32. Penyesalan Bianca

1020 Words
Setelah menyampaikan kata PUTUS. Meski Steven akan menahannya sekalipun, Gladys harus tetap pergi agar tidak semakin menarik perhatian orang-orang kantin. Namun, sepertinya Steven juga cukup memiliki urat malu dan memilih melepaskan Gladys agar tidak menarik perhatian orang. Ya. Mereka cukup menarik perhatian para staf dan karyawan di kantin. Terlebih nama Gladys sempat santer di kantor karena ada beberapa orang yang pernah melihatnya di gendong Raziel yang tidak lain Direktur Utama mereka. Dan baru beberapa saat berlalu, gosip dengan cepatnya menyebar, mempertanyakan siapa pria yang tadi bersamanya. Gladys pun tidak ambil pusing. Dia memilih memesan menu makan siang dan minumannya di kantin. Demi menghindari tatapan dan gunjingan orang-orang yang terdengar memuakkan, Gladys memilih duduk di bagian sudut pojok kantin, dimana tempat itu lumayan sepi di tempati. Dengan se-nampan makanan yang sudah disajikan beserta minumannya, kali ini Gladys menikmati makan siangnya seorang diri. Agak sulit memang, harus memulai kebiasaan baru tanpa sahabat yang selalu bersama. Tapi ini lebih baik, untuk semuanya agar bisa memperbaiki perasaan masing-masing. Itu sebenarnya niat Gladys, hanya dalih agar tidak bertemu dengan Bianca. Namun itu sepertinya tidak berlaku untuk sahabat satu ini. Bianca tetap datang ke kantin mencari keberadaan Gladys yang terus menghindarinya seharian ini. Tanpa ba bi bu, begitu Bianca menemukan keberadaan Gladys, dia langsung menghampirinya bahkan tanpa memesan makanan terlebih dahulu. Saat ini Gladys tengah duduk seorang diri diantara ramainya penghuni kantin ditemani makan siangnya. Ia sungguh bernapas lega bisa menghindari orang-orang yang membuatnya badmood. Namun, saat ia sedang menyantap makanannya, dari arah belakang terdengar panggilan dari seseorang yang sangat ingin dihindarinya. “Dys, bisa kita bicara sebentar? Aku harap kamu mau meluangkan waktu untuk mengobrol denganku.” Bianca menyapa dengan panjang lebar.  Awalnya Gladys ingin mengabaikannya seolah tidak mendengar apapun. Tapi itu pasti tidak akan berakhir dengan baik dan yang ada justru mengundang gosip karena mereka saat ini sedang ada di depan umum. Gladys pun hanya bisa menghela napas dan menolehkan kepalanya ke belakang. Ia memejamkan mata sejenak dan mengatakan, “Huft … Bie, duduklah. Jangan hanya berdiri disitu. Kamu ingin membuat orang-orang membicarakan kita yang selalu bersama tiba-tiba terlihat bertengkar tanpa sebab?” Seketika kedua manik mata Bianca berbinar. Dia mungkin berpikir bahwa Gladys tidak akan bisa marah padanya lama-lama. Dengan perasaan riang, Bianca mendekat. “Dys … aku merindukanmu. Hiks … aku tahu kamu tidak akan mungkin marah padaku selama itu, kan? Aku tahu kamu pasti juga merindukanku.” Kepedean Bianca memang harus diacungi jempol. Dia mengatakan itu dengan muka tebal dan tidak mempertimbangkan reaksi Gladys yang tidak ada ramahnya sama sekali. Bianca pun duduk di samping kiri Gladys. Dia meraih tangan kiri Gladys dan menggenggam dengan kedua tangannya, mau tidak mau Gladys menghentikan aktivitas makannya dan menoleh ke arah Bianca. Raut wajah Bianca berubah menyendu dengan kedua iris matanya yang basah. Kemana perginya muka tebal yang tadi ditunjukkannya? Entahlah, yang jelas saat ini Bianca tampak ingin berbicara serius. Kenyataan bahwa Bianca menyembunyikan hal penting tentang pernikahan Steven tidak membuat Gladys memaafkannya begitu saja. Meski melihat sedikit penyesalan di wajah Bianca, Gladys masih menunjukkan sikap dinginnya. “Bie … ada apa lagi kamu mencariku? Apa kau tidak tahu atau pura-pura tidak mengerti bahwa aku ingin sendiri untuk saat ini?” Tanya Gladys, ia tersenyum tipis sambil perlahan melepas kedua tangan Bianca yang menggenggam tangan kirinya. Rasa sakit dan penyesalan yang dirasakan Bianca tidaklah kecil. Dia benar-benar menyesal karena telah membuat sahabat satu-satunya merasakan kekecewaan terdalam padanya. Tapi apa boleh buat, Bianca melakukan itu juga terpaksa dan tidak ada pilihan lain selain bungkam. Ada hal yang tidak bisa Bianca katakan pada Gladys mengenai alasan dia bisa tega menyembunyikan hal menyakitkan hati itu. “Dys … apa tidak ada pintu maaf untukku? Aku sadar kalau sikapku salah. Menyembunyikan kenyataan bahkan kamu tahu hal ini dari orang lain pasti lebih menyakitkan. Tapi aku mohon, Dys … aku sungguh-sungguh tidak bermaksud untuk itu. Aku tidak punya pilihan lain selain—” Geram dengan alasan yang sama, Gladys menatap tajam pada Bianca dan menyela perkataannya, “ … selain menutupinya dariku? Itu maksudmu dengan tidak ada pilihan lain? Bie, apapun alasannya … pada kenyataannya kamu sudah menyembunyikan hal penting ini dariku. Kamu tahu kan Bie, kita sudah bersahabat sejak lama dan aku menaruh sepenuhnya kepercayaan padamu. Tapi, mengapa kamu dengan mudahnya melakukan itu? Apa karena dia kakakmu, makanya kamu berusaha menutupinya!” Bianca menggelengkan kepala, “Tidak Dys, bukan karena itu. Aku saja tahu baru-baru ini. Asal kamu tahu, aku juga sama syoknya dengan mu. Aku tidak menyangka kakakku berani mengambil keputusan yang menyakiti sahabatku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, aku saja baru mengetahui ini. Niatnya aku ingin mengatakan padamu begitu kamu keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah tidak masuk kerja karena pemulihan diri, dan yang membuatku kaget rupanya kamu tahu lebih dulu sebelum aku memberitahumu. Dys … maafkan aku.” Wajah Bianca penuh penyesalan. Ya, Gladys dapat melihatnya dari bagaimana Bianca memperlihatkan sikapnya. Tapi maaf saja, hati dan kepercayaan yang sudah terlanjur dikhianati dan dibohongi, tidak mudah untuk menerima sebuah penjelasan karena mungkin saja dibalik penjelasan itu ada sedikit kebohongan lagi didalamnya. Tidak langsung menjawab perkataan dari penyesalan Bianca, Gladys hanya bisa menghela napas. Dia memang kecewa teramat dalam dengan bungkam dan bohongnya Bianca. Tapi akan sangat tidak adil jika ia tidak memaafkannya. Gladys mungkin bisa memaafkannya, tapi untuk memberi kepercayaan seperti dulu, sepertinya masih membutuhkan banyak waktu. “Bie, mungkin benar kamu tidak berniat melakukannya, maka dari itu aku memaafkanmu. Tapi untuk kembali percaya padamu, aku tidak bisa. Beri aku waktu untuk berdamai dengan perasaan kesal ini. Bisa?” hanya itu yang bisa Gladys katakan. Dia tidak mau membuat orang terjebak terus-menerus dalam penyesalan. Aura kebahagian seketika terpancar di wajah Bianca. Meski tidak sepenuhnya membuat Gladys kembali seperti sahabat lamanya, tapi setidaknya Gladys mau memaafkannya. Bagi Bianca untuk masalah kepercayaan yang hilang, dia akan melakukan apapun untuk mengembalikan hal itu.  Karena rasa bahagianya, Bianca refleks memeluk Gladys dengan senyum bahagia. “Terima kasih. Terima kasih sudah mau memaafkan ku, Dys. Aku memahami jika kamu tidak percaya padaku. Tapi aku tidak akan menyerah untuk mengembalikan kepercayaanmu yang hilang. Aku benar-benar bersyukur.” Dalam pelukan itu, Bianca menitikan air mata saking bahagianya dan itu sampai membasahi pakaian Gladys.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD