Atas desakan dari Bastian dan ketakutannya akan dipecat dari perusahaan, Pak Budi memberanikan diri untuk mengungkapkan alasan sebenarnya kenapa kemarin dia menyuruh Chelsea membersihkan ruang kerja Bastian.
Pak Budi mulai menceritakan awal dia masuk kerja sebagai pengawas staff kebersihan. Saat itu dia menggantikan Pak Rangga yang mengundurkan diri. Di sana dia mendapati betapa kacaunya sistem kerja karyawan. Tidak ada pergantian jadwal sehingga mereka ditugaskan membersihkan gedung di lantai, tempat dan spot yang sama setiap hari.
Yang jadi masalah besar adalah, para OB yang bertugas membersihkan ruang kerja Bastian. Kebanyakan dari mereka langsung mengundurkan diri setelah satu minggu. Paling lama satu minggu lebih dua hari, saking takutnya mereka di notice oleh CEO mereka sendiri.
“Tunggu. Mereka takut saya notice?” tanya Bastian tidak percaya. Padahal dia saja sering sekali mengabaikan keberadaan OB maupun OG jika berpapasan dengannya di lorong maupun di lobi.
Lantas bagaimana mungkin Bastian akan menotice mereka? Begini-begini, dia tentu punya selera tinggi! Mendadak harga dirinya jadi terluka.
“I-iya, Pak,” cicit Pak Budi takut-takut. “Maaf.”
“Lalu apa kamu bilang tadi? Mereka berhenti setelah seminggu membersihkan ruang kerja saya? Kamu pasti bercanda!” Bastian mendengus keras.
“Tapi itulah yang terjadi sebenarnya. Sekali saja mereka berpapasan dan Pak Bastian sapa, esoknya mereka langsung demam dan mengundurkan diri.”
“Apa?!” Bastian tambah terkejut. Pasalnya dia tidak pernah tahu hal ini tengah terjadi. “Lalu?”
“L-lalu .. Aryo, OB terakhir yang saya tugaskan membersihkan ruangan Pak Bastian terakhir kali juga sekarang masih demam setelah melihat Pak Bastian buka baju di depannya.” Suara Pak Budi terdengar lirih di bagian akhir, namun cukup memukul telak Bastian, membuat mulut pria itu menganga.
Apa-apaan? Mungkinkah si Aryo itu salah paham Bastian akan menerkamnya sementara yang sedang terjadi sebenarnya adalah ada noda saus di kemeja kerja Bastian. Saat itu dia harus segera menghadiri meeting di ruang rapat, makanya dia perlu berganti baju secepat mungkin. Dan itu Bastian lakukan di ruang kerjanya.
Memijit pelipis, iris mata Bastian lalu jatuh ke tiga orang Office Boy yang masih berdiri di dekat pintu.
“Kalian!” serunya.
Ketiga OB tersebut tersentak kaget, lalu serempak menjawab terbata, “I-iya, Pak.”
“Apa kalian juga takut saya notice?”
Tanpa berpikir panjang mereka bertiga mengangguk keras.
“Dan apakah itu sebab kenapa kamu tadi pingsan saat saat masuk ke ruangan saya? Kamu juga takut saya notice Pak Budi?” tanya Bastian dengan nada suara datar.
“I-itu ... “ Pak Budi meringis, menggaruk rambut belakangnya yang tidak gatal kemudian mengangguk pelan. “Iya, Pak. Bahkan sekarang saya takut Pak Bastian tiba-tiba ada rasa sama saya. Mohon maaf, tapi serius, saya masih normal. Sudah punya istri perempuan dan tiga orang anak.”
Bastian speechless, mulutnya ingin mengatakan sesuatu seperti mengumpat atau berkata kasar tapi tertahan begitu saja di ujung mulut!
Fuck! Pria yang menjabat sebagai CEO sekaligus pemilik perusahaan WINA tersebut merasa harga dirinya benar-benar runtuh!
Sempat terdiam beberapa menit, memikirkan kembali apa yang diucapkan Indra tadi sebelum dia menginterogasi Pak Budi. Bahwa meskipun Bastian memecat mereka semua dan mengganti dengan karyawan baru tentu kejadian ini akan terus berulang. Dan semua ini dikarenakan oleh orientasi seksualnya.
Seriously?
Padahal apa salahnya dengan menjadi gay? Toh, dia tidak menyakit siapa pun dan tidak merusak hidup siapa pun.
Lagi dan lagi, Bastian memijit pelipisnya. Sampai akhirnya sebuah ide yang brilian muncul di kepala. Tentang bagaimana solusi agar masalah ini bisa terpecahkan. Layak dicoba, dan itu membuat sudut bibirnya terangkat sedikit naik ke atas.
“Kalau begitu saya punya penawaran menarik. Kalian bertiga! Kemari!” panggil Bastian pada tiga OB yang ada di sana.
Mereka bertiga pun mendekat, berdiri berbaris dengan rapi. Dengan kepala tertunduk dalam sesekali melirik Bastian melalui ekor matanya.
“Saya akan memberikan penawaran menarik buat kalian,” kata Bastian. Menggantung sebentar kalimatnya sehingga membuat Pak Budi dan tiga OB tersebut agak penasaran. “Siapa pun di antara kalian bertiga yang mau membersihkan ruang kerja saya setiap pagi, gajinya akan saya kalikan dua kali lipat.”
Hening.
Tidak ada yang menerima tawaran tersebut. Bahkan Pak Budi pun menggelengkan kepala saat Bastian menoleh padanya, padahal dia bukan OB yang ditawari pekerjaan tersebut.
