Silvana sang Penggoda

1747 Words
“Apa Pak Leon ingin aku ambilkan minuman?” “Huh? Ah… tidak perlu, tapi jika kau mau silahkan saja. Meski itu tidak har—” Leon langsung diam tatkala menyadari kehadiran mahasiswi cantik disisinya telah mengarah menuju mesin minuman di kafetaria kampus. Saat itu mereka sedang melakukan bimbingan diluar kelas, Leon dan Jarvis memandang ke arah direksi yang sama pada Silvana dengan kedua alis yang terangkat. “Tch…” Orang pertama yang mengeluarkan reaksi adalah Jarvis, hidung pemuda itu mengkerut sekaligus menggelengkan kepala saat mereka melihat Silvana yang menunduk disana. Bokongnya naik sedikit ketika dia memencet tombol pada mesin penjual minuman otomatis. Itu jelas-jelas adalah bentuk provokasi menarik para jantan. Silvana memang tahu bagaimana cara menggunakan tubuhnya untuk menarik perhatian. Pak Leon kontan mengalihkan pandangannya dari itu meskipun sebagai seorang pria normal yang sehat itu adalah sebuah pemandangan terbaik yang bisa dia saksikan tanpa perlu berupaya mengeluarkan godaan manis lebih dulu. Tapi sepertinya tidak bisa, langit lebih bagus dipandangi daripada b****g mahasiswi cantik dibawah bimbingannya. Dia merasa aneh dengan sikap Silvana padanya sejak beberapa semester lalu, dan hari ini bahkan lebih aneh lagi. Leon yakin bahwa masalahnya ada pada pemuda yang duduk disebelahnya, Jarvis adalah seorang mahasiswa yang punya banyak kelebihan di kampus. Dia masih muda, otaknya cemerlang, penampilannya juga lumayan. Jadi Leon bisa paham mengapa Silvana bersikap seperti itu bahkan hari ini. Hanya saja yang membuat pria itu bingung adalah kenapa dia perlu melemparkan godaan itu disaat yang sama saat dia masih ada disini bersama dengan Jarvis? Dia sedikit tahu bagaimana perangai gadis itu selama di kampus. Dia gadis yang selalu blak-blakan dan to the point terhadap semua hal untuk kepentingan pribadinya. Apakah karena Jarvis dan dia sudah berteman lama sehingga gadis itu jadi takut mengubah keadaan diantara mereka? ya, itu adalah sebuah skema yang paling membosankan dalam seantero kisah cinta. Saat Silvana menggoyangkan pinggulnya tatkala berjalan, saat itu pula Leon mengalihkan pandangannya kearah Jarvis. “Jarvis, kau tahu ada apa dengan Silvana?” Jarvis hanya menggerutu, kemudian memasukan tangan kedalam saku celananya. “Silvana ya Silvana, dia hanya perempuan yang memusingkan. Tidak usah diperhatikan.” Leon menggelengkan kepala mendapati jawaban dari mahasiswa favoritnya itu. Dia kemudian diam-diam memandang kearah Silvana lagi, gadis itu mengenakan rok ketat yang terbilang mini. Memperlihatkan lebih banyak paha mulusnya terekspos keluar dan dapat dengan mudah disaksikan oleh para p****************g diseantero kampus. Apa dia tidak takut? “Tapi dia sudah berperilaku aneh seperti itu sejak beberapa saat lalu,” Leon menggumam. Dia melirik kearah Jarvis lagi. “Tidakkah kau pikir harusnya kau melakukan sesuatu untuk itu?” Alis Jarvis kontan berkerut mendapati tanya dari sang dosen. Dia melirik kearah pria itu agak lama dengan pandangan heran. “Apa?” “Well, aku tahu kalau kalian berdua itu sudah berteman sangat lama. Dari yang kudengar kalian adalah teman masa kecil kan? tapi yah… kau tahu terkadang persahabatan itu hanyalah sebuah batu pijakan untuk memulai sebuah hubungan—” “Pak Leon, dia tidak melakukan pertunjukan bodoh itu untuk menarik perhatianku,” potong Jarvis cepat. Dia mendecakan lidahnya lagi. “Aku benci mengatakan ini, tapi meskipun kau lebih tua dariku dan lebih memiliki pengalaman. Bagaimana bisa kau menutup mata dan tidak peka terhadap hal seremeh ini?” Kini Leon benar-benar dibuat bingung, ada apa dengan para pemuda dan pemudi di generasi ini? mereka seperti memiliki banyak pengetahuan yang tidak terbendung. Dan itu membuat Leon sedikit penasaran terhadap sesuatu yang tidak dia ketahui diantara dua muridnya ini. “Dimana temanmu yang satu lagi?” Leon lebih memilih