Imaji Liar

1127 Words
Leon mengerang tatkala tubuhnya dia rebahkan di atas ranjang begitu dia masuk kedalam apartmentnya. Kunci motor yang pria itu gunakan telah dia lempar secara sembarangan ke sudut meja yang tak jauh dari ranjangnya. Sungguh, hari ini tubuhnya terasa sakit seluruhnya. Sebenarnya jika ditilik tidak ada sebab khusus yang membuatnya harus merasa letih hari ini, kecuali fakta bahwa dia kerap jatuh dari atas ranjang dan berujung tidur diatas lantai hingga esok hari. Karena itulah mungkin tubuhnya jadi sakit semua. “Ugh…” keluhnya lagi sembari menggosok bagian belakang lehernya, tadinya dia memang ingin tidur tapi sepertinya dahaga yang dia rasakan meminta untuk lebih diperhatikan. Akhirnya pria itu bangkit lagi dan beranjak menuju kearah dapur. Leon mengambil gelas dari rak terdekat dan menuangkan air sebelum menghabiskannya hanya dalam satu tegukan saja. Akibatnya air tersebut sampai menetes ke dagu dan membasahi kemeja yang dia kenakan. Dengan satu tangan laki-laki itu memilih untuk melepaskan kemejanya dengan cepat, melemparkannya begitu saja ke lantai dan meletakan kembali gelas bekas minumnya di counter. Setelahnya pria itu memilih untuk kembali ke tempat tidurnya dengan posisi tidak mengenakan atasan apapun. Membiarkan tubuhnya yang berorot dan indah itu terekspos bebas. Meski terlihat keras, tapi sebenarnya otot kekarnya cukup lembut untuk disentuh. Itu pun menurut pengakuan dari beberapa kawan tidurnya. Dia melirik kearah jam dinding, masih ada sekitar empat jam lagi sebelum janji temu bersama dengan kawan seperjuangannya untuk minum di bar. Karena itu Leon sejujurnya agak bosan sekarang. Tiba diruang tidur pria itu kemudian melompat dan menyandarkan kepalanya ke dinding, membiarkan kedua kelopak matanya terpejam sementara tangannya merangsek masuk kedalam celana yang dia kenakan menyentuh si kebanggaan yang berukuran lumayan besar dan mencoba untuk membayangkan sesuatu yang seksi. Leon mulai membayangkan Kelly. Seorang pegawai tata usaha di kampus, dia tentu saja masih lajang dan seksi. Sejujurnya hubungan mereka sudah cukup dekat. Kelly juga terlihat menginginkan hal yang lebih meski Leon tidak tahu apa yang benar-benar wanita itu inginkan darinya. Dia sudah pernah mengajak wanita itu menikah, tapi anehnya dia malah menolak dengan alasan akan sulit bagi mereka untuk bersama mengingat hubungan sebagai rekan kerja yang terjalin mulanya. Tidak professional bila mereka memiliki hubungan seperti itu di tempat kerja yang sama, katanya. Meski begitu anehnya hal itu tidak menghentikan Kelly untuk mampir ke apartmentnya sekadar menghangatkan ranjang dan memberikan pria itu pelayanan ekstra sebagai pacar. Leon membayangkan kembali saat dimana mereka bercinta terakhir kali. Kelly menjadi sangat liar saat sudah menunggu Leon pulang ke apartmentnya. Wanita itu bahkan berlulut dengan tanpa menggunakan sehelai benang pun. Menyambutnya dengan pemandangan erotis paling gila yang tidak bisa Leon bayangkan dari sosok Kelly yang dia pikir kalem. Terlebih kilatan nakal dan wajahnya yang memerah adalah kombinasi yang kontan membuat Leon setengah gila karena nafsu. Pria itu mengambil sedikit lotion dari laci sebelah tempat tidurnya, menggunakan itu sebagai pelicin dari tindakan amoralnya. Bayangan seksi tadi adalah umpan yang dia gunakan untuk memuluskan jalannya perbuatan yang sedang dia lakukan. Hanya butuh waktu sedikit saja, dan pria itu telah tenggelam dalam fantasi buatannya. Sampai kemudian dia mendengar tawa pelan di dalam kepalanya. Leon tidak cukup bodoh untuk sadar siapa pemilik suara itu. Itu adalah tawa Silvana. Leon mengerutkan keningnya, ketidaksadarannya mencoba untuk memberontak, bayangan Kelly mulai berganti menjadi Silvana. “f**k!” Leon menggeramkan napasnya yang berat pada bayangan yang jauh dikepalanya. Silvana yang berlutut, dengan matanya yang besar tanpa dosa menatap lurus kepada dirinya. Genggaman tangannya pada miliknya makin menguat, dia bahkan menggosoknya lebih cepat