30. Posisi Ratu yang masih kosong

1021 Words
Raziel bangga memiliki orang yang selalu menjadi teman bicara seperti Roland. Senyum ramah tidak bisa disembunyikan. Ia pun mengangkat tangannya dan menepuk pundak Roland beberapa kali. “Kau benar. Keputusan yang sudah di ambil, mau bagaimanapun aku harus bertanggung jawab akan keputusan itu. Maka dari itu, aku membutuhkan mu dan Allard untuk menjalani keputusan itu.” Dimintai dengan rasa kekeluargaan membuat Roland semakin menaruh hormat pada Rajanya. Dia pun berdiri dari sofa lalu menghadap Raziel yang masih duduk menikmati winenya. Dengan tegas Roland menjatuhkan tubuhnya dan menggunakan lututnya sebagai tumpuan. Dengan posisi setengah berdiri, Roland memberikan penghormatan. “Sebagai tangan kanan sekaligus ujung tombak Kerajaan, saya … Roland, bersumpah setia akan melakukan yang terbaik untuk membantu Yang Mulia dalam membangun Kerajaan.” Kepalanya menunduk, namun ketegasan dari kata-katanya tidak bisa diragukan. Posisi Roland yang berada di bawah kakinya membuat Raziel memandang ke bawah dengan menghela napas, “Berdirilah! Jangan terlalu merendahkan dirimu sendiri, aku tahu kau adalah orang yang akan selalu ada untukku demi Kerajaan.  “Baik Yang Mulia. Keagungan anda karena tidak pernah meragukan kesetiaan saya sebagai kaki dan tangan kanan anda.” Setiap perkataan Roland terdengar serius dan formal.  Mau bagaimanapun, posisinya saat ini adalah hamba dan Rajanya. Roland memang pria yang bersifat bebas, tidak suka dikekang dengan status, bermulut pedas terlebih dia akan melakukan apapun selagi dia anggap benar. Namun, jika sudah menyangkut kesetiaannya pada Rajanya, dia lebih loyal dari siapapun. Bahkan jika Roland di minta untuk membumi hanguskan suatu Negara, dan melewati batas peraturan yang ada, dia tidak akan ragu untuk melakukannya. Inilah arti sumpah setia yang pernah dilakukannya dulu. Setelah Roland berdiri, Raziel menyuruhnya kembali duduk dengan isyarat jarinya untuk menikmati wine bersama, “Roland, ke depannya aku tidak ingin kau melakukan ini jika hanya kita berdua. Aku muak dengan status hamba dan tuan. Kau adalah teman ku, bukankah begitu.” “Teman sekalipun, anda adalah Raja saya, Yang Mulia. Jika ada orang luar terutama kaum bangsawan yang mendengar ini, mereka akan mengira saya telah menghina keluarga Kerajaan karena berani berbicara sembarangan.” Raziel menghela napas gusar. Ia menyesap wine di tangannya dengan memandang ruangan dengan pikiran kosong. “Masa bodoh dengan para kaum bangsawan. Sejak aku tidak menyentuh mereka, bukan berarti aku takut. Itu hanya kebaikan ku karena untuk saat ini mereka masih bisa digunakan.” “Yang Mulia, sebenarnya sejak tadi saya penasaran. Mengapa anda ingin kemari di waktu jam kantor? Apakah pekerjaan disana anda tinggalkan?”  Pertanyaan itu membuat Raziel kembali teringat pertemuannya dengan Aletta yang mengatakan banyak hal omong kosong padanya. Bodohnya hatinya pun goyah dan menjadi ambigu setiap memikirkan posisi Gladys. Untuk pertanyaan satu ini Raziel tidak langsung menjawab. Ia memilih diam saja dari pada harus mengatakannya pada pria sekelas Roland. Si pria playboy yang merangkap gelar sebagai sad boy.  Alasannya?! Tentu karena Roland adalah pria yang senang bermain dengan wanita dan tidak ada satupun diantara mereka yang berakhir dengannya. Namun dibalik itu, dia sebenarnya menyukai seorang wanita, tapi sepertinya sampai kapanpun wanita itu seakan menutup hati untuknya.  "Kau sudah bertemu Aletta?" Tanya Raziel. Ia melirik sekilas untuk melihat respon Roland.  Dan, yah… pria playboy itu seketika tubuhnya menegang kaku mendengar nama yang dirindukan namun lebih baik tidak mendengarnya. Untuk menenangkan keterkejutannya, Roland menuangkan wine ke gelasnya. Dia meminumnya dengan sekali tandas.  Terdengar helaan napas ringan sebelum berbicara, "Belum. Apakah Aletta menemui anda, Yang Mulia?" terdengar lirih dan serak. Sungguh sulit menanyakan tentang wanita yang dicintai pada pria yang wanita itu cintai.  "Hm. Dia masih sama seperti dulu, cantik, apa adanya dan cocok menjadi teman ngobrol. Roland, aku tahu kau menyukai Aletta. Mengapa  kau tidak mencoba untuk menyampaikan perasaan mu?"  Wajah itu berubah menyendu. Roland menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. "Saya tidak berani, Yang Mulia. Aletta secara terang-terangan mengatakan menyukai Anda. Bagaimana bisa saya justru menyela dan mendekatinya? Itu tidak mungkin. Lagi pula, Keluarga Kerajaan membutuhkan penerus, dan menurut saya, Aletta lah yang cocok menjadi pendamping anda selain Nona Roshalia." Roland menggelengkan kepala. Mustahil pikir nya. Dia sungguh pasrah dengan keadaannya.  Kening Raziel mengerut. Ia tidak suka dengan perkataan Roland barusan. Dalam diam, tangan kirinya mengepal erat di balik jubah Rajanya demi menahan emosinya. "Roland! Apa kau menyadari kesalahan dari perkataanmu barusan! Kau tahu 'kan, aku tidak menyukai Aletta? Mengapa kau dengan beraninya menyarankannya untuk dijadikan permaisuriku?” Pertanyaan itu tidak serta merta dijawab. Roland bahkan tidak berani menatap Rajanya yang mungkin murka akan perkataannya. Jujur saja, perasaan Roland pun sedikit tercubit dan tercabik harus berhadapan dengan pria yang tak mencintai wanita yang dicintainya. Tapi mau bagaimanapun, Aletta tidak mungkin bersamanya demi masa depan Kerajaan. Jika ritual malam purnama darah itu gagal, sudah dipastikan Aletta akan langsung maju menjadi Permaisuri selanjutnya. Karena beberapa bulan terakhir, para bangsawan mulai mendesak Raziel untuk mencari beberapa pendamping demi kelangsungan keturunan Kerajaan. Geram dengan sikap Roland yang hanya diam tanpa berani melihat ke arahnya membuat Raziel singgah dari duduknya dan berdiri di hadapan Roland. “Roland! Jelaskan mengapa kau menyarankan hal mustahil itu padaku! Apa harus aku beri perintah baru kau mau mengatakannya!”  Dari posisinya yang sedang berdiri, Raziel memandang ke bawah dengan tatapan tajam. Apapun bisa ditolerir olehnya, tapi tidak dengan tekanan untuk mencari pendamping hidup. Jika semudah itu melenyapkan posisi Roshalia dari dalam hidupnya, sudah sejak 300 tahun yang lalu Raziel menikah dan memiliki keturunan. Lagi-lagi Roland menghela napas. Kedua tangannya mengepal erat agar emosinya bisa terkendali saat berhadapan dengan Rajanya. Dengan tegar dia mendongakkan wajahnya dan melihat wajah Rajanya dengan tatapan tegas. “Yang Mulia. Seperti yang anda ketahui, saya mencintai Aletta sejak lama. Tapi mungkin anda tidak tahu, belakangan ini para bangsawan dengan posisi tinggi mulai mempertanyakan posisi Ratu yang masih kosong. Alasan Aletta kembali ke Kerajaan setelah sekian lama berada di Belanda juga demi memenuhi permintaan para Tetua. Mereka menginginkan Yang Mulia menikah dengan Aletta dan menjadikannya Ratu anda!” Napas Roland memburu. Beberapa kali dia menghela napas untuk menenangkan emosinya. “Apa! Sejak kapan para orang tua kolot itu melakukan hal di luar batas mereka. Apa mereka sampai sekarang pura-pura tidak tahu siapa yang aku inginkan menjadi pendampingku!” Raziel membalikkan badan. “Sepertinya para orang tua kolot itu perlu dididik agar tahu batasan mereka!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD