"Aku bukan Tuhan yang Maha Pemaaf. Sulit bagiku memaafkan orang yang melukai hatiku begitu dalam."
-Zirena Nameera Ahmad-
***
Harusnya Zirena memasang tampang biasa saja sebagaimana lelaki pemilik mobil Rush itu saat dirinya menghadap tadi. Bukannya malah cengo setengah mangap saking terperangah mendapati fakta kalau bos sekaligus sahabat baik Beny adalah Adam. Tuhan, dunia benar-benar tak selebar daun kelor!
Pikirnya lelaki ramah tempo hari yang menyaksikan ketololannya memakai sepatu berbeda antara satu dan lain adalah teman baik Beny, sebab mantan bosnya itu bilang untuk mencantumkan nama Mahardika pada surat lamaran kerjanya.
Tapi, yasudahlah. Toh dirinya sudah menandatangani kontrak yang mana dirasa cukup menguntungkan dengan gaji lumayan dan jarak tempuh dekat dari rumahnya.
LINE!
Pop-up pesan dari grup Powerpuff Girls muncul. Zirena bergegas meraih ponsel yang dia simpan agak jauh dari tempatnya rebahan. Training sehari tadi menguras tenaga dan pikiran hingga dia langsung mengempaskan diri di ranjang sepulang kerja seperti ini.
Sagita : Gila ya! Kamu itu jadi admin atau babu, sih? Pakai acara buat kopi dan masak segala buat dia. Memangnya di sana gak ada OB/OGnya?
Zirena meringis pelan sembari menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba gatal membayangkan raut kekesalan sahabat karibnya. Gadis ini memang terkadang butuh saringan mulutnya, seenak jidad menyebut babu! Untung sayang. Mendadak dia menyesal menceritakan bagian itu.
Indira : Hush! Woles kenapa sih, Git? Aku yakin Zi punya alasan sendiri sampai terima dengan syarat itu. Balas Indira tak berapa lama kemudian. Ugh, Dira memang tidak pernah gagal memahami dirinya.
Kedua jempol Zirena lincah beradu di atas keypad, mengetikkan pesan balasan untuk kedua karibnya.
Zirena : @Sagita hahaha...santai, Buk. Buat kopi sama masak doang masa disamain babu. Sempit banget pikirannya. ^^V
@Indira you know me so well
Terbiasa memasak, Zirena sama sekali tidak keberatan. Hanya saja yang membuatnya sempat urut d**a ialah saat Adam menunjukkan padanya cara membuat kopi ala-ala coffee shop. Proses panjang mulai dari mengolah biji kopi menjadi serbuk sampai siap disajikan di meja. Asli ruwet....
Sagita : Kok kzl ya. -_-
Indira : Udah ah, daripada bahasin Zi mending kalian siap2 gih. Bentar lagi maghrib tauk.
Sagita : Siap, Umi Dira. Btw besok aku mau nonton. Ada yang mau ikut?
Indira : Pass dulu, besok mau nge-date sama suami. Hehe
Nonton, ya? Sudah lama juga Zirena tidak menjejakkan kaki ke bioskop. Ralat, bukan cuma 'sudah lama' tapi 'lama banget'. Dia bahkan melewatkan film-film hits yang naik layar, tidak peduli walau harus dicap kudet oleh teman-teman sekantornya dulu. Lebih memilih mendownload film Bollywood favoritnya dan menyaksikannya di rumah.
Zirena : I'm in. Pulang kerja ya....
Sagita : Ya Allah, jadi pengen punya suami juga. Kapan masa jombloku berakhir ya Allah
Sontak Zirena nyengir karena chat Sagita yang mulai baper ditambah emoticon cewek yang nangis guling-guling. Namun, sedetik kemudian bibirnya mencebik begitu melihat pesan terbaru di room chat-nya.
Sagita : Okedeh, Zi. Ketemu di MP aja besok. Kantor baru kamu jauh, males jemput. Xixixi
***
Jam 3 pagi, alarm alami tubuh Zirena menyala. Perlahan pejam mata gadis itu terbuka seiring kesadarannya terkumpul usai menikmati lelap alam mimpi. Kedua tangannya bergerak melakukan perenggangan ringan, sesekali menguap. Kemudian dia bangkit, duduk sebentar di tepi ranjang.
Kebiasaan bangun pada sepertiga malam terakhir seperti ini tak didapatkan begitu saja. Membantu Ibu membuat kue untuk dijuallah yang melatih dirinya. Awalnya kesulitan, namun tahun demi tahun berlalu dan semua menjadi mudah baginya.
Zirena menyeret kakinya menuju kamar mandi, melewati dapur, menyapa Ibu yang sedang membuat adonan bolu kukus.
Dingin air wudhu menyapa kulit mulusnya, mengalirkan sensasi segar hingga kebagian terdalam dirinya. Sebelum menemani Ibu, Zirena lebih dulu menggelar sajadah di kamar. Menghadap Sang Pencipta lewat sujud, serta tak lupa menguntai do'a terbaik di waktu utama ini.
Usai menunaikan shalat malam, gadis 24 tahun itu menuju dapur. Tanpa menunggu arahan, dia menyalakan kompor kemudian meletakkan wajan di atasnya sebelum menuangkan minyak goreng.
"Donatnya siap goreng, Bu?" Ibu mengangguk sambil melempar senyum khasnya, ramah dan hangat. Sigap, Zirena memasukkan satu persatu donat setelah bagian tengahnya dilubangi. Gadis itu tampak tenang menghadapi genangan minyak yang menimbulkan riak panas.
Butuh waktu lumayan lama untuk menyelesaikan proses menggoreng donat. Sembari menunggu kue bulat berlubang itu dingin agar mudah diberi topping, Zirena mengemas beberapa macam kue kedalam wadah jualan. Dia mengambil posisi duduk berseberangan dengan Ibu.
"Zi...." Ibu sengaja memberi jeda sejenak. Rasa ragu menyampaikan tercetak jelas di wajah senjanya. "Seandainya....Ayah kamu ingin bertemu denganmu, mau?"
Punggung Zirena seketika menegang, sepasang tangannya tahu-tahu berhenti di udara. Dengan gerakan lambat dia mengangkat kepala menghadap Ibu yang berdiri. Tatapannya lamat, berusaha mencerna pertanyaan Ibu barusan.
Hampir tidak pernah mereka membahas perihal lelaki itu. Takut mengorek luka lampau yang tak kunjung sembuh. Detik Ibu bertanya, saat itu pula satu pertanyaan muncul di benaknya. Ada apa?
Zirena menarik napas, mencoba mengendalikan berbagai gejolak emosi di dalam dadanya. "Ibu lebih dari tahu kalau Zi tidak suka mengungkit apapun tentang dia," ucapnya tenang namun sarat tekanan di tiap kata.
Ibu mendesah pasrah. Sirat matanya seakan menyampaikan rasa sedih dan kecewa sekaligus atas kebatuan Zirena. Meski dirinya paham alasan kenapa anaknya jadi begini.
"Orang yang meninggalkan kita begitu saja tidak berhak kembali walau untuk bertemu setelah belasan tahun berlalu." Tiap kata mengalir dari mulut Zirena, datar dan diselimuti kebencian.
Untuk pertama kalinya, baik Ibu ataupun Zirena menjadikan diam jalan terbaik untuk keluar dari suasana tak menyenangkan ini.
***
Pagi yang sibuk. Jalanan di hadapan Zirena padat nyaris macet. Gadis yang hari ini mengurai rambutnya berdiri di depan salah satu toko besar yang menjajakan berbagai jenis kue, mulai dari kue tradisional hingga modern serta bermacam bentuk tart ulang tahun. Ruko inilah yang menjadi tempat Ibu Zirena menitip kue-kuenya.
Sembari menunggu pemilik toko mengambil hasil jualan kemarin, Zirena membuka aplikasi musik di ponsel pintarnya. Playlist lagunya random, ada lagu penyanyi barat, Indonesia, tapi lebih banyak lagu India kesukaannya. Kemudian, dia memasang earphone, lantas menekan tombol play pada lagu Matargashti. Suasana ceria dari salah satu soundtrack film Tamasha yang diperankan Ranbir Kapoor dan Deepika itu mampu mengembalikan moodnya usai kejadian tadi subuh.
"Makasih, Bu." Zirena menerima sejumlah uang dari pemilik toko yang beberapa saat lalu menghampirinya. Terburu dia memasukkan uang itu ke dalam tas selempang yang dia kenakan. "Kalau gitu, saya pamit, Bu. Assalamualaikum."
Zirena bergegas mengendarai Scoopynya. Jarum jam yang melingkar manis di tangan kiri menunjukkan pukul 7 tepat, masih ada sejam sebelum waktu kerja di studio mulai. Dia bisa santai melajukan motor.
Sudah ada Dewi-perempuan tinggi semampai rambut disanggul sederhana yang bertugas sebagai resepsionis-dan Rahma-perempuan dengan rambut kuncir seadanya yang diketahui Zirena sebagai Office Girl-sesampainya dia di Studio. Sepagi ini keduanya tengah menggunjingkan sesuatu.
Demi kesopanan, Zirena menyapa mereka dan berbasa-basi singkat. Enggan bergabung membicarakan urusan orang. Dia memutar bola mata jengah ketika beranjak meninggalkan duo rumpi itu. Tidak kemarin, tidak hari ini, mereka masih saja membahas drama antara pacar dan maminya Adam.
Zirena heran, kenapa ya kebanyakan orang jaman sekarang senang sekali mengurusi kehidupan orang lain? Padahal kehidupannya sendiri belum tentu lebih baik. Seolah semua itu hal lumrah untuk dilakukan, meski dalam Al'quran jelas sekali larangan keras untuk berghibah.
"Pagi, Zi!" Dika menyapa dari arah berlawanan, menyentak Zirena yang larut dengan pikirannya. Sebelah tangannya memegang segelas s**u, dan lainnya semangkuk sereal. Muka bantalnya jelas sekali.
"Pagi, kak Dika," balas Zirena ramah, dibalik senyumnya tersembunyi rasa malu akibat insiden sepatu. Bagaimana tidak, waktu itu tanpa mempertimbangkan perasaannya, Dika menertawainya. Sampai terbahak-bahak dan membuat semua orang melirik ke arahnya.
Tidak menunggu lama, Zirena mengayunkan kaki menuju tempatnya di lantai dua. Baru saja ingin membereskan meja kerja, Adam dengan muka bantal persis Dika menuruni anak tangga.
"Zirena, tolong buatin kopi. Taruh di ruang kerjaku saja kalau selesai." Adam menguap, membalik badan lantas kembali menuju lantai 3. Rambut gondrong dengan tingkat berantakan tak bisa ditolerir miliknya ikut melambai seirama langkah lebar lelaki itu.
Astaga, itu rambut kok minta disisirin banget, sih? (*)
***