Joan sedikit merendahkan kepalanya. “Kamu ingin saya pergi?”
Jiyya kini dibuat bingung, niat hati ingin mencari tahu motif si dosen muda yang ada malah dia sendiri yang ditanya-tanya. Namun buat Joan sebaliknya, dia justru makin menyukai ekspresi Jiyya tepat setelah dia melontarkan pertanyaan sederhana. Joan sendiri juga tidak tahu setan apa yang sedang merasukinya sekarang, tapi yang jelas saat dia bersama Jiyya seperti ini dan hanya berdua saja mau tidak mau dia malah tergoda untuk sedikit usil kepadanya.
“Saya, tidak… maksudku…” Jiyya terlihat kesulitan mengatakan apa yang ada dibenaknya. “Tentu saja tidak Pak Joan, maaf saya tidak bermaksud untuk mengusir,” ujarnya kikuk.
Joan tersenyum padanya. “Tidak perlu minta maaf, kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa. Hanya saja kamu tiba-tiba keluar dari kedai tanpa penjelasan apa-apa, Dean terlihat khawatir, begitu juga saya. Makanya saya putuskan untuk menyusul kamu. Kami cemas kalau ada sesuatu yang salah. Entah itu karena kami berdua yang tidak peka, atau terjadi sesuatu yang lain misalnya?”
Jiyya memandang kesamping, terlihat tidak percaya dengan alasan sang dosen muda yang begitu perhatian kepadanya. Dia mendengus sebelum menjawab. “Ya, saya yakin Dean lebih mengkhawatirkan mangkuk ramennya dibandingkan saya, sebetulnya.”
Joan tertawa kecil menanggapi perkataan Jiyya. Gadis ini sudah sangat hafal akan perangai sang sahabat. “Begitukah? Kalau begitu saya akui kalau sebenarnya saya yang khawatir padamu.”
Jiyya kontan langsung tersentak kecil, pipinya bersemu memerah dengan cara menggemaskan. Sekali lagi gadis itu memandang kearah Joan dengan malu-malu. Jiyya benar-benar sangat tidak ahli menyembunyikan perasaannya itulah kesimpulan yang Joan dapatkan dari gadis itu. Karena ditatap oleh si gadis Joan balik memandang Jiyya tanpa sedikitpun memperlihatkan betapa senangnya dia tatakala melihat pipi mahasiswinya memerah malu seperti itu.
“Apa yang sebenarnya membuatmu kabur begitu? Apa kamu sakit?”
Jiyya menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Kamu yakin?” Joan bergerak mendekat dan menempelkan tangannya ke dahi Jiyya.
Saat tangan itu menyentuhnya, tubuh Jiyya berubah kaku dalam sekejap. Kedua tangannya mengepal, dengan kedua matanya yang langsung membulat menatap langsung kearah si dosen muda. Tapi Joan malah semakin ingin melakukan hal yang lebih, dia menyukai keadaan Jiyya saat ini. Joan tahu bahwa dia ini benar-benar sudah kelewat m***m dengan isi otaknya.
“Hm…” Tanpa sepengetahuan gadis itu, Joan tersenyum licik dibalik masker hitam yang dikenakannya. “Sebenarnya menurutku suhu tubuhmu sedikit panas. Dan lihat—” Dia menarik tangannya dari dahi Jiyya menunjuk tepat ke pipi gadis itu. “—pipimu juga memerah,” tutupnya.
Sudah jelas Jiyya sekarang sudah terlalu pasrah untuk dapat menutupi apa yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya. Joan bersiul pelan.
“Mungkin sebaiknya kamu beristirahat dan tidur saja. Seharusnya kalau kamu tidak enak badan kamu bisa menolak ajakan Dean sejak awal atau minta saya mengantarkan kamu tadi. Lagipula besok kamu sedang tidak ada kelas kan?”
Jiyya menggelengkan kepalanya, dia masih belum bisa untuk berkata-kata. Angin dingin yang tiba-tiba melewati mereka berdua malah kontan membuat gadis itu menggigil.