sebelum berhenti sebentar. Apa itu tadi? Bukankah seharusnya dia tidak… Tapi pikirannya benar-benar telah kosong saat Silvana mulai bergerak dalam fantasinya. Menggunakan oral untuk memanjakan, dengan sesekali meneriakan nama Leon, mata gadis itu benar-benar dipenuhi oleh kabut birahi. Sungguh, Leon tidak berdaya dengan bayangan super seksi itu. Dia benar-benar kehilangan kendali atas segalanya dan menggunakan tangannya untuk bergerak lebih cepat lagi. Leon menggeram pelan. “Oh … fuck.” Kecepatannya kian meningkat saat dia membayangkan mahasiswi cantiknya itu berjuang cukup keras untuk memasukan semuanya secara utuh kedalam mulut. Perjuangan yang benar-benar menggemaskan sekaligus menggairahkan. Ini benar-benar terlalu sulit untuk dapat diabaikan. Tapi kenikmatan yang dia dapatkan justru semakin tidak tertahankan, menyebar ke seluruh tubuhnya dengan sangat mudah. Leon mengerang keras, semburan miliknya mengotori perutnya sendiri. Pria itu bernapas berat, melepaskan genggamannya dan jatuh terkulai di tempat tidurnya sendiri. Napasnya terasa panas, dia berkeringat gila. Apa yang baru saja dia perbuat? Membayangkan si mahasiswi cantik bermain gila dengannya? Oke, dia mengakui kesalahannya. Tapi ketika dia teringat dengan apa yang dikatakan oleh Jarvis belum lama ini, diam-diam pria itu jadi menyimpan sedikit ‘ketertarikan’ pada Silvana. Oh ayolah siapa yang tidak tertarik dengannya? Gadis itu punya pesona yang sulit untuk diabaikan, penampilannya menarik dan semua pria punya satu pendapat yang sama tentang dia. Silvana itu unggul. Leon juga begitu, tapi sebagai seorang tenaga pendidik agaknya dia tidak bisa melewati batas meskipun sekarang dia baru saja melakukannya. Penampilan seksi Silvana dalam imajinasinya beberapa saat yang lalu masih tertinggal. Dia tidak mengira bahwa hormonnya akan mengajaknya untuk berbuat tidak senonoh seperti ini. Pria itu mencoba untuk menghilangkan semua imaji b******k yang mampir diotaknya dengan cepat. Dia tidak boleh memikirkan Silvana dalam ranah konteks seksual. Dia harus tetap menjaga batas hubungan mereka sebagai seorang dosen dan juga mahasiswa. “Oh ya ampun …” Leon memandang tempat tidurnya yang penuh dengan cairan hasil produksinya. Ini mungkin akan memakan waktu dan sedikit sulit untuk dibersihkan. “Leon kau benar-benar pria b******k,” gumam pria itu sembari menarik seprainya dan membawa benda itu ke kamar mandi untuk dia cuci bersamaan pula dengan tubuh dan juga otaknya. *** Silvana terkikik pelan tatkala dia mendorong buruannya untuk masuk kedalam apartment pribadi pemuda itu. Silvana mengingat dia sebagai salah satu mahasiswa fakultas teknik, dia bahkan lupa namanya siapa. Performanya agak sedikit mirip dengan Pak Leon, hanya saja mungkin yang ini versi seusianya dan sedikit agak kaku. Meski begitu dia masih terbilang masuk dalam kategori pria menarik. Sejujurnya, kejadian ini terjadi pun karena kebutuhan biologisnya yang sedang tidak terbendung. Kalau pun Silvana tidak bertemu dengannya, dia bisa mencari pria asing lain untuk dia jadikan mangsa. Tapi buat si pemuda dia justru seakan mendapat durian runtuh. Impiannya menjadi kenyataan ketika dia menyadari bahwa Silvana mau memasuki apartmentnya dengan maksud menuntaskan hasrat semata. Itu lebih membuatnya tertampar akan realita ketika Silvana sedikit menggodanya dengan pose menggairahkan didepan sana. “Oh f**k!” komentar si pemuda. Dia sejujurnya tidak pernah punya kebiasaan meneriakan apa saja yang ada dikepalanya seperti ini. Mungkin malam ini akan menjadi cikal bakal dari dirinya yang keluar dari karakter untuk sesaat saja. Silvana hanya tersenyum menanggapi, sejujurnya gadis itu agak terganggu dengan komentar yang dilayangkan pemuda itu terhadapnya. Padahal dia hanya menyender ke sofa, dan bertumpu pada sikunya. “Ayo mulai pekerjaanmu,” perintah Silvana sembari menggerakan jemarinya menunjuk pada satu titik yang pria manapun tidak akan bisa menolaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD