Episode Tanpa Judul
Nora bergerak menjauhi area perpustakaan saat ia mendengar langkah laki-laki itu mendekat. Ia selalu merasa jantungnya berdegup kencang tiap membaui aroma parfum cowok jangkung itu. Bukan karena ia masih memendam rasa kecewa berlebihan setelah penolakan Rendi hari Minggu kemarin, tetapi ia merasa canggung. Ia bersyukur tidak mengikat rambut hitam sebahu, membiarkan angin meniup beberapa anak rambut dan poni samping hingga menutupi wajahnya yang merah terbakar rasa malu.
Semua orang di kelas XII IPS-1 tahu bagaimana rasa suka Nora pada Rendi sejak mereka bergabung di SMA yang sama. Mungkin hanya Ino saja yang tahu kalau Nora telah jatuh cinta pada Rendi sejak mereka duduk di bangku SD. Cinta monyet yang masih bersemi hingga mereka beranjak dewasa, bahkan sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian kelulusan. Seharunya ia rajin belajar, tapi ia merasa kehilangan konsentrasi kalau teringat penolakan Rendi lagi. Itu insiden yang sangat memalukan.
“Kamu masih menghindarinya?” tanya Ino yang membawa jus mangga dan menyeruputnya keras-keras di depan hidung mancung Nora.
“Hmmm, ti-tidak,” dusta Nora.
“Aku tahu kalau kamu berbohong, Nor,” pancing Ino lagi.
Ino membuang bekas minuman ke dalam tong sampah dan mendudukkan diri di samping Nora. Mata cokelat gadis yang beperawakan ramping itu masih mengawasi area perpustakaan dari bawah pohon jambu.
“Sebentar lagi memasuki pekan ujian, apa kamu tetap akan menunggu ia melihatmu? Aku bahkan sudah berkencan dengan selusin pria sejak kamu tidak berhenti memandanginya,” sindir Ino.
“Ino,” tegur Nora memberi batas.
“Ayolah, Nora. Kenapa tidak mencoba tertarik pada cowok lain, sih? Coba lihat cowok di sekelilingmu!” Ino menatap jengkel sang sahabat yang terus mengharapkan Rendi, padahal ada banyak cowok yang menyukai Nora di sekolah. Ia jelas tahu popularitas Nora sebagai salah satu anggota OSIS yang tidak kalah dengan cewek-cewek pemandu sorak. Dilihat dari visual pun, Nora yang memiliki perawakan ideal dengan kulit kuning langsat itu tidak kalah menarik dengan cewek populer di sekolah.
“Aku tidak mudah jatuh cinta, Ino.”
“Itulah masalahmu. Kamu jatuh cinta pada orang yang tidak menyukaimu, Nora. Kamu tahu, bagaimana perasaan Rendi pada Hana, bukan?”
Ya, masalahnya memang jelas sekarang. Nora tahu bahwa ia terjerat rantai cinta tak berujung. Sejak lama Rendi mendambakan gadis manis yang pendiam dan anggun macam Hana. Gadis itu berambut panjang sepunggung dan memiliki bola mata cokelat yang bening. Kalau bukan keturunan bule, Nora yakin Hana adalah gadis lokal tercantik di sekolah.
Dibandingkan dengan Hana, Nora jelas mengkerut seketika. Lucunya lagi, Hana seperti tidak menyukai Rendi meskipun mereka berteman akrab. Orang yang disukai Hana adalah Indra. Cowok agak bodoh, si anak mama, cerewet, dan penggemar berat Nora sejak lama.
“Hei, Nora. Aku mencarimu di mana-mana. Apa kamu sudah sarapan? Kalau belum sih, ayo sarapan bareng!”
Panjang umur sekali, ‘kan? Nora menatap jengkel pada Indra yang selalu mengekor dirinya ke mana-mana. Indra tidak kapok meskipun ia pernah mengerjainya habis-habisan. Indra seolah tidak menyerah, sama seperti ia yang tidak pernah menyerah untuk mendapatkan cinta Rendi. Benar-benar rantai yang tidak berujung, bukan?
“Aku sudah kenyang, Indra. Sudah sarapan nasi pecel tadi.”
“Bagaimana kalau kita makan siang bersama nanti?” tawar Indra yang masih ngotot mendekati Nora yang duduk di samping Ino.
Nora memutar bola mata bosan. “Kamu melakukannya setiap hari.”
“Ya, aku selalu mengikutimu makan siang di kantin, tapi kamu membencinya setiap hari,” balas Indra sendu.
“Aku tidak membencimu, Ndra, tapi….”
Kata-kata Nora terhenti begitu saja. Matanya masih awas memperhatikan area depan perpustakaan yang bisa dilihat dengan jelas. Di seberang sana, Rendi terlihat tengah menyapa Hana di dekat pintu, kemudian mereka berjalan beriringan keluar dari perpustakaan bersama. Kenapa ia merasa dadanya agak sesak sekarang?
***
“Aku sudah bilang padamu untuk mencoba melirik laki-laki lain. Ada banyak cowok yang memperhatikanmu di sekolah, Nora.”
“Jangan menyebut nama Indra, ya!” ancam Nora yang mendelik galak pada Ino.
Bukannya merasa was-was, Ino malah tertawa brutal. “Bukan, aku tahu kalau kamu tidak menyukai cowok itu. Sebenarnya Indra tidak jelek-jelek amat, kok.”
“Idih.”
Ino mendengkus. “Tapi Indra memang tidak jelek. Meskipun kalah jauh sama Rendi, tapi ia lumayan manis, ‘kan?”
Nora menatap Ino tidak percaya. “Jangan-jangan kamu yang suka sama Indra?”
Ino mengernyitkan kening tebal. “Enak saja. Aku sudah punya gebetan.”
“Bercanda kali, In. Toh, aku tahu kamu lagi dekat sama Sondi,” lanjut Nora yang berjalan lebih dulu, lalu berhenti dan menoleh pada Ino yang menunggu, ”aku tidak bisa menganggap Indra lebih dari teman.”
“Baiklah, bagaimana dengan…,” balas Ino yang berhenti sejenak untuk berpikir.
Nora memotong kalimat Ino, “Aku tahu kalau kamu akan menyebut nama Doni. Ia sudah bilang suka padaku entah kesepuluh kalinya sejak kita masuk SMA.”
Ino terkikik keras. “Ya, aku juga tidak akan mau berkencan dengan cowok yang melambai macam Doni. Bagaimana dengan Bima atau Bayu, anak IPA itu? Mereka berdua masuk kategori cowok beken di sekolah.”
Nora menimbang agak lama. “Tidak, Ino. Kita harus menghadapi ujian akhir sebentar lagi. Bukan waktu yang tepat untuk membahas cowok-cowok itu.”
“Sebaiknya kamu bersenang-senang sedikit, Nora. Kamu terlalu serius sampai lupa kalau kita juga butuh rileks sejenak.”
“Dan mendapat nilai C pada semua mata pelajaran? Tidak,” balas Nora ketus.
“Aku tidak masalah mendapatkan nilai C asal bisa berkencan dengan cowok cakep sesekali. Kau tahu, aku bertemu Jeje kemarin. Sayang sekali ia tidak menatapku sedikit pun,” kata Ino memelas.
Meskipun dikenal sebagai penakluk banyak cowok di sekolah, Ino masih berusaha mengejar perhatian Jeje. Cowok yang masuk klub seni di sekolah, tapi ia jarang sekali tersenyum atau bicara. Dua kepribadian yang sangat kontras seolah sulit untuk bersatu. Nora nyaris tertawa membayangkan momen Ino dan Jeje berkencan mengingat Ino tidak pernah berhenti bicara.
Mengabaikan topik orolan mereka begitu masuk ke toko buku, mendadak Ino mencubit lengan Nora keras-keras saat mereka tengah memilih buku soal-soal ujian nasional.
“Ada apa, sih?” komentar Nora jengkel.
“Lihat arah jam sembilan. Bukankah ia adalah Taka?”
Nora langsung mengalihkan perhatian sesuai instruksi Ino, lalu ia melihat sosok pria memakai kemeja biru dengan lengan tergulung separuh tengah membaca buku. Pria itu terlihat sangat serius membaca blurb di belakang buku, membolak-balik beberapa buku di rak, kemudian memutuskan untuk membeli buku bersampul hitam.
“Ah, Taka keren sekali. Bahkan ia lebih keren dari Jeje. Eh, sejak kapan ia mencukur rambut agak cepak begitu? Mana mungkin ia masuk akademi militer,” kikik Ino menyebalkan.
Nora tidak langsung menjawab. Ia hanya memperhatikan penampilan Taka yang tampak berbeda. Pertemuan mereka berakhir kurang menyenangkan beberapa waktu lalu saat ia mengatakan akan mengungkapkan perasaan pada Rendi. Ia yakin kalau Taka sedang berada dalam kondisi mood yang kurang baik sore itu. Pria itu marah dan mengatakan kalau ia adalah cewek yang bodoh dan tidak peka.
Sejak hari itu, ia belum mengunjungi rumah Taka lagi. Kalau dihitung sampai sekarang, ia yakin tidak berkunjung ke rumah Taka lebih dari seminggu, apalagi ia mulai sibuk mengikuti banyak les. Sebenarnya, ia rindu sekali berinteraksi dengan Mochi, kucing kesayangan Taka yang memiliki bulu sehalus beledu.
“Nor, kamu tidak ingin menyapanya?”
Nora tersentak mendengar pertanyaan Ino, tapi ia segera menguasai diri dan menggeleng.
“Biasanya kalian suka ngobrol bersama, ‘kan?” tanya Ino tidak percaya.
Nora mengangkat bahu singkat. “Sepertinya ia sibuk dan aku tidak ingin mengganggunya.”
Ino mendengkus geli. “Kamu seperti baru mengenal Taka sebentar saja. Bukankah kalian bertetangga sudah lama? Kamu bahkan tak malu menghabiskan camilan di kulkas Taka setiap hari. Pakai baju tidur jelek berlubang pun, kamu tidak malu padanya.”
“Sssh. Tutup mulutmu, Ino!”
Suara Ino begitu keras hingga Nora terpaksa menutup mulut satu-satunya sahabat itu. Ia yakin seluruh pengunjung toko buku langsung mengalihkan perhatian pada mereka, termasuk Taka yang memicingkan mata. Pria bermata cokelat itu memandang Nora sekilas, kemudian berjalan ke arahnya. Derap sepatu Taka tidak begitu keras, mungkin suara jantungnya yang terlalu keras. Membuatnya gugup dan bingung dalam waktu bersamaan. Mereka masih bertengkar, lalu apa yang harus ia katakan nanti? Sungguh, ia tidak pernah menyangka bakal bertemu Taka di toko buku hari itu.
***