STEP 1 - Si Keras Kepala

1339 Words
"Ibu adalah cahaya, dan aku laronnya. Kepakan sayapku akan selalu menujunya, tidak peduli apapun yang terjadi." -Zirena Nameera Ahmad-   *** Ibu; Seseorang yang mengajarkan cinta tanpa syarat, orang yang melindungi diri dan mengobati luka, orang yang memberi dan menjaga kenangan indah, orang yang mencintai dan dicintai sepenuh jiwa raga, orang yang menjadi pintu surga bagi anak-anaknya. Apa itu cukup untuk mendefinisikan arti seorang ibu? Tidak, sebab bagi Zirena, sosok ibunya bahkan lebih dari itu. Sejak ayahnya memilih pergi, Zirena hanya memiliki ibu sebagai keluarga. Dia tumbuh sebagai saksi tentang bagaimana sosok itu berjuang seorang diri demi menyambung hidup, dan mencukupi segala kebutuhan anaknya. Meski tertatih, ibu tidak pernah mengeluh apalagi menyerah. Menurutnya, Sang Ibu adalah the real wonder woman in the world. Zirena tidak bisa membayangkan akan seperti apa dirinya jika sesuatu yang buruk terjadi pada perempuan empat puluh lima tahun itu. Sebab itu, Zirena begitu panik ketika beberapa saat lalu Indira mengabarinya lewat panggilan w******p bahwa ibunya pingsan dan sedang dalam pemeriksaan dokter . Dengan debar jantung yang tak karuan, dia bergegas keluar dari ruang meeting. Berjalan tergesa menuju ruangannya, mengambil tas dan kunci motor. Bak orang kesetanan Zirena mengendarai scoopynya. Jarum spidometer motor itu nyaris menyentuh kecepatan sembilan puluh saat membelah jalanan yang lumayan lengang. Gerakannya mendahului pengendara-pengendara lain menyerupai para pembalap motoGP. Dia tahu menyalip sana sini adalah tindakan berbahaya, namun akal sehatnya tertutupi kekhawatiran yang memuncak. Pandangannya mengabur oleh genangan air mata. Dalam hati dia terus merapal do'a agar wanita terkasihnya baik-baik saja. "Astagfirullah!" Zirena tersentak, menyadari sebuah Rush hitam hendak memutar arah. Tubuhnya menegang, dengan sekuat tenaga dia berusaha menarik rem. Detik berikutnya, bunyi ban berdecit mengudara, disusul suara gesekan dua benda yang saling terserempet. Bersyukur, gadis berkemeja itu cekatan menahan bobot motor menggunakan kaki, sehingga dia tak sampai limbung ke badan jalan. Sementara Zirena menepikan motor, seorang pria berpostur tinggi keluar dari pintu kemudi. Langkahnya panjang-panjang menuju sisi belakang mobil. Mengecek dengan seksama bagian yang lecet. Pria itu berbalik menghadap tersangka penabrakan, rahangnya tampak mengetat meski tertutupi brewok, dan mata elangnya menatap marah. Meski masih dalam mode syok, gadis itu balas mendelik tak kalah tajam. Dia maju dua langkah. Demi menemukan manik mata pria itu, dia harus mendongak karena tingginya yang tak seberapa. "Pak, tolong sennya dinyalakan paling tidak satu dua meter sebelum berbelok. Bukannya pas mau memutar," ujar Zirena, dadanya kembang kempis mengatur napas. "Kalau begini saya mana bisa menghindar. Tuh, mobil Bapak dan motor saya jadi korbannya kan." Keduanya tidak menyadari kalau beberapa pengguna jalan telah mengamati mereka. Pengemudi kendaraan yang berlalu pun menyempatkan diri menoleh, penasaran apa gerangan terjadi. Pria itu mendengkus tak percaya. "Yang korban di sini siapa?" Tangan kanannya bergerak, menyugar rambut gondrong selehernya, lantas bersidekap. "Kamu tahu berapa kecepatan motormu tadi?" Zirena mengedikkan bahu, mana sempat dia memperhatikan ketika pikirannya terfokus untuk segera tiba di rumah. Dan, hei! Apa pertanyaan itu penting? "Dengan kecepatan di atas delapan puluh kilometer perjam, mustahil kamu bisa menghentikan motor tepat waktu. Sekalipun saya menyalakan lampu sen satu dua meter sebelumnya seperti katamu," jelas pria itu dengan suara dalam dan pengucapan penuh penekanan. Wow. Bagaimana dia bisa memperkirakannya? "Tapi ... tetap saja...." Zirena tak melanjutkan kalimatnya. Dia memejamkan mata sesaat, meredam gemuruh di dadanya. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendebat, Zi! Ingat ibu di rumah. "Ugh ... Fine! Jadi sekarang mau Bapak apa? Ganti rugi? Saya akan ganti ru—." Kata-kata Zirena mengambang di udara, terinterupsi dering ponsel dari saku celana bahannya. "Assalamualaikum, Zi. Kamu di mana?" "Wa'alaikumsalam. Masih di jalan, Dir. Ibu gimana? Sudah sadar?" Raut khawatir tak mampu disembunyikan Zirena begitu mengangkat telepon dari sahabat baiknya, Indira. Pria itu menyemburkan napas dan mengusap wajah dengan kasar. Sesekali dia melirik jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Para pengamat yang sedari tadi berkerumun perlahan membubarkan diri, menyisakan Zirena dan pria entah siapa namanya ini. "Saya mau ganti rugi," ucap pria itu setelah Zirena mengakhiri panggilan, "tapi tidak sekarang karena saya juga sedang buru-buru. Punya kartu nama dan KTP, kan?" Zirena memicingkan mata, curiga. "Buat apa?" tanyanya yang membuat pria itu berdecak sebal. "Jaminan." Bibir Zirena membentuk O. Lalu dia membuka tas, mengambil kedua benda yang diminta pria itu, lantas meletakkannya di atas telapak tangan yang terulur. Dengan satu gerakan cepat, kartu nama dan tanda pengenal Zirena telah berada di dalam dompet kulit pria itu. "Saya akan menghubungimu nanti untuk tagihan bengkel." Belum sempat dia memberi reaksi, pria itu tahu-tahu masuk ke mobilnya, Di balik pintu yang belum menutup, kepalanya menyembul, menoleh ke arah Zirena. "Ah, satu hal lagi, saya tidak setua itu untuk di panggil 'Pak atau Bapak'. Nama saya Adam, dua puluh tujuh tahun," katanya, penuh percaya diri. Detik berikutnya pintu tertutup, dan deru mesin mobil pria itu terdengar semakin menjauh, meninggalkan Zirena yang masih terpaku di pinggir jalan. Ha? Informasi yang berfaedah sekali, ya? Kenapa tidak menyebutkan nominal ganti rugi saja ketimbang umurnya yang tidak penting? Toh tampangnya memang kayak bapak-bapak, kok. Heuh.... *** Akhirnya Zirena sampai di rumah setelah lebih dari setengah jam dia berkutat di jalan, sedikit lebih lambat dari perkiraannya karena terhambat insiden menyerempet mobil orang tadi. Bersyukur dia tiba tanpa luka atau kekurangan sesuatu apapun seperti motornya yang kehilangan sebelah kaca spion, tepatnya pecah berkeping-keping. Scoopy diparkir asal di depan rumah. Usai mengucap salam dan meletakkan sembarang flat shoesnya, gadis itu menuju ke kamar ibu dengan perasaan cemas. Pelan tangannya mendorong pintu, begitu masuk, dia mendapati cahaya hidupnya itu terbaring di ranjang, bersama Indira yang duduk menunggui di sisinya. Gadis berkerudung panjang itu menyadari kehadiran Zirena, diapun berdiri mendekati sahabatnya yang mematung dekat bingkai pintu. "Tadi ibu sudah sadar, dan sekarang lagi tidur. Mungkin efek obat." Indira menepuk pundak sahabatnya, sambil melontarkan senyuman yang menyiratkan bahwa semua baik-baik saja. Agar Zirena leluasa menemani ibunya, Indira keluar dari kamar. Zirena menatap sendu raut pulas perempuan yang telah melahirkannya itu. Garis-garis waktu serta sisa-sisa keras kehidupan terpeta jelas di wajah Ibu. Ya Allah, anugerahkanlah kesehatan untuk Ibu. Aku janji gak akan lalai memerhatikannya lagi. Berkali-kali gadis itu menciumi punggung tangan ibunya yang keriput. Sebelum keluar, dia menyeka bulir bening di pelupuk mata, kemudian mendaratkan kecupan sayang di kening sebagaimana yang sering Sang Bunda lakukan dikala dirinya sakit. "Dokter bilang apa tentang kondisi Ibu, Dir?" Zirena menghampiri Indira di ruang tamu. Ruangan itu tak terlalu besar, namun cukup nyaman jika ingin berlama di sana. Jendela-jendela terbuka, sehingga jutaan larik sinar matahari dan hembusan angin dapat berlomba masuk. Tembok yang diwarnai hijau muda juga memberi kesan menenangkan. Mungkin itulah yang membuat Indira dan Sagita-sahabatnya yang lain-lebih betah berada di sini daripada di kamar Zirena. "Ibu kelelahan katanya, beliau butuh istirahat yang cukup. Tapi tetap harus dibawa ke Rumah Sakit nanti untuk pemeriksaan lebih lanjut." Zirena mengangguk takzim. "Umm, terimakasih ya, Dir. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau kamu tidak datang ke rumah." Zirena memeluk Indira dari samping. Menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. Mereka bersahabat sejak di sekolah dasar. Tinggal di kompleks yang sama, dan sekolah di tempat yang sama sampai kuliah walau beda jurusan. Zirena di Manajemen, dan Indira di Pertanian. Begitu lulus, Zirena memutuskan kerja, sementara Indira menikah dengan Fahri, pemuda yang di ta'arufkan dengannya. Dia sempat skeptis dengan hubungan perjodohan sahabatnya itu, karena dia pernah menyaksikan hubungan yang sama dan berakhir memilukan. Namun, nyatanya, keluarga kecil Indira bahagia sampai sekarang, terlebih dengan kehadiran putri kecil menggemaskan, Asiyyah. "Kayak aku orang asing aja deh pake bilang makasih segala." Indira memukul gemas lengan Zirena. "Lagipula, semua sudah Allah takdirkan termasuk menggerakkan hati aku ke sini buat bawain oleh-oleh dari Fahri. Dan alhamdulillah bisa menemukan Ibu lebih cepat." Zirena mengangguk lagi, tak lupa mengucap syukur sebanyak mungkin. Allah Maha Baik, mengiriminya orang-orang baik yang meski tak sedarah tapi tak ubahnya seperti keluarga. Dan tak sungkan memberi uluran tangan untuk menolong. Setelah mengobrol beberapa lama, Indira pamit pulang karena Uminya menelepon dan bilang kalau Asiyyah bangun, merengek mencarinya. Usai mengantar Indira sampai ke depan pagar sekalian membawa masuk si Scoopy ke halaman, Zirena melintasi ruang tamu menuju dapur. Bersiap memasak sesuatu sembari menunggu Ibu terbangun, Mungkin semangkuk bubur hangat akan lebih mudah dicerna Ibu untuk mengembalikan energinya. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD