Ada Batas yang Jelas

1025 Words
“Sudah merasa lebih baik?” tanya Taka yang menyerahkan sekotak tisu baru pada Nora yang masih sesenggukan. “Sedikit. Maafkan aku, ya.” “Untuk?” ulang Taka yang memperhatikan Nora lekat. “Karena memaksamu mendengar kisah cinta konyol anak SMA.” Ingus Nora sudah memaksa keluar lagi, batinnya meringis. “Bukankah kamu sering melakukannya sejak masih SMP?” tanya Taka menggoda. Sengaja tidak memberi tedeng aling-aling pada nada geli itu. Nora mengelap ingus yang masih mencoba keluar dan merasa tingkat kecantikannya menurun lima puluh persen. Toh, Taka sudah sering melihat ia tampil apa adanya, bukan? Ya, Taka yang sudah dianggap seperti kakak sendiri pasti tidak akan terganggu dengan penampilan terburuk Nora pun. Dulu, Nora pernah mencoba memakai gaun selutut dengan efek bustier demi mengangkat bagian atas tampak lebih menonjol, tapi langsung gagal total. Demi tampil lebih menarik saat ada acara pesta ulang tahun teman yang dihadiri Rendi. Taka adalah orang pertama yang melihatnya memakai pakaian dewasa macam itu. Pria itu hanya memberikan saran agar Nora tidak mencoba tampil bak gadis dewasa. Bustier tidak akan memberikan efek d**a lebih besar karena ia memang memiliki bagian atas yang rata-rata. Ia hanya mencoba saran Ino untuk tampil lebih seksi yang ternyata membuatnya tampak memalukan. Kalau teringat kejadian itu, ia ingin sekali menjedotkan kepala ke tembok. Benar-benar kejadian yang sangat memalukan! Tampilan seksi sama sekali tidak bisa menggoda Rendi. Cowok ganteng dari kelas IPA-2 itu menyukai gadis yang memiliki tampilan feminim seperti Hana. Berambut hitam panjang dengan gemulai lembut khas cewek idaman sejuta pria. Nora hanya tidak pernah berhenti berpikir kenapa gadis secantik dan selembut Hana bisa jatuh cinta pada pria konyol dan cerewet macam Indra. Apa benar kata Ino kalau Indra tidak jelek-jelek amat? Nora tertawa kecil membayangkan ekspresi Indra setiap ia menolak tawaran cowok itu, entah pergi ke kantin atau sekadar diantar pulang ke rumah naik motor. Selalu ada alasan untuk menolak Indra. Bila memikirkannya lagi, maka ia merasa sangat jahat pada Indra yang sudah berjuang sejak mereka duduk di kelas X. “Kamu masih ada di sini, Nora?” tanya Taka menangkupkan kedua tangan di d**a saat melihat Nora yang sibuk melamun. Nora tersentak, lalu memutuskan untuk membahas kejadian memalukan itu lagi. “Setelah Rendi menolakku, aku memang sedih, tapi aku merasa lebih lega. Setidaknya aku tidak berharap terlalu jauh mulai sekarang. Hanya tersisa sedikit rasa malu.” Nora menatap Taka sebentar, lalu mengalihkan perhatian pada meja televisi di depan sofa tamu. Ia sedikit ragu mengenai alasan kesedihan yang ia rasakan selama seminggu terakhir. Seminggu terakhir yang ia habiskan sendirian tanpa berkunjung atau melihat Taka. Pria yang bekerja sebagai penerjemah itu tidak terlihat di depan rumah atau melakukan aktivitas apa pun. Taka lebih sering berangkat pagi dan pulang malam sekali. Nora pernah mendengar suara motor matic Taka saat ia terbangun tengah malam. Bukan ia merasa sok tahu, tapi ia benar-benar hafal suara motor itu. Rutinitas yang sibuk membuat mereka tidak pernah berjumpa atau sekadar tegur sapa yang acap dilakukan sebelum kejadian itu. Bahkan Vina yang sibuk pun pernah menanyakan keabsenan Taka selama seminggu terakhir. Apa mereka berdua bertengkar? Errr … tentu saja i—tidak! “Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk menghapus rasa sedihmu?” tanya Taka yang sudah mengganti kemeja dengan kaos tanpa lengan. Pria itu mengulurkan segelas s**u coklat pada Nora. Si gadis hanya menerima uluran gelas dari tangan Taka dengan tatapan penuh terima kasih. Mata indah itu menelusuri tangan kanan Taka hingga berhenti pada bekas luka yang ada di lengan bagian atas. Bekas luka memanjang itu seperti terkena benda tajam, tapi Nora tidak pernah tahu apa penyebab pastinya. Ia pernah bertanya dulu, tapi Taka hanya bilang kalau ia pernah jatuh waktu kecil. Nora tergoda menyentuh bekas luka Taka tanpa menyadari wajah dan tubuh pria itu menegang. “Eh, maaf, aku tidak bermaksud membuatmu risih,” ujar Nora yang menarik jemari lebih cepat, tapi tangan Taka mencegahnya. “Aku menyukai sentuhanmu.” Pernyataan ambigu atau penjelasan yang terlalu gamblang. Benarkah kata Ino kalau Nora memang tidak pernah peka? Mereka telah bertetangga sejak tiga tahun terakhir. Taka sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Vina, apalagi Vina berteman baik dengan mendiang Tante Mira. Rasanya tidak mungkin mereka melangkah lebih jauh, bukan? Age gap yang terlalu jauh, Nora merasa pikirannya mulai berantakan sekarang. Ia memang tidak pernah melihat Taka dari sisi lain. Pria berkulit putih bersih itu memiliki pesona yang sulit dienyahkan, ia mengakuinya. “Eh?” Nora tampak bingung. Taka hanya tersenyum kecil. “Maksudku, terima kasih sebab kamu peduli padaku. Bekas luka ini bukan apa-apa, kok. Sudah terlalu malam, lekaslah tidur kalau kamu tidak ingin terlambat masuk ke sekolah besok.” “Kalau Mama pulang?” tanya Nora lugu. “Aku akan menggendongmu ke rumah.” “Mas Taka ngaco!” Nora merengut, lalu Taka tertawa keras. “Aku akan membangunkanmu, Nora. Sudah puas?” “Oke.” Taka mengawasi Nora yang berjalan menuju ke kamar utama miliknya. Pria itu membuat deheman ringan yang langsung membuat Nora menoleh ke belakang. “Ada apa lagi?” sungutnya. “Jangan lupa untuk mengunci pintu kamar, ya!” Nora tampak berpikir sebentar, lalu ia mengedikkan bahu singkat. “Sip!” Taka tersenyum lagi. “Selamat tidur, Nora.” Nora membalas hal yang sama, kemudian lenyap seiring pintu kamar yang tertutup. Gadis itu jelas tidak tahu kalau Taka mengawasi kamar lebih lama. Pria itu tersenyum sendu, kemudian bergegas membaringkan punggung yang lelah di sofa ruang tamu. Ia yakin malam akan berjalan lebih panjang saat menyadari ada gadis manis yang tidur di kamar utama. Seandainya Nora lebih peka, ia hanya tersenyum pahit membayangkan saja. Nora yang cukup polos sangat memikat dan ia tetap pria dewasa yang sehat. “Otakmu perlu dicuci,” bisik si hati kecil. Taka mencoba memejamkan mata, tapi ia tidak bisa tidur. Diambilnya segelas aor dari meja dapur, lalu ia menandaskan dengan cepat. Tentu Taka akan menjalankan amanat terakhir sang ibu dengan baik. Menjaga Nora sama seperti ia menjaga adik perempuan semata wayang. Hormon sialan yang sempat menguasai merupakan hal manusiawi, tapi ia mampu mengontrolnya dengan baik. Sebaiknya ia memang tidur di kamar tamu meski harus bersisihan dengan tumpukan barang alih-alih tidur di ruang tamu yang berdekatan dengan kamar utama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD