Canggung sekali. Joan merasa tidak tahu harus berbuat apa sekarang dan yang membuat perasaan itu kian memberat adalah fakta bahwa barangkali hanya dia yang merasa demikian diantara Dean yang duduk disebelahnya (yang sepertinya pemuda bobrok itu tidak memahami situasi sama sekali) dan Jiyya yang duduk disebelah Dean. Gadis itu tidak banyak bicara dan hanya mengaduk-ngaduk kuah ramen menggunakan sumpit di mangkuknya. Seolah tidak menikmati suguhan yang menurut Dean adalah santapan surgawi. Jiyya bahkan belum memasukan mie dengan tekstur kenyal tersebut kemulutnya. Namun herannya lagi sesekali Jiyya melemparkan tatapan bersalah kearahnya, seakan dia baru saja melakukan hal yang paling tercela terhadap Joan. Tapi apa?
“Kau tahu kan kalau si b*****h sialan itu terus memaksaku untuk mengikuti keinginan bodohnya, jadinya aku—”
Ya, dan Dean terus saja mencerocos soal pengalamannya bersama dengan Pak Yoga. Joan tentu mengenal orang yang di maksud sebab bisa dibilang pria itu memang menjadi guru pribadi dari Dean dan punya ambisi untuk mengajari pemuda itu menjadi seseorang yang lebih hebat darinya.
Terlebih sebelum menjadi dosen bagi kedua anak ini, mereka sudah cukup saling mengenal di masa lalu. Joan sendiri sebenarnya tidak begitu peduli dengan cerita itu, tapi akan lebih baik bila dia membiarkan Dean terus bercokol dengan kisah-kisahnya supaya bisa membantunya keluar dari situasi dimana dia terlalu peka untuk paham bahwa sejak tadi Jiyya terus saja melemparkan pandangan tak biasa. Pandangan yang membuat Joan merasa ada yang salah pada dirinya sendiri. Bukan seperti ‘apa ada yang salah dengan wajahku?’ tapi lebih pada ‘Kenapa seorang gadis yang notabene adalah mahasiswinya sendiri terus terusan memandanginya dengan penuh motif seperti itu?’
Bahkan setelah Joan perhatikan, Jiyya terus saja mencoba menembakan sebuah pandangan yang penuh dengan selidik dari matanya yang penuh dengan binar cerah. Alis Joan berkerut, mata mereka bertemu tapi secepat kilat air muka gadis itu berubah memerah. Tak sampai disitu Jiyya bahkan mengalihkan pandangannya dengan cepat kearah mangkuk ramennya lagi.
Sebagai pria yang sudah matang, jelas Joan menyadari apa yang barus saja terjadi dengan lebih jelas. Joan sudah memiliki banyak pengalaman mengajar sejak dia berusia dua puluhan, dan meskipun sikapnya acuh tak acuh tapi bukan berarti dia tidak punya pengalaman serupa dengan kasus seperti ini. Sudah jelas Jiyya tertarik padanya. Itu dia.
Tapi cepat-cepat pria itu membuang spekulasinya itu jauh-jauh. Kenapa dia harus menduga hal itu? Semua orang dikampus sudah tahu, bila Joan tidak akan pernah masuk dalam perhitungan sebagai seorang laki-laki yang akan Jiyya sukai. Dari kedekatan mereka sejak lama, Joan dengar mahasiswi pintar yang duduk dekat dengannya saat ini sangat terobsesi dengan Bestian. Teman dekatnya Dean yang memutuskan untuk kuliah ke luar negeri dan hingga kini masih tetap betah disana dan tak kembali.
Usia Joan juga menjadi salah satu faktor, Joan tidak pernah berpikir bahwa dia akan mendapati seorang gadis yang baru awal masuk dua puluhan memiliki ketertarikan dalam hal nafsu terhadapnya. Jujur saja Joan lebih sering menghabiskan malam yang panas dengan yang lebih tua. Sebab dengan yang lebih tua Joan lebih bisa mengatasi nafsu mereka. Tapi dengan yang lebih muda? Tentu saja yang lebih muda tidak cukup tahu banyak tentang hubungan pria dan wanita di ranjang dan memerlukan sedikit ‘pelatihan’. Ya, lagipula Joan juga tidak tertarik pada gadis belia.
Sekarang, gara-gara pemikiran bodohnya itu Joan malah jadi sibuk sendiri menilai soal Jiyya. Joan tidak mengelak bahwa dia adalah seorang gadis yang cantik, sebentar lagi dia bahkan dia bertaruh, Jiyya akan menjadi seorang wanita matang yang mempesona dalam beberapa tahun kedepan. Sorot matanya yang penuh kebijaksanaan dan perhitungan, bersanding dalam sebuah emosi yang begitu seimbang. Joan tahu lebih dari siapapun bahwa gadis itu selalu berjuang tanpa pernah menyerah. Dan itu adalah sisi yang paling mengesankan darinya.
Diantara kedua matanya, Jiyya punya hidung yang manis tidak terlalu besar ataupun kecil. Bangir? Barangkali itu penggambaran paling mendekati, pipinya terlihat begitu lembut dan menggemaskan, pun pindah ke bibirnya terlihat penuh dan menggoda…
Sampai disitu Joan tahu bahwa dia harus berhenti untuk memikirkan soal Jiyya. Mau bagaimanapun dia tetap adalah mahasiswi yang belajar dibawah bimbingannya. Joan punya tugas untuk membantunya meraih masa depan yang lebih gemilang. Alih-alih menatapnya dengan tatapan m***m dan menatapnya dari sudut pandang kurang ajarnya seperti ini. Tapi sisi liar dari Joan justru malah berbisik nakal bahwa dia bisa membantu Jiyya dengan cara yang lebih menyenangkan.
Matanya berpindah pada d**a Jiyya, asset yang terkadang sering kali Joan dengar bagian yang paling membuat gadis itu kerap menyesali dirinya. Joan harus mengsayai bahwa ya, d**a gadis itu memang lebih kecil daripada segelintir mahasiswi yang pernah kedapatan menggodanya. Tapi ketidaksempurnaan itu tidak mengurangi nilai Jiyya di mata Joan. Kemudian mata Joan kembali menelisik, dan tanpa sengaja kini mata mereka bertemu lagi. Jiyya bersemu merah, dia menyembunyikan lagi wajahnya.
“Jiyya?” Dean tiba-tiba memotong ceritnya di tengah jalan kemudian memandangi gadis yang duduk disebelahnya dengan pandangan khawatir. “Ada apa?”
Jiyya tidak langsung bereaksi. Tapi melihat itu Joan justru suka dengan efek ini terhadap gadis itu. Joan tidak tahu bahwa ini malah jadi semakin menarik saja.
“Saya mau pulang.” Gadis itu memutar kursinya dan berdiri. Sebelum Joan maupun Dean sempat berkata apapun gadis itu sudah pergi.
Dean memandangi kepergian Jiyya dengan ekspresi yang sangat bingung. “Joan, apa yang baru saja terjadi? Apa kita melakukan kesalahan?”
Joan menundukan kepalanya sebelum dengan perlaahan bangun dari kursinya juga. “Kamu akan membayar seluruh pesanannya kan? dompet saya ketinggalan.”
Dean kini sekarang terlihat sangat kebingungan dengan kedua orang yang dia panggil untuk acara reuni kecil-kecilan mereka. “Tapi bagaimana dengan bagianmu? Kamu mau pergi begitu saja tanpa memakannya dulu?” tanyanya hampir mengiba.
“Untuk urusan itu saya serahkan padamu. Kamu bisa menyelesaikannya bahkan lebih baik dari saya kan, Dean?”
Hening sejenak, tapi kemudian Dean malah menyeringai senang. “Kau bisa percayakan soal perut padaku. Pak Joan.” Dean mengangkat jempolnya kemudian mulai sibuk menerjang mangkuk ramen milik Joan yang belum tersentuh sama sekali. Hanya moment tertentu saja yang bisa membuat Dean memberi embel-embel ‘Pak’ sebelum namanya.
Setelah itu Joan mulai keluar dari kedai tersebut, sembari menatap jalanan. Meskipun Jiyya keluar dengan cepat, tapi gadis itu punya sesuatu yang mudah untuk dikenali, rambutnya yang pendek sebahu dan hoodie kebesaran yang selalu menjadi pakaian andalannya adalah ciri khas gadis itu. Maka dengan cepat Joan dapat menemukan keberadaannya.
Dengan langkah santai pria yang lebih tua dari Jiyya itu mulai mengikuti langkah Jiyya yang tergesa. Sejujurnya Joan sendiri tidak yakin dengan langkah apa yang akan dia lsayakan selanjutnya. Tapi paling tidak dia ingin meluruskan tingkah lsaya Jiyya yang membuatnya penasaran sejak tadi pagi.
Baru saja Jiyya berbelok dan berdiri didepan pintu rumahnya, gadis itu terlihat menyilangkan tangannya didepan d**a. Wajahnya masih bersemu merah seperti di kedai tadi. Matanya menatap kearah tanah yang dia pijak. Dan saat itulah Joan memutuskan untuk menampakan kehadirannya didepan gadis itu.
“Yo, Jiyya.”
Gadis itu terlonjak hampir sepuluh kaki ke udara, matanya melebar. Nampaknya dia benar-benar tidak menyadari bahwa sejak tadi dia dibuntuti. “A-apa yang kamu lakukan disini Pak Joan?”