Perempuan dengan rambut tergerai panjang itu tertelungkup di atas meja. Menyiapkan sendiri perayaan anniversary-nya membuat Gayatri sedikit lelah. Dia mengantuk hingga kepalanya jatuh terantuk menyulam mimpi sembari menunggu kekasih hati.
Si Mbok merasa prihatin melihat keadaan majikannya. Dia mendekat dan mengelus pundak Gayatri yang tidak tertutup kain. Gayatri sengaja mengenakan gaun dengan pundak hingga punggung yang terbuka. Gaun yang sudah dia pesan jauh-jauh hari untuk acara spesial ini.
“Den, pindah dulu ke kamar, atau di sofa. Nanti kalau Den Dirga datang si Mbok bangunkan,” ucapnya pelan, penuh kelembutan.
Gayatri mengedarkan pandang jam menunjukkan pukul 22.00 sudah larut, tetapi Dirga tak kunjung tiba. Si Mbok lalu memapah Gayatri hingga dia berpindah dari meja makan yang sudah dihias sedemikian rupa menuju sofa empuk yang menghadap televisi. Si Mbok merasa kasihan, dia menatap Gayatri dengan perasaan tidak karuan.
Si Mbok menjadi saksi ini kali pertama Gayatri menunggu selama ini. Ini juga pertama kalinya Dirga melupakan hari-hari istimewanya. Bahkan bunga mawar dengan buket terlalu mewah itu adalah bunga terakhir yang Gayatri terima. Si Mbok berharap Dirga hanya sibuk, sehingga dia sedikit lupa.
“Mbok, jangan dulu diberesin, siapa tahu Mas Dirga sebentar lagi datang.” Gayatri buru-buru protes saat melihat si Mbok hendak menyentuh hidangan makan malam yang sudah disiapkan dari beberapa jam yang lalu.
“Mau dipanaskan dulu, Den. Den Dirga kan selalu suka makanan hangat, Aden tiduran saja di situ, nanti kalau Den Dirga tiba, Mbok panggilkan.”
Wanita separuh usia itu dengan cekatan memanaskan makanan demi makanan. Gayatri menyaksikan itu seraya berkali-kali melirik jam dinding serta melihat keluar. Berharap Dirga tiba.
Untuk kedua kalinya lelaki itu menghilang tanpa kabar. Gayatri berusaha menghubungi nomor teleponnya, tetapi tidak tersambung.
“Mbok, apa Dirga baik-baik saja, ya, aku khawatir.” Suaranya tercekat, bahkan Gayatri tidak pernah berpikiran buruk tentang suaminya. Alih-alih mencurigai lelakinya Gayatri lebih mengkhawatirkan Dirga.
“Mbok coba bantu telepon Mamang, ya,” tukas si Mbok. Dengan cekatan si Mbok mematikan kompor dan tergopoh menuju kamar mengambil gawai yang dia simpan di sana.
Gayatri bangun dari duduknya, dia mengganti lilin-lilin yang tinggal setengah karena meleleh dengan yang baru. Ditatapnya cake cokelat kesukaan Dirga dengan tulisan “Menua Bersama” di atasnya.
“Den, Mamang ternyata di Rumah, tadi Den Dirga sempat pulang dulu ke rumah lalu pergi lagi, mungkin sekarang dalam perjalanan.”
“Dirga nyetir sendiri?”
“Kata Mamang, siang tadi Den Dirga keluar kantor, katanya ada meeting dadakan sama perwakilan pemasok. Namun, Aden nolak disopiri, beliau pergi sendiri dan Mamang baru bertemu lagi barusan sebelum Aden menuju ke sini.”
Gayatri tercenung. Pertanyaan-pertanyaan seakan berlomba minta penjelasan. Salah satunya adalah kata “barusan” yang diucapkan si Mbok. Gayatri bertanya-tanya sealot itu kah pertemuan dengan pemasok hingga menghabiskan waktu lama untuk sekadar pertemuan.
Dia menepis banyak prasangka. Yang harus dia khawatirkan saat ini adalah Dirga menyetir sendiri, ponselnya mati dan hari sudah larut.
***
Dealvira Firdausy Sakti.
Sesaat setelah Dirga mengantarnya hingga depan rumah perempuan itu tersenyum lebar. Malam demi malam setelah pertemuannya dengan Dirga selalu dihiasi oleh mimpi Indah.
Hatinya sempat sakit karena ternyata Dirga kini tak sendiri, tetapi luka itu memberinya kekuatan untuk kembali merebut Dirga dari perempuan bernama Gayatri. Alvira sempat-sempatnya browsing mencari sosok di balik suksesnya Dirgayasa.
Wanita yang usianya sama dengan Dirga itu patut Alvira perhitungkan. Meski dia berdalih hanyalah seorang Ibu rumah tangga, tetapi dia adalah lulusan terbaik di Australia.
Namun, Alvira percaya diri, dilihat dari parasnya Alvira jauh lebih segar, muda dan seksi. Bukankah lelaki selalu mengincar perempuan dari fisiknya terlebih dahulu? Rasa percaya dirinya diperkuat dengan adanya ikatan yang pernah terjalin di antara Dirga dan Alvira.
Alvira membuka pintu berdaun ganda, rumah besar itu terlalu hampa, ada empat orang yang tinggal di sana, sedangkan asisten rumah tangga berada di paviliun yang terpisah dari rumah utama.
“Baru pulang, Kak?” tanya Aimee, gadis yang tengah main game di ponselnya.
“Iya, Mami mana?” pertanyaan Alvira tidak digubris. Membuat dia kesal dan merebut ponselnya.
“Astaga, Kak, ganggu banget, sih. Ah elah nyebelin,” keluh Aimee.
“Main game melulu, kamu itu seharusnya belajar, persiapkan diri untuk masuk universitas,” nasihat Alvira.
“Bodo!” sentak Aimee. Dia berhasil merebut kembali ponselnya dari tangan Alvira. Lalu pergi dengan perasaan kesal.
“Dibilangin susah amat!” Untungnya Alvira sedang dalam mood yang bagus karena bertemu dengan Dirga. Jika tidak Alvira dan Aimee akan berselisih faham seperti biasanya.
Bicara soal Dirga, Alvira benci saat lelaki itu terburu-buru ingin segera pulang. Dari keterangan yang berhasil Alvira korek, hari ini adalah Anniversary mereka dan Alvira berhasil menahan Dirga dan membuat lelaki itu terlambat.
“Ah, Ga, aku akan membuatmu jatuh dan kembali bertekuk lutut di hadapanku. Dengan begitu aku bisa memilikimu seperti dulu,” bisik batin Alvira.
Perempuan itu melepas sepatunya, lalu merebahkan diri di tempat tidur seraya membayangkan paras Dirga yang rupawan. Dia merindukan lembut bibir Dirga saat memagut bibirnya, Dia merindukan saat Dirga terus-terusan menyebut namanya di peraduan.
Alvira tidak menyadari, apa yang dia rasakan kini bukanlah cinta, melainkan sebuah obsesi yang bisa menghancurkan biduk rumah tangga Dirga dan Gayatri. Alvira tidak peduli karena memang itu tujuannya.
***
Menembus gelapnya jalanan, Dirga merutuki diri sendiri yang bisa-bisanya melupakan janjinya dengan Gayatri. Lupa membeli mawar bahkan dia lupa seharusnya bertemu di vila, bukan di rumah.
Jalanan sudah mulai sepi, sialnya ponselnya kehabisan daya. Dirga menepi untuk mencari kabel data, tetapi benda yang biasanya ada itu kini tak ada. Satu-satunya harapan agar ponselnya kembali terisi daya kini musnah.
Dia menyetir seraya mengumpat pada diri sendiri. Nahasnya, di pertigaan jalan mobilnya mengalami masalah. Terpaksa lelaki itu menepi.
Berkali-kali dia bertanya dalam hati, mengapa hari ini semesta seakan mengutuknya.
Kiri kanan jalan merupakan kebun dan tidak ada satu pun rumah atau warung. Dirga menghela napas kasar. Terpaksa lelaki itu mencari dongkrak dan berusaha mengganti ban yang kempes.
Seumur-umur Dirga hanya berkutat dengan pekerjaan kantor. Dia bingung bagaimana cara menggunakan dongkrak.
Jas yang membalut tubuhnya kini sudah terlepas. Dasi pilihan Gayatri pun kini sudah dia lepaskan.
Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir larut malam.
Mau tidak mau Dirga mencari tumpangan menuju Vila yang jaraknya tinggal dua kilometer dari tempatnya dia berdiri saat ini.
***
Kicau burung dan udara dingin membangunkan Gayatri dari tidur panjangnya. Seingatnya, dia menunggu Dirga di sofa. Namun, kini pemandangan kamar utama vila itu yang pertama kali dia lihat ketika membuka mata.
Sinar matahari perlahan-lahan berusaha menerobos celah yang tidak tertutup tirai.
Gayatri terbangun, tetapi dia tidak bisa beranjak karena tangan kokoh Dirga melingkar pada pinggangnya.
Ah, lelaki ini, entah kapan dia pulang, entah bagaimana caranya Gayatri bisa berada di kamar ini bersama Dirga.
Suami yang dia cintai itu kini terlelap seperti bayi. Gayatri mengelus rahangnya, kasar, Dirga pasti lupa bercukur.
"Pagi," bisik Dirga dengan suara serak.
"Pagi, sayang," balas Gayatri.
"Maafkan aku, hari ini aku sepenuhnya milikmu, akan kutebus kesalahanku kemarin."
"Jam berapa kamu sampai?" tanya Gayatri.
"Sampe Vila jam dua pagi. Aku jalan kaki dari pertigaan sana," keluh Dirga. "Handphone kehabisan daya, ban bocor, gak ada ojek," lanjutnya.
"Untung gak becek ya, sayang," canda Gayatri.
Dirga tersenyum lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Gayatri. Membuat sang istri kegelian karenanya.
"Aku belum beli mawar," ucap Dirga. Tatapannya sendu memohon permintaan maaf dari sang kekasih.
"Gak apa-apa."
"Aku juga belum beli kado."
"Aku gak minta apa-apa, jangan pergi tanpa kabar seperti semalam. Sungguh aku cemas."
"Maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi. Jadi, perayaannya belum basi, kan? kita rayakan sekarang bagaimana?" Dirga merapatkan pelukan.
"Aku pesankan lagi tartnya ya?" tawar Gayatri.
"Harusnya kamu marah."
"Untuk?"
"Karena aku telat!"
"Kamu telat demi menyelamatkan perusahaan, bukan untuk hal lain, kecuali jika memang kamu telat karena hal itu. Bukan begitu?" tanya Gayatri.
Dirga agak gelagapan. Sejujurnya bukan hanya urusan pekerjaan, tetapi lelaki itu terpaksa mendengarkan curhatan Alvira.
"Aku mandi dulu," pamit Gayatri. Lalu dia pergi setelah wajahnya dihujani ciuman oleh sang kekasih.
Gayatri bukan tidak marah, bukan tidak kesal. Dia ingin seperti ibunya yang selalu menjadi ratu yang sabar di kerajaan rumah tangga mereka.
Usai mandi, Gayatri melihat Dirga tengah mengerjakan sesuatu di depan laptopnya. Dirga selalu seperti itu, di mana pun mereka berada pekerjaan selalu mengikutinya.
"Mandi dulu, sekalian aku siapkan kopi." Gayatri menyerahkan sehelai handuk.
"Baik, sayang." Dirga patuh. Dia menyeret langkah menuju kamar mandi.
Entah berapa banyak syukur yang Gayatri panjatkan pada Tuhan. Memiliki Dirga dalam hidupnya adalah Anugrah terindah.
Pemilik rambut hitam itu mengeringkan rambutnya saat ponsel Dirga yang tersambung dengan catu daya berdering. Gayatri membiarkan saja panggilan itu dan terus melanjutkan aktivitasnya.
Paling juga Dennisa atau perwakilan dari perusahaan.
Namun, menit berlalu gawai Dirga itu terus berdering.
Gayatri mendekati, Nama Dealvira tertulis di caller id.
Ketika raungan ponselnya berhenti satu pesan masuk tidak sengaja Gayatri buka. Isinya sungguh membuat Gayatri lemas tak berdaya. Kakinya nyaris seperti jelli. Kepalanya pusing, dan telaga menggenang di pelupuk matanya.