Bastian menghela napas sabar. Sepertinya dia butuh strategi lain.
“Oke. Kalau begitu tiga kali lipat!” ucapnya sambil mengacungkan tiga jari tangannya.
Ketiga OB itu saling menatap satu sama lain, lalu serempak sama-sama menggeleng. Rupanya kewarasan jiwa dan raga mereka lebih penting dari pada gaji tiga kali lipat.
Bastian jadi kesal sendiri. Rahangnya mengetat keras. Jengkel.
“Oke. Lima kali lipat. Ini penawaran terakhir!” tukas Bastian masih keras kepala.
Cukup lama dia menunggu dengan tegang hingga akhirnya dia tahu usahanya membuahkan hasil. Ketiga OB yang tadi menolak mentah-mentah tanpa pikir panjang kini perlahan mengangguk. Menyanggupi tawaran dari CEO mereka. Bastian menahan senyum di bibir. Puas.
“Bagus! Kalau begitu mulai sekarang Pak Budi, mereka bertiga yang akan membersihkan ruangan saya. Jadi tidak ada alasan lagi buat kamu menugaskan seorang Office Girl di lantai ini. Nanti saya juga akan berbicara dengan Indra perihal gaji bulanan mereka yang diperbarui,” putus Bastian final. “Jangan lupa kalian laporan juga sama Indra biar nama kalian didata untuk diserahkan ke bagian finansial.”
“S-siap, Pak,” jawab ketiganya, masih agak takut-takut.
Bastian mengangguk puas. Entah bagaimana dia merasa lega.
“Baik, kalian boleh pergi—eh tunggu. Buatkan saya satu cangkir kopi hitam ya,” pinta Bastian, yang dijawab dengan anggukan singkat dari ketiga OB tersebut.
***
Sungguh, beberapa menit yang lalu Bastian sudah mengira bahwa permasalahan akhirnya bisa terselesaikan. Bahwa solusi telah dia dapatkan dan pasti akan berjalan sangat baik sesuai dengan apa yang dia harapkan.
Tapi justru dia salah. Benar-benar salah!
Dion—salah satu OB yang tadi ditunjuk resmi oleh Bastian untuk membersihkan ruangannya, masuk membawa sebuah nampan dengan satu cangkir kopi hitam di atasnya.
Sebenarnya, Dion sendiri tidak ingin melakukan hal ini; mengantar kopi tersebut. Namun karena tadi dia kalah suit, jadilah dia yang harus mengantar sendiri.
Jantung Dion berdetak kencang melihat Bastian mengangkat kepala dan tersenyum kecil padanya. Lututnya bergetar tiap langkah yang dia ambil menuju meja kerja Bastian. Dan tangannya terasa kebas tatkala dia sudah berdiri tepat di depan meja Bastian dan hanya tinggal meletakkan cangkir tersebut ke atas meja.
Nampan itu jatuh begitu saja ke lantai, membuat cangkir berisi kopi tersebut tumpah berantakan di atas lantai. Untung tidak pecah!
Sementara Bastian terkejut dan langsung berdiri dari kursinya, Dion sudah duduk lemas di lantai. Dia menutup wajahnya dengan dua tangan, kemudian komat-kamit samar.
“What the hell,” maki Bastian lirih. Dia mengusap rambutnya ke belakang. Rasa kesal yang tadi sempat hilang langsung kembali lagi.
Di luar sana, Pak Budi dan dua OB lain yang menguping dari luar pintu untuk memantau keadaan pun terkejut. Cepat-cepat Pak Budi menyuruh mereka untuk segera mengambil alat kebersihan. Ketiganya masuk dan langsung membersihkan kekacauan yang terjadi.
“Apa masalahnya?” tanya Bastian setelah semua beres.
Dion masih terduduk lemas di lantai, sama sekali belum bergeming dari tempat semula sejak tadi.
“Dion! Di tanya tuh sama Pak Bastian!” bisik salah satu temannya.
Seolah baru sadar dengan apa yang terjadi, Dion mengerjab. Berdiri, Dion pun langsung membungkukkan badannya berkali-kali pada Bastian.
“Maaf Pak, maaf. S-sepertinya saya mengundurkan diri saja. Saya tidak sanggup,” kata Dion.
“Tidak sanggup? Tapi kamu digaji lima kali lipat!”
“Meskipun sepuluh kali lipat, s-sepertinya s-saya tidak mau,” jawab Dion. “T-tolong pecat saya saja.” Dion menunduk dalam-dalam, benar-benar tidak berani menatap langsung mata Bastian.
Meski kesal, Bastian mencoba maklum. Dia mengibaskan tangan dan berkata, “Saya pikir saya tidak perlu memecat kamu hanya karena masalah ini. Kamu bisa ikut Pak Budi saja dan membersihkan lantai lain.”
Dion menghela napas lega.
“Kalian berdua! Apa kalian juga ingin mengundurkan diri saja?”
Dua teman Dion langsung mengangguk serempak. Bahkan tidak perlu berpikir dua kali.
Bastian memijit pangkal hidungnya. Tidak, ini tidak benar. Kenapa hanya masalah kebersihan ruangan saja dia bisa dibuat pusing seperti ini?
“Pak Budi,” ucap Bastian kemudian.
“Iya, pak.”
“Umumkan ke seluruh OB tentang tawaran kenaikan gaji menjadi lima kali lipat jika mereka mau membersihkan ruangan saya.”
“Oh, b-baik, Pak!”
“Sekarang kalian semua boleh pergi.”
Tak perlu disuruh dua kali, dengan senang hati mereka pun langsung meninggalkan ruang kerja Bastian.