bab 13

1846 Words
Berlawanan arah 13 "Iya om, maaf ya om." "Ya sudah tidak apa-apa. Dia pergi sama temannya kan?" Adit mengangguk pelan. "Iya om." Walau harus berbohong, Adit lebih memilih melakukan itu, setelah cukup lama merutuki kebodohannya, di dalam perpustakaan tadi. Kini Adit sudah pergi dari tempat itu, tempat yang membuat hatinya benar-benar patah. Tepat setelah Anya datang ke arahnya bersama pria di sebelahnya yang masih merangkul pinggang Anya dengan mesra. Katakanlah seperti itu, karena saat Adit melihat senyum pria itu, jelas tergambar rasa bahagia yang terbit di sana. Walau apa yang dia lihat dari wajah Anya jelas berbeda dengan raut pria itu. Adit langsung menyerahkan ponsel Anya, dan setelahnya dia berlalu, sebelum benar-benar pergi dari perpustakaan, dia menyempatkan diri untuk menghubungi ayah Anya. "Ya sudah kalau begitu, nanti biar om yang hubungi Anya. Makasih sebelumnya." "Baik om." Adit menjatuhkan tangannya dan membiarkan lengan itu menjuntai ke bawah, tatapannya kosong dan dia tak tahu harus ke mana. Sepertinya dunia ini benar-benar hanya lelucon belaka yang mengharuskan seseorang menjadi badut untuk orang lain. Dan menjadikan mereka tertawa karena tingkah konyol dari badut itu sendiri. Tanpa peduli bagaimana perasaan sosok penghibur itu. Dengan tangan malas, dia mengambil helm yang ada di spion motor dan mengenakannya dengan cepat. Cuaca panas yang menjadi pengantar dirinya datang ke tempat ini tadi, berubah menjadi mendung hitam pekat yang terlihat akan menjatuhkan berkubik air ke daratan. Adit tidak peduli, sekalipun langit ikut menertawakan dirinya, dia tetap melakukan kendaraanya dan menerobos puluhan kendaraan yang memadati jalanan. Entah dia memacu kemana motor yang dia kendarai. Pikirannya kosong dan dia hanya ingin mencari tempat pelampiasan saja kali ini Dengan kecepatan yang di atas rata-rata, dia membelah jalanan siang itu. Lalu seolah mendukung semua perasaannya, hujan pun mulai turun, perlahan namun pasti, dari rintik berubah menjadi hujan lebat yang sekilas langsung membuat wajah Adit basah. Pandangannya buram. Selain dari kaca helm yang berembun, matanya yang berkaca pun menjadi penyebab hak itu terjadi. Hingga tak dia sadari, motornya sudah masuk ke daerah yang cukup jauh dari rumahnya, dia sampai di pusat kota dan melajukan kendaraannya entah kemana. Dia hanya mengikuti nalurinya membawa dirinya dan hingga sampai di kisaran desa kecil, dia masih melajukan motor itu dengan kecepatan tinggi. Lalu tanpa dia sadari, secara tiba-tiba ada seseorang yang menyebrang tanpa dia duga. Dengan kaget Adit berusaha untuk menghentikan laju kendaraannya, menaeik tuas rem di tangannya dengan kuat. Namun naas, jalanan yang lucin membuat dia tergelincir dan jatuh hingga terseret di atas aspal. Rasa perih mendera di sekujur lengan kanannya, lalu sebuah benturan di bagian kepala membuat kepalanya begitu pening, kesadarannya mulai samar. "Makanya! Naik motor jangan ugal-ugalan! Mampus kan lu!" Satu kalimat makian itu masih mampu dia dengar, sebelum keramaian datang ke arahnya dan kesadaran Adit hilang saat itu juga. ------- Rasa pening di kepalanya membuat dia perlahan membuka sepasang matanya, dia mengerjai pelan dan melihat sebuah langit-langit berwana putih bersih di atasnya. Apakah dia sudah mati? Karena terakhir yang dia ingat adalah dia jatuh dari motor karena kecerobohannya sendiri. "Iya nggak papa, dia tetangga gue, jadi biar dia di sini dulu sama gue. Nanti kalo dia sadar dan dia mau pulang, biar gue yang anterin." "Serius nggak papa?" Adit memaksa matanya untuk terbuka dengan sempurna, lalu berusaha untuk menggerakkan kepalanya saat mendengar percakapan dari dua orang di dekatnya. Dia berusaha menoleh, tapi sayangnya begitu sulit untuk melakukan hal itu. "Iye, nggak papa, nanti biar gue yang Anyer pulang, thanks udah bantu gue." "Ya udah kalo gue, gue tinggal balik dulu!" "Oke!" Adit melihat sebuah pintu putih saat dia berhasil menoleh ke arah suara itu, walau kepalanya masih berdenyut, lalu tangannya terasa mati rasa, dia tak tahu di mana dia sekarang, karena setelah dia jatuh tadi, yang dia ingat adalah makian kasar tadi. Rasanya begitu sakit ketika dia terus menoleh seperti ini, lalu Adit memilih untuk membenarkan posisinya dan melarikan tatapannya untuk menatap langit-langit. Itu lebih baik dari pada saat dia menoleh tadi. Rasanya sungguh menyakitkan. "Kamu udah bangun?" Dia melirik, menatap sosok yang baru saja masuk ke dalam kamar dari ekor matanya. Adit sedikit terkejut saat melihat siapa sosok perempuan itu. "M ... Mbak, Daisy?" Panggil Adit dengan suara parau dan sangat sulit untuk menggerakkan mulutnya. Daisy yang segera duduk di tepian ranjang itu tersenyum lembut, dia menatap Adit lamat-lamat. "Gimana? Ada yang sakit?" "Aku .... Aku di mana?" Tanya Adit memastikan. "Kamu ada di kosan temen mbak, tadi kamu kecelakaan di depan g**g, dan orang rame pada ngerubungi kamu, mbak kira ada korban tabrak lari, taunya pas mbak keluar dan liat siapa yang kecelakaan, malah kamu yang ada di sana." Adit terdiam, dia tak tahu harus berkata apa karena sudah di tolong oleh mbak Daisy. "Ma ... Makasih, mbak." Perempuan itu tersenyum lalu menggeleng pelan. "Nggak papa, lagian udah sewajarnya kan tetangga itu salin nolong?" Kata mbak Daisy lagi. "Kamu gimana?" Tanya Mbak Daisy. "Ada yang sakit nggak?" "Sedikit sih mbak, tangan aku juga sedikit mati rasa." Dia tersenyum lembut, melihatnya saja seperti melihat bidadari cantik yang dengan begitu sabar merawat dirinya di kala sakit. "Wajar lah, tangan kamu keseleo, terus kepala belakang kamu kebentuk batu, sempet keluar darah sih, tapi nggak bocor, terus kaki kamu jika keseleo." Pantas. Batin Adit pelan, dia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya, bahkan tubuhnya terasa sangat sakit dan ngilu yang terasa mendera. "Tadi udah mbak panggilan dokter yang rumahnya nggak jauh dari sini, terus dapet penanganan ringan tadi. Baiknya sih di bawa ke rumah sakit, tapi mbak nungguin kamu sadar dulu. Mau nelpon orang tua kamu malah ponsel kamu di kunci." Adit memejamkan matanya sejenak. Rasanya dia ingin tertidur untuk sebentar saja karena lelah dan rasa sakit di dadanya masih terasa membekas, bahkan sakit di sekujur tubuhnya bahkan tak terasa ketika dia mengingat kejadian saat itu. "Kamu mau tidur?" Tanya Mbak Daisy lagi. Adit mengangguk pelan, karena dia ingin beristirahat untuk sejenak. "Ya udah istirahat dulu, nanti kalo kamu udah mendingan kita bicarain masalah ini ya." Dengan perlakuan lembut, mbak Daisy menyelimuti tubuh Adit, dan setelahnya dia berjalan keluar dari ruangan itu membiarkan Adit berisitirahat untuk sebentar saja. ----- Adit terbangun saat tenggorokannya terasa kering. Dia mengerjai pelan lalu mencoba menggerakkan tangan dan tubuhnya, kali ini walau masih terasa sakit dan kaku Adit masih bisa bergerak. Perlahan dia beranjak dan duduk di sisi ranjang, melarikan tatapan ke sekitar untuk mencari air minum, tapi sayangnya di ruangan itu tidak ada sesuatu yang bisa mengobati tenggorokan yang kering. Dia berusaha untuk turun. Lalu saat kakinya menapak, dia bisa merasakan nyeri itu kembali datang. Hanya saja tenggorokan yang kering membuat dia tak bisa berdiam diri terlalu lama. Dengan tubuh tertatih dia berusaha untuk berjalan, memegang apapun yang ada di sekitarnya untuk menjadi sandaran dia berjalan. Mengabaikan rasa sakit itu, Adit berhasil keluar dari kamar, mengedarkan pandangannya, dia berhasil melihat dispenser yang ada di dekat tv. Beruntung, karena di sana sudah ada mug yang tergeletak, jadi Adit tidak perlu repot lagi mencari gelas untuk dirinya minum. Dengan tertatih dia berjalan mendekat, lalu setelah sampai dia mengambil air dari sana dan menenggaknya hingga habis. dia terdiam sejenak, kepala kembali pusing, tapi dia masih berusaha untuk tetap mempertahankan kesadarannya. Dia bersandar pada tembok, hingga samar-samar dalam keheningan ruangan itu dia mendengar suara yang aneh, seperti suara desahan kecil yang benar-benar mirip sesuatu yang pernah dia lihat sebelumnya. Dia mengedarkan pandangannya. Menilik ruangan yang terlihat rapih dan bersih di sana ruangan yang benar-benar terawat dengan sempurna. Lulu pandangannya tertuju pada sebuah pintu yang tak jauh dari tempat dirinya bersandar. Adit menajamkan pendengarannya, lalu dia sangat yakin jika suara itu berasal dari ruangan itu. Dengan sangat pelan dan tubuh tertatih, dia beranjak mendekat. Dia tak ingin gegabah, maka yang dia lakukan adalah merayap dan melongokkan sedikit saja kepalanya untuk melihat ke dalam ruangan itu. Lalu siapa sangka. Wanita yang terlihat kuat dengan segala hal dan pekerjaan yang dia lakukan selama ini, terlihat tengah b******u dengan seorang pria yang jelas bukan pasangan sahnya di dalam sana. Percumbuan ganas dengan gairah yang luar biasa. Bahkan suara desahan dan erangan itu keluar dari mulut sang wanita. Keduanya sudah tak memakai sehelai benangpun di tubuhnya. Dan Adit sama sekali tidak percaya. Apa yang dia lihat sebelum ini, kembali dia lihat untuk kedua kalinya, dan kali ini berbeda dengan orang yang tadi. Jika tadi dia merasa sesak di dadanya, kini dia merasa biasa saja, hanya rasa terkejut yang lebih mendominasi karena perbuatan wanita itu. Wanita yang selalu menjadi kembang desa dan kembang perbincangan hangat di kalangan ibu-ibu, ternyata seperti apa yang mereka bicarakan. Siapa sangka, di balik sosok cantik dan anggun itu tersimpan jiwa yang buas di dalamnya. Menghalalkan cara hanya untuk mendapatkan kemewahan untuk dirinya sendiri. Adit terdiam beberapa saat, hingga sepasang matanya bertemu dengan sepasang mata milik mbak Daisy tanpa sengaja, dia langsung menarik kepalanya karena takut jika dia akan ketahuan. Tubuhnya bersandar di sisi dinding dan masih mendengar suara kecupan serta suara lain yang menghampiri dirinya. Tak ingin mengganggu kegiatan orang lain, Adit memilih untuk kembali ke ruangannya, dia sadar, sudah di tolong saja dia sudah beruntung. Jadi biarkan saja wanita itu melakukan apa yang dia inginkan dan biarkan dia beristirahat sebelum dirinya pulang setelah pulih. Tapi yang jadi masalah, jika dia pulang dengan kondisi seperti ini, dia yakin emak pasti akan menyita Pino dari tangannya, dan memaksa dia untuk sekolah bersama sang bapak. Ngomong-ngomong s**l Pino, apa kabar dengan motor kesayangannya itu. Apakah kondisinya hancur seperti kondisinya saat ini, lalu di mana Pino saat ini? Ah... Sepertinya masih banyak yang harus dia urus setelah ini, setelah menyembuhkan tubuhnya, Adit juga harus memperbaiki Pino agar emak tidak tahu jika dirinya kecelakaan. Dia beranjak dengan tertatih, hingga akhirnya dia sampai di dalam kamar, dia memilih duduk di sisi ranjang. Matanya mengedar untuk mencari sesuatu, dan benar saja dia beruntung karena ponsel miliknya ada di atas nakas tak jauh dari dua duduk. Adit meraih ponsel itu lalu melihat keadaan ponsel yang terlihat sangat tak lazim. Layarnya pecah tapi beruntung saat dia coba nyalakan, ponsel itu masih bisa hidup dan berfungsi dengan baik, walau terasa aneh saat melihat pecahan uang cukup banyak di bagian layar. Dia membuka ponselnya dengan kode keamanan, laku menilik beberapa pesan, chat dan panggilan yang masuk ke ponselnya. Ada begitu banyak chat uang masuk dari ketika sahabatnya, dan dari grup yang mereka bentuk untuk berbagi informasi, tentu saja isi chat dari mereka tak ubahnya bertanya di mana posisinya dan kenapa dia tidak ada kabar Higgs detik ini. Lalu ketika dia tidak melihat chat dari sang emak, Adit bisa bernapas lega untuk sejenak. Hingga tak lama dia mendengar suara mobil yang berseru dan meninggalkan perkaranya rumah. Adri terdiam, lalu berpikir, apakah mereka sudah selesai? Lu pertanyaan terjawab sudah ketika pintu kamar terbuka dan memperlihatkan mbak Daisy yang bersandar di kusen pintu. Penampilannya sungguh aneh dan tak layak untuk di lihat, apalagi saat ini mbak Daisy hanya mengenakan piyama tipis yang memperlihatkan lekuk tubuh sempurna itu. Adit melarikan pandangannya, dia tak berharap banyak dan tak ingin terlalu bodoh untuk melihat apa yang seolah di suguhkan kepadanya. Dia masihlah anak remaja yang polos dan tidak ingin terlalu dalam ikut campur dalam urusan orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD