudah cukup begadang lagi yang Bastian dapatkan untuk nanti malam. Dia tidak ingin mengambil risiko lain lagi. Setelah itu, Pak Budi pun keluar. Dia bergegas naik menuju lift, kemudian berlari-lari kecil mencari keberadaan Bu Siti. “Kenapa sampai lari-lari begitu?” tanya Bu Siti heran. Melihat Pak Budi yang sampai ngos-ngosan. “I-itu Bu Siti. Ibu punya nomornya Chelsea nggak?” tanya Pak Budi langsung ke poinnya. “Punya, kenapa memang?” tanya Bu Siti dengan dahi mengernyit. Dia memang sudha sempat bertukar nomor kontak dengan Chelsea saat awal pertama gadis itu bekerja di sana. “Syukurlah,” ucap Pak Budi. “Syukurlah kenapa?” “Itu Bu ... Jadi bla bla bla ... “ Pak Budi pun menjelaskan apa yang telah terjadi di lantai tiga puluh pada Bu Siti. Mulai dari awal sampai akhir, tanpa mengurangi satu pun detail cerita. Bu Siti sesekali mengangguk dan sesekali menahan senyum geli. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana lucunya situasi yang tadi terjadi. Pasti CEO mereka pusing tujuh keliling akibat kekacauan yang disebabkan oleh para OB di ruang kerjanya. "Makanya, saya ingin membawa Chelsea kembali bekerja di sini. Yah, itu pun kalau dia mau. Smeoga mau," tutur Pak Budi selanjutnya, yang ingin membawa Chelsea kembali bekerja di perusahaan WINA demi keselamatan hidup para staff kebersihan laki-laki di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD