"Memaafkanmu waktu itu mungkin menjadi hal terbodoh yang pernah kulakukan. Tapi untuk itu aku tidak keberatan menjadi bodoh."
-Adam F. Rahadian-
***
"Bagaimana dengan seleksi admin tempo hari, Dik?" Adam membuka percakapan begitu mobil yang membawanya beranjak meninggalkan area penjemputan. Dirinya baru kembali dari perjalanan dinas selama lima hari di Kendari, mengurus persiapan pembukaan cabang Adara studio di sana. Sebab itu, sebagian besar urusan studio di Makassar dia delegasikan ke Dika, sepupu sekaligus partner kerja kepercayaannya.
"Lancar jaya," jawab Dika singkat, tetap fokus dengan jalanan di hadapannya. Mengendara dikala jalan selowong ini harus dua kali lebih konsentrasi. "Kali ini kamu bisa tenang, karena satu kandidat lolos seleksi dengan kriteria utama yang kamu syaratkan dan dia tidak keberatan."
"Oh ya? Siapa?" Sepasang alis tebal Adam bergerak naik, ingin tahu. Jujur saja, dia sudah siap jika lagi-lagi kali ini tidak ada yang lulus atau bahkan mundur teratur saat job description posisi kerja mereka dijelaskan. Tipikal pelamar kerja jaman now, banyak gengsi dan pilih-pilih.
"Zirena Nameera, cewek yang setor lamaran kerjanya sepuluh menit sebelum deadline tutup." Dika tertawa ringan mengingat kejadian di mana gadis itu datang ke kantor saat jam kerja nyaris berakhir. Sepatu berbeda antara kiri dan kanan yang Zirena kenakan jelas menandakan betapa dia terburu-buru.
Gerakan tangan Adam yang ingin membuka tutup botol air mineral terhenti. Dia menoleh dengan raut muka sulit diartikan. Apakah gadis itu?
Melihat Adam diam dengan tatapan menerawang, Dika menjadi bingung. "Kenapa? Kamu kenal? Ah, dia kenalannya si Beny juga, sih."
Hah? Adam malah baru tahu fakta satu itu. Saat Beny menelponnya untuk menanyakan soal lowongan kerja masih open atau tidak, lelaki tambun itu hanya menyebut kerabatnya ingin coba apply. Sama sekali tidak menyinggung nama si kerabat. Dan lagi, selama ini dia tidak pernah menyentuh surat-surat para pelamar. Semuanya dia percayakan ke Dika.
Dia pikir minggu lalu adalah kali terakhir dia berurusan dengan gadis to the point itu. Sekarang malah mereka akan bertemu lagi sebagai bos dan bawahan. Kebetulan, kah? Entah. Hanya saja sesuatu seperti menggelitik diri Adam. Lucu rasanya.
"Berarti mulai hari ini dia masuk kerja, kan?" Dika mengangguk. "Hm, minta dia menghadap ke ruanganku sebentar."
Usai meneguk air mineralnya, Adam memilih bersandar dan mulai memejamkan mata. Tidur singkat lumayan untuk mengistirahatkan dirinya sejenak.
Mereka tiba di studio yang juga sebagai kediaman Adam tepat saat adzan subuh berkumandang. Dika membuka pintu studio, sementara Adam mengeluarkan ransel besarnya dari bagasi.
Dengan langkah santai Adam menuju peraduannya di lantai tiga, meninggalkan Dika yang sudah mengempaskan diri di sofa panjang dekat meja resepsionis. Dia merindukan kamarnya selama beberapa hari terakhir ini, namun alih-alih menyusul sepupunya ke alam mimpi, Adam lebih memilih membongkar tas dan memilah pakaian kotor ke tempatnya.
Beep!
Notifikasi w******p mengalihkan Adam dari kesibukannya. Dia menghampiri nakas, lantas mengambil ponsel yang baru saja bertemu charger itu. Dua sudut bibirnya terangkat begitu melihat pop-up chat dari kekasih yang tidak lagi marah padanya itu.
Mine:
Udah sampai, Sayang? Entar siang aku main ke studio kamu, ya. Love you...
***
"Saya Adam Rahadian, pemilik studio ini." Lelaki berperawakan tinggi itu mengulurkan tangan lebih dulu sebab gadis di hadapannya sudah beberapa lama terpaku di tempat. Ada senyum tipis terbit dari bibir penuhnya melihat raut terkejut dari karyawan barunya itu.
Zirena mengerjap beberapa kali, memastikan penglihatan. Efek kejut di dadanya masih bergemuruh. Pikirnya setelah melunasi kerugian kecelakaan tempo hari, dia tidak akan berurusan lagi dengan Adam. Nyatanya dia malah terikat sebagai bawahan lelaki ini. Dia menggeleng samar, mengenyahkan pikiran yang terlampau jauh merangkai semua kebetulan ini.
"Zi-rena Nameera." Meski yakin telah saling mengetahui nama masing-masing, Zirena tetap menyebutkan identitas, mengikuti Adam. Sebelah tangannya yang bebas dari salaman digunakan gadis itu untuk menyelipkan rambut ke belakang telinga, sedikit gugup.
"Saya akan menjelaskan ulang garis besar tugas kamu. Silahkan duduk dulu." Adam menarik lepas tangannya lantas duduk dengan kedua tangan bertumpu di atas meja, disusul Zirena yang duduk di kursi seberang. "Seperti yang Dika jelaskan sebelumnya, selain menjadi admin di sini, kamu harus siap siaga jika saya butuh kamu untuk jadi asisten saat kerja di luar."
Nada bicara Adam lugas dan tegas, mau tak mau membuat Zirena mendongak untuk menatap lurus ke arahnya.
"Setiap pagi, kamu juga wajib membuatkan saya kopi-saya akan tunjukkan caranya sebentar-. Dan terakhir, kalau saya fulltime berada di studio, kamu harus buatkan saya makan siang."
Sepasang tangan Zirena saling menggenggam, dan hal itu tidak luput dari perhatian Adam. Dia menduga jika gadis ini pasti telah menyesali keputusannya untuk mengiyakan syarat khusus dari Dika saat interview beberapa hari lalu.
"Bagaimana?" tanya Adam memutus waktu berpikir anggota baru studionya itu. Dia menyandarkan diri pada punggung kursi sebelum mengambil sebuah map dari dalam laci meja kerjanya. "Kalau kamu berubah pikiran, saya kasih kamu kesempatan sebelum menandatangani kontrak ini."
Map berwarna coklat itu disodorkan Adam ke sisi Zirena. Dia mengedikkan dagu, memberi isyarat agar gadis itu membaca isi kontrak kerja di dalamnya.
Tanpa kata gadis dengan rambut dikuncir itu menekuri poin demi poin. Sejurus kemudian kening Adam berkerut mendapati sepasang mata bola Zirena membeliak.
"Ini nominalnya tidak salah, Pak?" Seperti biasa, Zirena to the point. Oh karena nominal itu rupanya, batin Adam. "Memangnya admin memang digaji segini?"
"Kenapa? Kurang?"
"Ti-tidak. Bukan begitu maksud saya. Hanya saja..."
"Tugasmu melebihi seorang admin pada umumnya, jadi saya rasa itu nominal yang wajar. Lagipula, kemakmuran karyawan adalah kemakmuran bagi perusahaan saya juga."
"Tapi, Pak...."
Dan pembicaraan pagi itu berakhir dengan Zirena menandatangani kontrak, meski separuh hatinya masih meragu.
***
Ada gurat kecewa yang kentara pada raut wajahnya sepeninggal Mami dan adiknya pamit pulang. Kecewa sebab wanita yang telah melahirkan dan merawatnya itu menunjukkan dengan jelas ketidaksukaannya terhadap Anggun tadi. Dia kira, kehadiran Mami yang tiba-tiba saat kekasihnya juga berkunjung ke sini bisa menjadi momen untuk membuat Anggun lebih dekat dengan maminya.
Namun, kini Adam harus menelan perasaan tidak enak terhadap wanitanya karena telah menerima perlakuan ketus. Semakin tidak enak melihat Anggun bermuram durja sembari mengaduk-aduk makanannya tanpa minat.
"Maafin mami, ya." Anggun tersentak mendapati Adam menyentuh punggung tangannya. Pandangannya beralih ke lelakinya yang menatap sendu. "Mami hanya butuh waktu untuk menerima kamu."
Anggun menghela napas panjang, matanya memejam sesaat. "Sampai kapan, Dam?"
Membaca sirat kesedihan dari mata indah Anggun, sentuhan Adam berubah jadi genggaman lembut untuk menenangkan. Dia masih bungkam, tahu kalau wanita dihadapannya belum selesai menumpahkan kesah.
"Aku tahu pernah salah. Menduakan kamu. Tapi itu dulu, dan aku teramat menyesalinya hingga detik ini. Tidak pantaskah aku mendapatkan maaf dari mami kamu?" kaca tipis mulai menyelimuti bola mata Anggun.
Gantian Adam yang tertegun. Tidak menyangka Anggun akan mengungkit kisah kelam perjalanan cinta mereka dua tahun lalu. Ya, kekasihnya itu pernah mengkhianatinya sekali. Yang membuat semakin runyam semua ialah Mami ada bersama Adam saat tanpa sengaja memergoki Anggun dan selingkuhannya di sebuah restoran. Tampak mesra dengan tangan saling menggenggam dan bibir yang nyaris bersentuhan kalau saja Mami tidak segera menegur.
Oh astaga, mengingat semuanya ternyata masih menyisakan rasa sakit berdenyut di kedalaman hati Adam meski dia memilih memaafkan dan memulai kembali kisah mereka. Katakan dia bodoh, memang, tidak masalah baginya menjadi bodoh waktu itu. Toh, sejak melewati masa itu Anggun berubah banyak. Menjadi lebih baik untuk dirinya.
"Sssttt..." Adam mendesis pelan, mendaratkan telunjuk kanannya ke bibir Anggun. Perintah agar wanitanya diam dan tak lagi melanjutkan. Lelaki itu meninggalkan makan siang yang sengaja dibawakan Anggun, lantas perlahan mengikis jarak antara dia dan perempuan cantik ini.
"Aku tidak suka kamu mengungkit hal buruk." Sepasang tangannya mengulur. Sebelah untuk menarik punggung Anggun mendekat, membawanya ke pelukan, sementara sebelah lainnya digunakan untuk mengusap rambut lembut wanita yang telah mencuri hatinya sejak pandangan pertama di masa SMA itu.
"Janji, aku akan membuat Mami menerimamu dan merestui kita. Cepat atau lambat," ujar Adam penuh keyakinan. (*)