“Mung—ehm…” Suara Jiyya terdengar agak serak dia berdehem dan mencoba lagi merangkai kata-kata yang ingin dia sampaikan dengan lebih normal. “Mungkin kau benar Pak Joan, saya akan… saya akan beristirahat dan tidur. Ini pasti gara-gara saya tidak tidur dengan benar semalam.”
“Ah begitu ya?” Joan menganggukan kepalanya mengerti. “Saya juga sama.”
Jiyya tiba-tiba saja tersipu dan Joan malah makin menyeringai menyadari bahwa barangkali mahasiswinya ini membayangkan hal nakal dikepalanya.
“Saya… uh… saya demam Pak!” Jiyya tiba-tiba saja memekik. “Itulah kenapa saya tidak bisa tidur! bukan karena hal lain. Umm… selamat tinggal Pak Joan, saya pulang dulu!” gadis itu menggumamkan kata-katanya dengan cepat dan meninggalkan Joan sembari masuk kedalam rumahnya dengan sedikit brutal.
“Mimpi indah Jiyya.” Joan berujar diluar sana.
Jiyya hanya bisa merosot dibalik pintu ketika dia berhasil lolos dari Pak Joan. Punggungnya bersandar sepenuhnya pada pintu yang telah tertutup rapat. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Silvana benar-benar sudah mempengaruhi dia. Sekarang segala sesuatu yang Pak Joan katakan malah dimaknai sebagai hal yang nakal olehnya.
Gadis itu menepuk jidatnya sendiri, mengerang sebelum akhirnya dia menarik wajahnya sendiri dengan gemas. Dia merasa bahwa dia sudah tidak waras karena memikirkan dosen mudanya itu dengan cara tidak wajar lagi.
Dari gerak-geriknya tadi sepertinya Pak Joan sudah tahu bahwa dia telah memandanginya. Tapi apakah dia juga tahu bahwa Jiyya juga memikirkannya? Kenapa Jiyya harus terus memikirkan pria yang lebih tua darinya saat hatinya masih tertambat pada cinta pertama sekaligus orang yang tidak akan pernah dia lepaskan cintanya?
Semua ini gara-gara Silvana! Iya! Gara-gara sahabat gilanya itu sekarang Jiyya tidak lagi bisa jadi mahasiswi yang dapat menghadapi Pak Joan dengan cara normal. Jiyya mengutuk sahabatnya yang bodoh serta ide konyolnya.
Setelah puas mengutuki Silvana, si gadis konservatif itu kemudian akhirnya memutuskan untuk bergerak dan merebahkan dirinya diatas tempat tidur. Itu bukan karena dia lelah atau sakit, namun dia membutuhkan hal lain.
Ya, Jiyya mungkin memang masih perawan. Tapi bukan berarti dia tidak tahu cara menyenangkan dirinya sendiri.
Dia melepas seluruh pakaiannya, mulanya memang ingin berganti dengan piyama namun niatan itu urung seketika. Well, pemicunya sudah ada. Jadi lebih baik menggunakannya.
Tanpa disadarinya, Jiyya malah membayangkan Pak Joan yang datang padanya.
Tidak! tidak mungkin dia melakukan ini sembari membayangkan dosennya sendiri! ini sudah gila!
“What the hell?” Jiyya menyentuh sisi kepalanya dan berdiri dari sana. “Apa yang baru saja aku perbuat? Ya Tuhan! Ya Tuhan!” Jiya berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, wajahnya begitu horror tatkala dia memandangi cermin dikamarnya.
Apa yang baru saja dilakukannya adalah hal illegal. Dia tidak boleh berimajinasi nakal tentang seseorang yang dia lihat setiap hari. Terutama dia adalah sosok tenaga pengajar dikampus!
“Silvana sialan!”
“Argh! Bego… bego… aku bodoh sekali!” Jiyya menghempaskan tubuhnya kembali ketempat tidur.
Apa yang akan Pak Joan pikirkan dan lakukan kalau Jiyya kedapatan melakukan hal kotor ini dengan mengimajinasikan dirinya?
Ah, dia butuh air dingin. Dia butuh kesegaran untuk menutupi seluruh dosa yang baru saja dia perbuat. Dia harus mandi untuk menjaga kewarasan dan kemudian dia akan memenggal kepala Silvana setelanya.