untuk mengganti topik. Dia akan jadi lebih bingung bila terus membahas permasalahan yang bahkan dia sendiri tidak bisa pahami. “Dia tidak datang, dia bilang dia sedang tidak enak badan,” jawab suara feminim dari Silvana yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelahnya. Gadis itu menaruh tiga minuman kaleng diatas meja dan mendudukan dirinya disisi Leon sambil melingkarkan lengannya dengan santai di lengan Leon sambil tersenyum kecil ke arahnya. Melihat bagaimana tingkah Silvana didepan mata Jarvis sekarang pemuda itu hanya sanggup menggelengkan kepalanya. Terkadang, dia benar-benar tidak pernah bisa dibuat mengerti dengan tingkah laku sahabat masa kecilnya itu sama sekali. Bahkan tingkahnya yang jelas-jelas dibuat untuk menarik perhatian sang dosen malah mendapatkan pengabaian. Pak Leon benar-benar tidak peka. Sebenarnya Silvana yang suka pada Pak Leon itu bukan sebuah kabar baru bagi si Jarvis. Gadis itu sudah memberitahunya sejak dia memulai masa kuliahnya di kampus ini. Dia bilang dengan jelas bahwa dia tertarik terhadap seorang dosen muda yang tampan dan kharismatik. Jarvis sangat tahu bagaimana perangai Silvana yang akan berusaha sampai dia mendapatkan mangsanya, dan sekarang entah sudah berapa lama gadis itu belum bicara perkembangannya. Sepertinya dia masih berusaha mendapatkan Pak Leon sekuat tenaganya. Lihat, sekarang saja Silvana menatap Pak Leon dengan tatapan penuh kekaguman berlebih seolah siap untuk menyantap dan disantap. Meskipun pria dewasa itu tidak menyadarinya dan sejak tadi Silvana terus saja berusaha membuat pergerakan sendiri agar semakin terlihat jelas. Jarvis pikir itu adalah sebuah upaya yang sedikit membuatnya jijik, tapi dia tidak benar-benar peduli dan tidak ingin terlalu ikut campur dalam masalah oranglain. Dia sendiri ragu apakah dosennya ini akan merespon sinyal dari sahabat karibnya, meskipun dia menangkap sinyal itu dengan seluruh akalnya. Terlebih Silvana punya saingan berat, sebut saja Ms.Kelly. Beliau adalah seorang yang kerap digosipkan kerap keluar masuk apartment Pak Leon meskipun bukan dia saja yang terlibat dengan pria itu. Jarvis menyeringai, Dosennya benar-benar b******n jika menyangkut soal ini. “Silvana!” Panggilan yang mengarah pada si gadis berambut panjang membuat tiga orang yang sedang duduk di kafetaria langsung mengarah pada satu gadis lain yang mendekat pada mereka. Dia Jiyya, teman Silvana. “Hei, ada apa? sudah selesai dengan kelasmu?” Jiyya tidak menjawab, sebaliknya mata gadis itu malah sibuk memandang tajam tepat kearah lengan Silvana yang masih bergelayut manja di lengan Pak Leon. ‘Ya Tuhan, temanku benar-benar tercipta menjadi seorang jalang’ batin Jiyya. Si gadis berambut pendek lantas mengalihkan pandangannya kearah Pak Leon. “Halo Jiyya,” sapa sang dosen membuat Jiyya sekadar menganggukan kepala sambil memberinya sebuah senyuman manis. Silvana memandang sahabatnya dengan raut muka curiga, dia tahu bahwa sesuatu telah terjadi dan dia tidak akan mengabaikan sedikitpun signal dari si perawan cantik yang sepertinya sedang membutuhkan dirinya. “Jiyya, kau ingin membicarakan sesuatu yang pribadi denganku?” Seperti biasanya Silvana dapat dengan cepat mengambil alih pergerakan. Dia cukup peka terhadap situasinya membuat Jiyya terlihat sedikit lebih tertolong sekarang. “Ya, tapi sepertinya sekarang kau sedang sibuk. Kurasa mungkin lain kali.” “Hei, ayolah aku tidak pernah sibuk jika itu menyangkut dirimu.” Silvana menjawab dengan santai sembari melemparkan senyum tanpa dosa kearah sahabatnya sebelum akhirnya pandangan mata itu beralih pada Jarvis dan juga Pak Leon yang ada disana. “Kurasa aku harus pergi sekarang. Jangan terlalu merindukan aku ya.” “Akan kami coba, tapi tidak janji ya.” Pak Leon menjawab memberikan lambaian kearah Silvana sambil tersenyum lebar. Silvana tersipu, namun Jarvis memutar matanya dengan bosan. Dia sekali lagi melirik kearah dosennya yang masih menatap Silvana tanpa rasa apa-apa. Apakah laki-laki tua dihadapannya ini benar-benar tidak sadar? “Ck…” Jarvis sendiri hanya menjawab dengan sebuah decakan sebelum kedua gadis itu benar-benar pergi dari sana. Dua gadis itu mulai berjalan pergi dari kafetaria, tapi sebelum itu Silvana benar-benar memastikan untuk menggoyangkan pinggulnya saat berjalan. Jiyya tahu untuk siapa tingkah itu ditujukan. Alisnya terangkat naik. “Ada yang tidak beres dengan otakmu. Bisa-bisanya kau berjalan dengan cara begitu didepan Pak Leon. Tidak malu?” Jiyya terang-terangan berkomentar dengan suara keras ketika mereka sudah berjalan agak jauh dari kedua pria yang beberapa saat lalu bersama Silvana. “Setidaknya aku punya nyali dan seseorang yang bisa aku perlihatkan goyangan seksiku,” timpal Silvana nampak puas. “Hei, apa dia masih melihat kearahku?” Jiyya memutar matanya, tapi meski begitu gadis itu tetap memberikan jawaban pasti atas pertanyaan sahabatnya yang bisa dibilang tidak bermutu. Dia melirik kearah Pak Leon lewat bahunya. “Aku tidak tahu.” Silvana menggerutu. “Sial, kenapa sih dia itu? apa betul dia benar-benar batu dan tidak menyadari usahaku?” Jiyya menghela napas sebelum memutuskan memberikan jawaban pada tanya yang lebih seperti retoris itu. “Aku malah berharap Pak Joan setipe dengan dia. Aku harap dia tidak peka.” Mendengar pengakuan tak sengaja dari Jiyya, kontan Silvana terkikik geli sambil menepuk pelan bahu sahabatnya. “Kurasa perkataanku kemarin telah mempengaruhimu kan, Jiyya?” Jiyya menggeram. “Ya, dan aku benci kau karena itu.” “Tidak mungkin.” Silvana mengibaskan rambutnya bangga tatkala mereka berdua berjalan menuju kearah taman kampus. Matahari sekarang sudah mulai terbenam dan semua tempat sudah disinari oleh cahaya oranye. Jalanan disekitar kampus sedikit menyepi, sekarang benar-benar hanya ada suara dari langkah mereka berdua saja. “Sekarang, beritahu aku semuanya. Apa yang terjadi semalam? Kau jadi bersama dia kan?” “Tidak hanya dengan dia,” Jiyya berbisik. “Dengan Dean juga. Pak Joan hanya datang karena undangan dari Dean saja.” Silvana memutar bola matanya. Dia bosan. “Terserah, jadi bagaimana? Apa yang terjadi?” “Dia… dia mengikutiku kerumah.” aku Jiyya. Silvana membulatkan kedua matanya lebar-lebar. Dia memekik senang sambil menggoyangkan tubuh sahabatnya. “Really? Apa dia masuk kedalam? Apa pada akhirnya kau mengikuti saranku dan menghabiskan malam panas bersamanya?” tanya Silvana dengan sangat antusias. “Tidak!” Tapi Jiyya cepat memecahkan seluruh kegembiraan itu dengan teriakannya. “Tentu saja tidak, kau pikir aku segila dirimu? Dia hanya datang karena bilang khawatir akan kondisiku. Tapi sekarang, gara-gara kau apapun yang dia katakan terdengar seperti sesuatu yang m***m didalam otakku. Dan gara-gara kau aku… ya… itu…” Silvana tertawa lagi tatkala suara gadis itu makin mengecil dengan mukanya yang memerah. Dia tahu apa yang terjadi tanpa harus gadis itu menjelaskan padanya secara rinci. Itu normal. Pak Joan adalah seorang pria dewasa yang tampan dan rupawan. Normal bagi seorang gadis itu memikirkan dia dalam sebuah imajinasi yang panas. “Ya, aku turut senang kalau akhirnya kau mau mendengarkan nasehatku. Itu normal bagimu membayangkan dia dalam fantasi liarmu, sambil menyentuh dirimu sendiri. Itu bukan sebuah dosa. Itu kebutuhan biologis kurasa.” “Kau tidak harus membuatnya terdengar lebih jelas.” “Oh mau kukatakan yang lebih jelas?” “Tidak usah dasar gila!” “Jiyya bermasturbasi sambil membayangkan Pak Joan~” “Silvana! Kau benar-benar b******k!” Tawa riuh terdengar dari mulut Silvana. Ya, hal yang paling dia suka selain dari mencoba untuk menggoyahkan perasaan sang dosen muda. Dia juga suka menggoda sahabatnya yang masih perawan dengan hal-hal yang membuatnya bisa tersipu seharian. Mengkontaminasi Jiyya adalah kegiatan favoritnya. Sungguh…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD