Garut 2002
Pernikahan yang digelar sederhana dan tertutup itu membuat Alvira dan Dirga teramat bahagia. Tidak menyangka di usianya yang masih muda mereka harus terikat dengan tali perkawinan. Alvira terpaksa putus sekolah, Ayahnya janji akan memperjuangkan Alvira bagaimana pun caranya. Agar remaja itu memiliki masa depan cerah sebagai perempuan terpelajar dan memiliki Ijazah yang patut dibanggakan.
Tidak ada bulan madu. Bagi keduanya berduaan di kamar tanpa takut ketahuan merupakan kebahagiaan yang tidak dapat dia ungkapkan.
“Kapan ke Bandung lagi, Ga?” tanya Alvira seraya menjadikan paha Dirga sebagai bantal.
Dirga menghentikan kegiatannya bermain game. Dia lantas mengelus rambut istrinya.
“Dua hari lagi aku ke Bandung lagi. Baru masuk kuliah udah banyak bolos,” jawabnya.
“Jadi kamu ninggalin aku, Ga?”
Mendengar pertanyaan Alvira membuat Dirga merasa sedih. Dia juga ingin berada di samping Alvira selamanya. Sayangnya tidak bisa, Dirga harus membuktikan pada mertuanya jika dia adalah laki-laki yang layak bersanding dengan Alvira.
“Aku harus kuliah, aku harus cepat lulus lalu kerja. Kalau gak gitu bagaimana bisa aku menghidupi putri yang cantik ini, hmm?”
“Kan ada Papi, papi duitnya banyak.” Dirga tersenyum getir, Alvira masih belum dewasa. Dia tipikal anak rumahan yang bergantung sekali pada kedua orang tuanya. Di situ Dirga semakin bertekad untuk menjadi pria yang berguna. Agar bisa menghidupi sang istri yang masih sangat manja itu.
“Dengar sayang,” ucap Dirga. “Aku harus kuliah, aku harus menjadi pria yang layak mendampingi kamu. Percayalah aku di Bandung itu belajar, janji gak akan bikin kamu sedih.”
Alvira mencebik, dia menautkan jemarinya dengan jemari Dirga.
“Kalau aku kangen gimana?”
“Kita tetap bisa sms sama telepon.”
Dua hari kemudian Dirga benar-benar berangkat ke Bandung. Alvira melepasnya dengan deraian air mata.
“Bertahanlah demi masa depan kita, demi masa depan anak kita. Aku janji akan pulang setiap akhir pekan.” Dirga berbisik tepat di telinga Alvira, ketika istrinya itu menghambur memeluknya.
Hari-hari tanpa sekolah dan tanpa Dirga membuat Alvira merasa suntuk, tetapi kehamilannya yang nyaris tanpa hambatan membuat ruang geraknya tidak terbatas. Alvira masih bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Nongkrong di kafe dan jalan-jalan di pusat perbelanjaan.
Michelle dan sakti tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat Alvira tetap berada di rumah. Kehamilannya jika diketahui banyak orang akan menyebabkan merosotnya reputasi.
“Mami sama Papi selalu lebih peduli pada perusahaan dibanding Vira. Mami harusnya ngerti Vira di rumah itu suntuk banget, tenang, Mi, Hoddienya cukup besar untuk ngumpetin perut Vira.” Alvira berdalih ketika kedua orang tuanya menegur.
Sejenak Michelle dan Sakti hanya bertatapan. Wanita keturunan Eropa itu menyentuh lengan sang suami agar selalu sabar dan tidak menghadapi Alvira. Michelle tahu betul, menjadi wanita hamil itu moodnya naik turun. Dia menjaga perasaan Alvira.
“Bukan begitu, Mami Cuma takut kamu jadi bahan ejekan orang-orang. Mami sungguh gak bermaksud jelek. Sekarang kamu istirahat aja, Bibi udah masakin masakan kesukaanmu.”
Mendengar makanan kesukaannya disebut, mata Alvira berbinar lalu dia bergegas menuju ruang makan. Sakti memejamkan mata, tangannya terkepal karena berusaha menahan amarah. Lelaki itu bertekad harus melaksanakan rencananya sesegera mungkin.
Akhir pekan yang dinanti Alvira tiba juga. Membawa setumpuk rindu Dirga datang menemui istrinya. Alvira begitu bersemangat, ketika pertama kali melihat suaminya datang Alvira lantas menenggelamkan diri dalam pelukan penuh kerinduan.
Inilah rumah, Dirga membatin. Membayangkan dengan penuh kebahagiaan dirinya pulang disambut istri dan anak-anaknya. Di rumahnya sendiri, rumah yang akan dia bangun untuk Alvira, bukan di sini. Di rumah mertua yang penuh dengan sindiran pedas. Jika bukan karena Alvira, Dirga malas pulang, Dirga malas bertemu dengan Sakti Prasetya yang terlihat selalu ingin mengulitinya hidup-hidup.
“Kamu pulang bawa apa?” Benar, kan? Baru saja Dirga membatin, kini lelaki itu harus mendengar pahitnya sindiran sang Mertua.
“Pi,” sapa Dirga, dia menyodorkan tangan kanannya hendak mencium tangan Sakti. Namun, tidak digubris. Sakti malah pergi dari sana dan duduk di meja makan, membuat Dirga yang sudah sangat lapar mengurungkan niat untuk makan.
“Kamu masih belum bisa memberi nafkah pada anak saya, setidaknya bawalah sesuatu, memangnya tidak malu pulang dengan tangan kosong?”
Lagi-lagi perkataan Sakti melukai harga diri Dirga. Lelaki itu bukan tidak memberi nafkah, dia mati-matian berhemat agar uang sakunya bisa digunakan untuk menyenangkan Alvira. Meski tidak seberapa, meski tidak sebanyak uang jajan Alvira dari Sakti. Setidaknya Dirga memiliki keinginan untuk membahagiakan istrinya bagaimana pun caranya.
“Saya akan berusaha nyenengin Vira, Pi.” Dirga berucap pelan, disambut kecupan hangat dari Alvira dan cibiran Sakti yang mencabik-cabik hatinya.
Dirga dan Alvira melangkah ke kamar. Sakti dengan sejuta rencananya hanya tersenyum sinis. Ayah mana yang akan membiarkan anak kesayangannya kehilangan masa depan. Susunan rencana dan perjanjian dengan keluarga Dirga sudah disepakati. Tinggal menunggu waktu saja sampai bayi yang Alvira kandung terlahir ke dunia.
***
“Nek, Aa pulang,” ujar Dirga. Sore hari setelah puas melepas rindu bersama Alvira, Dirga menemui nenek dan kakeknya.
“Mana istrimu?” tanya Kakek.
“Tadi mau ikut, tapi papi melarang,” keluh Dirga. Dia lantas merebahkan badannya di sofa antik yang memiliki ukiran pada handle serta bagian atas dan bawah.
Secangkir teh hangat mendarat tepat di atas meja. Dirga melirik sekilas lalu dia bangkit ketika melihat nenek duduk di hadapannya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” Wanita separuh usia itu bertanya. Melihat murungnya cucu yang dia rawat sejak kecil membuatnya mengerti kapan Dirga lelah, kapan Dirga sedih, dia juga tahu saat ini Dirga tengah diliputi bingung.
“Dirga harus jadi orang sukses, Nek. Dirga pengen bahagiain Alvira.” Remaja itu bertekad. Melihat cibiran dari mertuanya membuat dia berpikir keras untuk menjadikan dirinya layak di hadapan kedua orang tua Alvira yang selalu meremehkan dirinya.
Memang saat ini Dirga belum apa-apa. Dirga belum mampu memberikan apa yang Alvira inginkan karena dia belum punya pekerjaan. Jangankan untuk memberi nafkah pada Alvira, kebutuhannya sendiri pun masih harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya.
Nenek menatap Dirga dengan perasaan kasihan, dia mengelus kepala sang cucu dan memberikan banyak petuah. Cucu kesayangannya terlihat sangat rapuh, tetapi Nenek melihat kesungguhan di mata Dirga. Nenek yakin, Dirga akan meraih apa yang dia inginkan.
“Tentu, Aa, tentu. Selain bisa membahagiakan istrimu, kamu juga bisa bahagiakan nenek. Tapi ingat, kebahagiaan setiap orang itu tidak selalu soal materi. Nenek bahagia jika kamu bahagia, nenek akan sedih jika kamu sedih.”
“Terima kasih karena selalu menyayangiku, Nek. Tolong jaga Alvira selama Aa di Bandung, Nek.”
“Pasti. Belajarlah dan raih cita-citamu.”
Dirga membenamkan diri dalam pelukan neneknya. Merasakan harum tubuhnya, aroma yang benar-benar selalu dia rindukan dan merasakan pulang yang sesungguhnya. Hangatnya pelukan nenek tidak pernah Dirga dapatkan dari Nania, ibu kandung Dirga.
***
Long distance relationship yang Dirga dan Alvira lakukan sudah berbulan-bulan lamanya. Sesekali Dirga memang pulang ke Garut demi menjenguk Alvira, tetapi belakangan kesibukan membuat dia menunda kepulangannya.
Dirga mencari kerja part time demi bisa mengumpulkan uang untuk Alvira. Dia ingin biaya persalinan nanti hasil dari jerih payahnya. Bukan uang Sakti atau pun uang orang tuanya.
Dirga ingin menjadi ayah yang bertanggung jawab. Dan suami yang bisa Alvira banggakan.
Sementara itu, Alvira dengan kehamilannya yang sudah besar merasa sangat stress karena kesulitan menghubungi Dirga. Perempuan itu merasa kalau Dirga membuangnya dan tidak memperhatikan dia.
Puluhan pesan singkat Alvira kirim. Namun, tidak berbalas. Telepon pun kadang tersambung, tetapi tidak diangkat. Selebihnya tidak aktif.
Tanpa Alvira ketahui, Dirga bekerja sangat keras usai kuliah, lelaki itu rela menjadi tukang parkir, tukang cuci piring bahkan sesekali Dirga bernyanyi di cafe.
Lelah sudah pasti. Namun, Dirga bertekad. Sebagai seoarang pria sejati, suami, juga seorang ayah yang ksatria.
Pagi-pagi usai sarapan yang Alvira lakukan adalah menunggu kedatangan Dirga. Ingin rasanya menyusul lelaki itu hingga ke tempat sekarang berada. Sayangnya Alvira terpenjara. Dia seolah berada di sangkar emas.
Terkurung penuh penderitaan.