Menghabiskan sisa waktu di sekolah demi fokus belajar mata pelajaran yang diujikan ternyata tidak begitu menyenangkan. Nora memang suka belajar, tapi ia membenci pelajaran Ekonomi sama seperti ia tidak begitu menyukai olahraga. Masuk jurusan IPS diluar kemauan sebab Vina memaksanya untuk menjadi akuntan kelak. Kalau masuk IPA pun, ia tidak begitu yakin akan menyukai Fisika atau Kimia.
Satu-satunya pelajaran yang membuat ia semangat belajar adalah Bahasa Indonesia. Ia memang lebih tertarik pada linguistik dibandingkan belajar angka-angka. Mungkin ia akan bertahan di kelas IPA bila bertemu Rendi setiap hari. Kalau mereka berada di kelas yang sama, sih. Namun, ia bukan tipe orang yang mempertaruhkan masa depan demi cowok. Ia memang suka pada Rendi, tapi ia tahu batas-batas itu. Terlalu prinsipil, begitu komentar Ino saat Nora enggan menerobos batas yang sudah ia buat sendiri.
“Ngantin, yuk!” ajak Ino begitu bel kelas berbunyi yang membuyarkan semua pikiran Nora.
“Tidak, ah,” sahut Nora diiringi gelengan kepala.
“Hah? Kamu bilang lapar karena tidak sempat sarapan tadi,” protes Ino.
Nora mengangguk. “Iya, sih. Tapi aku bawa bekal makan sendiri.”
“A-apa?” Mata Ino terbelalak tidak percaya. Selama tiga tahun mengenal Nora di SMA, Ino tahu kalau gadis itu tidak pernah membawa bekal.
“Bukan buatan Mama, tapi omelet sayur dari Mas Taka.”
“HEH?” Nada Ino benar-benar membuat seisi kelas melirik curiga.
“Mas Taka memasak untukmu? Serius?” Dua bola mata Ino sudah melotot, tapi Nora menjentik dahi sang sahabat pelan.
“Diamlah!”
“Aku mau coba, deh!” Buru-buru tangan Ino hendak mengambil kotak makan warna hitam itu, tapi Nora langsung mengamankannya.
“Tunggu dulu, Ino!”
Ino tertawa renyah. “Kuharap masakan Mas Taka seganteng wajahnya.”
“Maksudmu, penampilan visual makanan ini bakal seindah pria itu? Bagaimana kalau rasanya tidak enak? Sama seperti orang yang memasak makanan ini. Bagaimana kalau Mas Taka tidak sesempurna apa yang kamu pikirkan?”
Ino tampak berpikir keras, lalu ia menggeleng lagi. “Tidak mungkin. Mas Taka orang yang baik, ramah, lembut, sopan lagi. Udah paket komplit, tapi kamu saja yang tidak sadar.”
Nora mencibir. “Jangan menilai buku dari kover saja!”
“Iya, Bu Guru. Ayo, aku mau coba, nih!” sungut Ino yang langsung dibalas tatapan Nora yang pura-pura jijik.
Tanpa bicara lagi, Nora membuka tutup kotak makan itu dan menemukan sajian menu omelet sayur yang digulung dan dipotong menjadi empat bagian, diletakkan di atas daun selada segar, sedangkan bagian kecil kotak makan diisi beberapa edamame rebus.
“Ya ampun, imut banget. Mas Taka benar-benar calon suami idaman. Bahkan ia tahu menu sehat yang bisa membuat program diet kita aman.”
Nora melirik Ino dengan malas, lalu mengambil sumpit yang ada di samping kotak makan dan mulai mengambil satu bagian omelet. Kunyahannya sangat lambat untuk menikmati setiap rasa dari telur gulung buatan Taka itu. Lumayan enak, bisiknya dalam hati.
“Sebenarnya, ini bekal makan siang Mas Taka,” ucap Nora merasa bersalah.
Ino melirik tidak percaya. “Eh, bekal makan siang yang diberikan padamu?”
Hembusan napas Nora yang panjang membuat Ino meningkatkan kepedulian. Gadis berambut panjang itu meremas tangan Nora, lalu berbisik pelan, “Ada masalah lagi di rumah?”
Nora yang tengah mengunyah sisa telur gulung langsung menelan cepat, kemudian ia mengambil botol air minum milik Ino dan menghabiskannya sampai tinggal separuh saja.
“Dasar!” oceh Ino.
“Akhirnya Mama tahu kalau formulir SNMPTN itu tidak pernah kukirimkan.”
“Hah? Kok bisa?” Ino benar-benar mengernyit tebal sekarang.
Nora mengangkat bahu singkat. Ia meletakkan sumpit di samping kotak makan, lalu memandang pada sudut di luar kelas yang masih dipenuhi celoteh teman-teman sebaya.
“Cepat atau lambat Mama akan tahu kalau aku tidak tertarik masuk Ekonomi. Tinggal menunggu waktu aku mengepak koper.”
Ino merengut. “Jangan bilang begitu!”
Hembusan napas Nora yang berat membuat Ino ikut merasakan sesak itu.
“Kamu tahu bagaimana sikap Mama soal masa depan, ‘kan? Bila waktu itu tiba, boleh aku menginap di rumahmu untuk sementara?” tanya Nora memandang Ino.
Ino meremas pergelangan tangan Nora, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak mengharapkan hari itu tiba. Namun, kamu boleh menginap di kamarku. Tenang saja, Mama Papa akan senang kamu menginap di rumah. Kakakku sudah lama tidak pulang ke rumah. Rumah kami terlalu sepi bila hanya ditinggali bertiga. Paling Si Didit yang agak berisik, hihihi.”
Si Didit adalah anjing kesayangan Ino yang lucu meski agak berisik bila ada orang baru yang datang ke rumah. Nora tertawa kecil membayangkan anjing itu akan terus mengekor di belakang tubuh bila ia benar-benar menginap di rumah Ino.
“Tapi, Nor, aku berharap Tante Vina akan mengerti dengan apa yang kamu inginkan.”
Nora tentu berharap hal yang sama, tapi ia tidak terlalu memasang ekspektasi tinggi. Bila memandang kehidupan Ino, maka rasa iri acap menggelayuti hati. Orangtua Ino lebih bebas, menyetujui apa yang Ino lakukan selama tidak melanggar norma yang berlaku, bahkan membebaskan Ino mengambil jurusan Tata Rias meski mereka memiliki bisnis di bidang properti, tidak begitu mematok Ino harus begini atau begitu, kemudian Ino masih punya satu kakak yang bekerja di pulau lain, tapi acap menanyakan kabar, dan masih banyak hal menyenangkan lain yang tidak ia dapatkan di rumah.
“Mendiang Ibu pernah berkata padaku mengenai ungkapan hidup yang sangat penting.”
“Apa?”
“Sawang sinawang. Ya, kupikir hal itu benar adanya. Terkadang kita sering iri pada kehidupan orang lain yang hanya terlihat dari luar. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan kehidupan mereka sebenarnya, ‘kan? Bisa jadi ada banyak orang yang juga merindukan kehidupan yang kita miliki.”
Mendadak percakapan dengan Taka waktu itu terlintas di pikiran Nora. Membuat hatinya yang dipenuhi rasa iri mendadak lebih hangat. Bisa jadi Ino memiliki kehidupan yang tidak sepenuhnya menyenangkan seperti apa yang ia lihat, begitu pula sebaliknya. Seharusnya ia bersyukur memiliki kehidupan sekarang meski Vina masih belum memahami apa yang ia inginkan. Setidaknya ia masih bisa sekolah, punya uang jajan yang cukup, punya pertemanan yang positif, dan masih banyak hal yang harus ia syukuri di dunia ini.
“Aku terlalu kufur,” bisik Nora lirih yang langsung membuat Ino mendekat.
“Kamu bilang apa tadi?” tanya Ino penasaran.
“Tidak apa-apa. Ini ambillah! Aku sudah makan satu gulung, kamu bisa makan sisanya.”
Ino sumringah, lalu segera mengambil telur gulung buatan Taka dan memasukkan ke dalam mulut cepat-cepat.
“Lumayan enak. Mas Taka benar-benar pria idaman, ya! Kalau ia belum menikah setelah aku lulus kuliah, aku akan mengajaknya menikah, deh,” ujar Ino asal.
“Tidak boleh!” bentak Nora agak keras.
“Kenapa?” goda Ino.
Menyadari ia sudah salah bicara, Nora memandang Ino dengan tatapan sangar.
“Mas Taka mungkin sudah menikah empat atau lima tahun lagi.”
Ino tergelak. “Kan, aku cuma memberikan pengandaian, kecuali kamu mulai melihat pria itu dari sudut pandang wanita. Aku yakin kalau kamu akan berubah pikiran dalam waktu beberapa detik saja.”
Nora menggeleng. “Aku sudah bilang kalau kami hanya berteman, Ino. Mas Taka sudah kuanggap sebagai kakak sendiri. Oh ya, nanti ia akan menjemputku ke sekolah, maka kamu pulang sendiri naik taksi online, ya!”
“Hah? Apa? Ya ampun, kamu benar-benar tidak peka, Nora. Kalau aku jadi kamu, sudah dari dulu aku melihatnya.”
Nora melirik Ino tajam, tapi sang sahabat tidak peduli. Gadis manis berambut hitam yang dikuncir tinggi itu masih tergelak ditengah suapan telur gulung yang langsung membuatnya tersedak.
“Rasain!”
Buru-buru Ino mengambil botol air minum Nora, lalu menghabiskannya dalam beberapa kali teguk.
“Dasar!”
Nora memandang bekal makanan yang hanya menyisakan kacang edamame rebus dengan perasaan aneh. Benarkah apa yang dikatakan Ino itu? Apakah ia perlu memandang Taka dari sudut yang lain, bukan sekadar hubungan adik kakak atau pertemanan biasa? Ia menggeleng kuat-kuat. Tidak! Itu tidak benar.
Klik! Sebuah pesan singkat masuk yang langsung membuat dahi Nora mengernyit.
Bisakah kita pergi ke Ann’s Store setelah kamu pulang sekolah nanti?
“Apa kubilang, ‘kan?”
Nora mendelik. Ino sengaja menempel demi bisa membaca pesan singkat yang Taka kirimkan itu.
“Diamlah, Ino!”
Ino masih cekikikan, sedangkan pikiran Nora sudah bercabang ke mana-mana. Taka mengajaknya pergi ke toko aksesoris wanita. Untuk apa? Ia mulai besar rasa, tapi ia mencoba berpikir realistis. Mungkin Taka ingin memberi hadiah atau kado untuk temannya. Dibuangnya perasaan itu jauh-jauh agar ia tidak terlalu sakit seperti beberapa waktu lalu. Penolakan Rendi terjadi hanya karena ia terlalu besar rasa menganggap cowok itu memiliki rasa yang sama. Oh, sial!
***