"Perempuan dan moodnya, tak ubahnya cuaca. Mudah berubah tanpa bisa diprediksi."
-Adam F. Rahadian-
***
Anggun Sasmitha Rusadi.
Sosok Hawa yang selama tiga tahun belakangan mengisi mimpi-mimpi indah seorang Adam. Perempuan tinggi semampai bak seorang model dengan rambut bergelombang dipangkas sepundak, sangat pas untuk wajah ovalnya.
Anggun adalah cinta pertama Adam di SMA, bertemu kembali enam tahun kemudian saat reuni akbar. Berawal dari saling tegur sapa, dan berakhir sebagai sejoli beberapa bulan pasca reuni itu.
Dan, hari ini, seharusnya dia menemui Anggun jam duabelas tepat di tempat janjian mereka. Menuntaskan rindu setelah seminggu tak bersua karena kesibukan masing-masing.
Adam melirik sekilas jam tangan hitamnya. Sudah lewat lima belas menit. Dia mendesah, tidak biasa terlambat.
Membuat orang lain menunggu tidak termasuk dalam kamus hidup pria berhidung mancung itu. Apalagi jika orang itu adalah calon mama dari anak-anaknya kelak—ehm. Baginya, datang lebih awal lebih baik.
Detik berikutnya, dia menatap tak sabaran barisan mobil yang berjalan seperti kura-kura. Sama tak sabarannya dengan pengemudi lain yang berulang kali membunyikan klakson.
Dari dalam Rush-nya, Adam bisa melihat asap hitam membubung beberapa meter di depan sana.
Ck!
Seolah insiden terserempet motor oleh seorang gadis tadi tidak cukup menyita waktu, kini dia harus berjibaku dengan kemacetan akibat ulah sekelompok mahasiswa yang berdemo sembari membakar ban bekas di tengah jalan. Adam mendengkus kasar.
Tanpa sadar Adam menghembuskan napas lega begitu terbebas dari kawasan macet. Sebentar lagi dia akan bertemu bidadarinya.
Tidak berapa lama, perlahan mobilnya memasuki kawasan Don Cafe, tempat nongkrong berarsitektur belanda yang berada di pusat kota. Dengan cakap, dia mengarahkan Rush-nya ke parkiran samping.
Sebelum turun, Adam mengikat rapi rambut gondrongnya, lalu mengambil seikat bunga dari atas dashboard.
Kakinya yang jenjang memudahkan pria itu melangkah lebih cepat. Begitu melewati pintu, matanya menelusuri bagian ruangan, mencari keberadaan kekasihnya.
Nah, dia di sana. Syukurlah.
Dia tersenyum lega mendapati Sang Pujaan Hati duduk di kursi sudut dekat sebuah lukisan besar. Perempuan berbaju putih, tertunduk memperhatikan guratan pensilnya pada selembar kertas.
"Bunga cantik untuk wanita yang tak kalah cantik," puji Adam, tulus dari lubuk hati terdalam.
Anggun menoleh, mendongak, pria yang sejak tadi dinanti berdiri menjulang di samping meja. Tangannya mengulurkan buket mawar merah.
"Tumben sekali Tuan Fotografer terlambat?" tanya anggun, tersenyum tipis, lantas mengambil pemberian Adam. "Eh, makasih mawarnya, Sayang."
Pria beralis tebal itu meringis.
"Maaf." Secara singkat Adam menjelaskan alasan keterlambatannya. Dia menarik kursi di depan Anggun, menghempaskan diri ke atasnya.
"Tapi lecetnya gak parah, kan?"
Adam menggeleng singkat. Sebelah sikunya tertumpu di meja untuk menopang dagu. Kekhawatiran yang ditunjukkan Anggun menjalarkan rasa hangat ke hatinya.
"Sudah pesan makanan?" Adam mengalihkan topik, enggan membahas kejadian tadi lebih lanjut.
"Belum. Kan nunggu kamu," jawab Anggun dengan nada manja. Jemari lentiknya meraih buku menu di atas meja. "Mau makan apa, Sayang?"
Makan kamu, boleh? Sial... Adam merutuki celetukan batinnya.
Seorang pelayan berseragam menghampiri, mencatat pesanan mereka. Secangkir espresso, salad sayur, dan steak saus barbeque andalan Don Café.
"Kenapa cuma salad sayur, Anggun?" kedua alis Adam tertaut.
"Aku lagi diet, Dam. Masa hampir seminggu di Jakarta, berat badanku naik sekilo."
Yeah, wanita dengan segala dietnya.
Sejenak Adam memperhatikan suasana kafe yang pertama kali didatanginya ini. Selain model bangunan dari luar, ternyata ruangan di dalam pun begitu klasik dan memberi kesan hangat, terlihat dai pemilihan motif lantai, meja, kursi dan dekorasi lainnya.
Jika kafe-kafe lainnya mengandalkan banyak lampu untuk penerangan, maka berbeda dengan Don Café. Jendela-jendela besar di tiap sisi ruang membebaskan sinar matahari masuk semelimpah mungkin. Tempat luas disertai langit-langit tinggi mampu membuat para pengunjung merasa lapang dan nyaman. Senyaman Adam berada di sisi Anggun.
"Bagaimana dengan pameran fashion di sana?" Adam kembali fokus pada wanita cantik di seberangnya.
"Seru banget!" sahut Anggun antusias. "Kamu tahu, di sana aku ketemu banyak desainer pemula kayak aku. Saling berbagi cerita dan pengalaman."
Here we go, jika membahas passionnya, Anggun menjelma sosok penuh semangat seperti saat Adam membahas fotografi. Dia tahu, sedari dulu gadisnya ini bercita-cita menjadi fashion desainer terkenal. Dan, sepenuh hati dia mensupport Anggun merintis karirnya.
"Terus dapat banyak ilmu dari desainer-desainer nasional terkemuka. Pokoknya gak sia-sia aku ke sana," lanjut Anggun, menyerocos. "Ah, satu lagi, rencana aku mau ikut kompetisi fashion design. Hadiah utamanya lumayan banget. Do'ain aku ya, Sayang."
Melihat betapa excitednya gadis bermata bola itu, Adam menjulurkan tangan, mengacak lembut puncak kepala Anggun.
Gadis itu terkesiap, mengerjap cepat, tidak menduga perlakuan Adam. Semburat rona merah muncul di pipinya yang terlapisi make up tipis.
"Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu," sahut Adam kemudian. "By the way, aku belum bilang ... I miss you so much, calon Mrs. Adam."
Mendengar kata 'calon Mrs. Adam' seketika membuat air muka Anggun berubah seratus delapan puluh derajat. Dan, Adam luput memerhatikan itu.
***
Mood sebagian besar perempuan itu tak ubahnya cuaca. Mudah berubah tanpa bisa diprediksi. Entah Adam salah bilang apa hingga sepanjang perjalanan mengantar Anggun pulang, wanita itu hanya menimpali ucapan Adam seadanya, selebihnya diam.
Mau tak mau suasana hati Adam ikut buruk. Lupakan goodbye kiss yang biasa dia dapatkan, sebab sampai keluar dari mobil pun Anggun tetap menutup rapat mulutnya. Dia kenapa, sih? Saking buruknya, Adam masuk begitu saja ke dalam bangunan tiga lantai miliknya. Mengabaikan Rahma, resepsionis studio fotonya, yang hendak mengatakan sesuatu namun urung karena aura bad mood di sekitar bosnya.
"Ehm. Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat."
Sepasang kaki Adam kompak berhenti. Dia berbalik. Sedikit terkejut melihat laki-laki berbadan gempal yang duduk di sofa dekat meja resepsionis.
"Beny?" Adam mendekat, "wah, long time no see, Bro! Kapan tiba?". Senang sekali rasanya bertemu kawan lama.
Dalam hitungan detik keduanya bersalaman, saling merangkul, dan menepuk-nepuk punggung sebentar.
"Kemarin, Bro," sahut lelaki bermata sipit itu sambil melepas rangkulan. Tidak enak disaksikan beberapa customer yang duduk di kursi tunggu. "Apa kabar, Dam?"
"Baik, Ben."
Beny ini teman satu kampus Adam dulu. Lulus dua tahun lebih lama daripada dirinya karena sibuk mengurusi bisnis warnet yang lagi booming waktu itu.
"Baik kok auranya suram begitu?" timpal Beny sebelum Adam balik menanyakan kabar.
Adam hanya mengulum senyum, tidak mungkin kan membicarakan suasana hatinya di depan banyak orang?
Dia mengajak Beny ke lantai tiga, lantai khusus yang Adam jadikan tempat tinggal. Mereka melewati dua ruangan studio, sekilas Adam melihat Dika dari celah pintu yang tidak tertutup rapat tengah memberi instruksi ke customer yang foto wisuda bersama keluarganya.
Sementara Beny mulai bergelung dengan napasnya yang terengah padahal baru melewati undakan tangga menuju lantai dua. Dia sedikit kesulitan mengikuti langkah besar Adam. Padahal, sesama anggota organisasi Mapala dulu, dia tidak selema ini. Jauh sebelum Negara api menyerang, Beny pernah memiliki tubuh seatletis Adam. Dan, entah bagaimana ceritanya hingga kawan karibnya ini bisa menjelma pria bertubuh onepack.
"Aku tidak lihat Sri. Ke mana asisten kamu itu?" tanya Beny saat akhirnya mereka menginjakkan kaki di lantai tiga.
"Dia sudah resign seminggu lalu, mau menikah dia." Adam mempersilahkan Beny duduk, sedangkan dia berjalan menuju dapur. Membuka kulkas dan mengambilkan minuman dingin.
"Tidak cari pengganti? Secara kan kamu bukan fotogafer biasa."
Adam terkekeh mendengar sebutan Beny untuknya. Selama ini dia mempekerjakan asisten merangkap admin untuk membantunya. Karena selain mengurus studio, dia juga tergabung di sebuah komunitas pengusaha dan tak ayal sering diundang untuk mengisi seminar kewirausahaan.
"Sudah. Tapi belum menemukan yang tepat saja, Ben." Adam menyodorkan kaleng minuman, lalu ikut mengempaskan diri di samping Beny.
"Nyari asisten kok kayak nyari jodoh, Dam." Beny tertawa pelan. "Ngomong-ngomong, kamu masih sama Anggun?"
Adam mengangguk. Dalam hati mengomentari karakter Beny yang tidak berubah banyak sedari dulu. Tetap banyak tanya.
"Take your time, ya, Ben. Aku ke kamar dulu, ganti baju."
Meninggalkan pria tambun berambut cepak di ruang tamunya, Adam melenggang menuju kamar.
Dia mengeluarkan ponsel serta dompet dari saku celananya untuk diletakkan di atas nakas. Saat itulah Adam teringat 'jaminan' dari gadis ugal-ugalan yang ditemuinya tadi.
Dengan seksama, Adam menelisik foto serta data diri yang tercantum pada e-KTP gadis itu.
"Zirena Nameera Ahmad. Hm ... nama yang bagus, heh?"
(*)