bab 8

1846 Words
Berlawanan arah 8 Senyum Adit tak sedikitpun hilang sejak dia pergi dari warung tadi, bahkan ketika dia mengantarkan wanita itu pulang dia masih menahan senyumnya. Kini jam masih menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, dan Adit sudah hampir sampai di depan rumah wanita itu, walau sedikit takut, tapi dia tidak bisa pergi begitu saja. Dia akan bertanggung jawab karena sudah membawa wanita itu pergi hingga hampir larut seperti sekarang. "Sampek sini aja." "Hah?" Angin malam yang begitu kencang malam itu membuat suara lembut dari wanita itu terbang terbawa angin, dan terdengar sama di telinga Adit, dia bahkan harus menoleh karena ucapan wanita itu. "Gimana?" Tanya Adit lagi. "Sampek sini aja, nggak enak udah larut." "Oh, nggak deh, aku udah bawa kakak keluar Sampek jam segini seenggaknya aku harus nganterin kakak sampek depan rumah." Ucap Adit yang langsung membelokkan Pino ke sebuah pekarangan luas tanpa pagar milik wanita itu. Walau ini kali pertama dia mengantarkan seorang wanita pulang, dia harus berusaha dan bersikap jantan untuk memasrahkan wanita ini pada orang tuanya. "Jangan ngeyel, ayah galak kalo sama cowok." Adit tersenyum kecil. Tidak peduli seberapa galak seorang ayah, karena dia yakin, seorang ayah tidak akan membiarkan anak gadisnya pergi larut dengan seorang pria yang tak bertanggung jawab yang hanya berani menurunkan anaknya di simpang jalan dan menyembunyikan dirinya dari wajah sang ayah. Adit buka tipikal cowok pengecut seperti itu. "Nggak papa, insyaallah bakal aku dengerin kalo ayah kakak marah." Setelahnya dia memarkan motornya di pekarangan rumah, menunggu wanita itu turun barulah dia ikut turun, melepas helm yang dia kenakan dan meletakkannya di spion motor sebelah kanan. Dia turun, lalu tak lama setelahnya dia mendengar suara pintu rumah terbuka. Adit dan wanita itu langsung menoleh, menatap pria paruh baya yang memasang tampang sedikit galak di sana. Dari sorot matanya jelas ada rasa khawatir yang terlihat. "Assalamualaikum, om." Ucap Adit cepat, dia segera berjalan mendekat, lalu bersikap selayaknya pria jantan yang dia dengar dari sang bapak. Membungkukkan tubuhnya sejenak lalu meraih tangan pria itu. Menyalami serta mencium tangannya seperti buang sering dia lakukan pada orang tuanya. "Dari mana kalian sampai larut begini?" Tanya ayah dari wanita itu. "Maaf om, saya sedikit lancang karena membawa anak om pergi tanpa seizin om tapi saya nggak berbuat aneh-aneh kok om, cuma ngajak anak gadis om pergi makan ke salah satu warung yang nggak jauh dari sini." Adit mendongakkan, mencoba menatap sepasang mata tajam dari pria itu. Tatapan yang membuat tubuh Adit sedikit berdebar dan sedikit merinding. Terlebih tatapan serat akan kemarahan itu jelas terlihat di sana. "Kenapa nggak izin dulu?" Pria itu tidak bertanya pada Adit, melainkan bertanya pada sang putri yang tertunduk takut di buatnya. "Sekali lagi maaf, om. tadi saya yang sedikit memaksa kak Anya buat ikut sama saya. Dan kebetulan juga ketemu di jalan pas kak Anya mau pulang." Ayah wanita yang memiliki nama panggilan Anya itu langsung menatap tajam ke arah Adit. Namun demikian, Adit sama sekali tak takut dengan tatapan itu, dia memberanikan diri untuk tetap menatap sepasang mata nyalang itu. Hingga akhirnya dia menghela napas pelan. "Seorang ayah yang baik tidak akan pernah rerla menyerahkan anak gadisnya pada pada pria yang salah, justru ketika kamu berani menghadapi sang ayah secara langsung maka kamu akan mendapatkan izin itu secara tidak langsung." Kalimat bapak terngiang di kepala Adit, dan ini dia membenarkan kalimat itu, walau sejujurnya kaki bagian kanan Adit harus bergetar karena rasa takut itu sendiri. Dia hanya takut jika dirinya akan taman hari ini, tapi ketika melihat tatapan pria di hadapannya yang perlahan melunak, membuat Adit bernapas lega. "Lain kali jalan diulangi lagi, kalau mau pergi sebaiknya izin dulu." "Maaf om, dan insyaallah, lain kali saya akan minta izin dari om sebelum pergi?" Pria itu mengangguk pelan dengan tatapan menilik tubuh Adit, sebelum dia memincingkan matanya pelan. "Kamu anak pak Hendro, kan?" Jujur Adit yakin hal ini akan terjadi, karena bagaimanapun juga, rumah mereka memang satu komplek dan cukup dekat untuk mengenal satu salam lain, dan bapak Adit adalah orang yang cukup aktif di komplek ini, jadi sangat wajar jika dia akan dengan mudah dikenali oleh ayah Anya. Adit tersenyum kaku. Lalu mengangguk pelan. "Iya om, bapak saya namanya hendro." "Ya sudah kalo gitu, lain kali kalo mau pergi jangan sembunyi-sembunyi dan langsung minta izin saja. Sekarang udah hampir larut, sebaiknya kamu pulang." "Iya, om." Adit mengangguk pelan, lalu teringat sesuatu yang tertinggal di motornya. "Oh iya, hampir lupa." Adit langsung berlalu dan mengambil bungkusan plastik berwarna hitam dari dasbor motornya, lalu berjalan kembali ke arah ayah Anya. "Ini tadi saya sempat beli makanan, walau nggak mewah tapi lumayan lah om," Kata Adit dengan senyum kecil di wajahnya. Pria paruh baya itu mengerutkan keningnya sebentar, lalu menerima bungkusan itu dari tangan Adit. "Ceritanya nyogok, nih?" Adit tersenyum malu, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Itu juga termasuk saran dari bapak, yang mengatakan jika ingin meluluhkan hati seorang ayah dari wanita yang dia sukai, maka coba bawakan oleh-oleh untuknya, walau tidak mewah, setidaknya itu bisa menjadi sebuah pelajaran jika dia masih mengingat keluarganya, bukan hanya mengingat anaknya saja. Pria paruh baya itu terkekeh pelan, lalu menerima sogokan dari Adit. "Ya udah saya terima, tapi lain kali jangan cuma bawa martabak aja, saya udah bosen selalu di bawakan martabak." "Anu...." Sejujurnya Adit sedikit malu karena bawaannya kali ini, tapi ya mau bagaimana lagi. "Sebenernya itu bukan martabak om tapi kue putu dari warung yang saya datangi sama kak Anya tadi, terus ada wedang jahe sama bandrek juga buat anget-anget malam gini." "Wah serius?" Pria itu membuka bungkusannya dengan senyum merekah. "Wedang jahe mah kesukaan om, terus kue putu juga kesukaan Tante kamu." Dia mendongak setelahnya, "makasih ya?" "Sama-sama om." Kata Adit sedikit canggung. "Kalo gitu saya permisi dulu ya om." "Ya udah kalo gitu, hati-hati di jalan, salam juga sama bapak kamu." "Iya, om. Assalamualaikum." "Waallaikumsalam!" Adit mendorong motornya, lalu ketika dia keluar dari pekarangan rumah itu, barulah Adit menghidupkan motornya dan berlalu dari sana. Tanpa dia sadari, apa yang dilakukan oleh Adit membuat wanita yang sedari tadi menunduk memperhatikan pemuda itu pergi. Baru kali ini dia melihat ada seseorang yang bisa di katakan masih terlalu muda, bahkan terpaut umur yang cukup lumayan banyak dengan dirinya, berani menghadapi secara langsung sang ayah yang sudah sering membuat orang memilih untuk segera pergi dari pada harus berbasa-basi dengan sang ayah. Dan siapa sangka, anak itu malah berani menunjukkan taringnya untuk sesuatu yang tak masuk akal. "Kenapa ngelamun?" Tanya sang ayah membuat Anya terkejut, lalu menundukkan wajahnya dan memilih berjalan masuk. Jujur dia malu, apalagi saat sang ayah menatapnya dengan tatapan konyol di sana. "Sejak kapan kamu kenal dia?" Anya tak menjawab, dia memilih melebarkan langkahnya dan meninggalkan sang ayah yang masih menatap kearahnya. "Kenapa sama anak gadismu?" Ayah Anya langsung menoleh ketika mendengar suara istri tercintanya, dia terkekeh pelan palu mengangkat sebuah bungkusan di tangannya. "Ada anak yang Dateng nganterin Anya, terus bilang kalo dia bawa anak kita jalan-jalan sebentar, terus kasih oleh-oleh ini." Sang istri diam menatap pria yang masih terkekeh di sana. "Dan mas kasih izin?" Mengedikkan bahunya acuh, pria tadi berlalu menuju ruang makan. "Kenapa nggak, pas mas interogasi pun, dia keliatan berani dan langsung natap mata mas. Dia keliatan bertanggung jawab dan nggak takut untuk berkata jujur." "Memang mas tahu dia jujur?" Pria itu mengangguk pelan, lalu terkekeh pelan. " Dari cara dia natap mas aja udah keliatan kalo dia jujur dan berani ngambil resiko dengan apa yang sudah dia perbuat, kalaupun dia cuma main-main sama Anya, jelas dia bakal lari, ataupun nurunin Anya di depan gang." Pria itu menjeda kalimatnya, lalu mengeluarkan isi dari dalam bungkusan yang dia bawa. "Dan dia nggak menunjukkan itu, dia jelas anak yang unik, walau umurnya masih sangat muda." "Muda?" Pria itu mengangguk pelan. Lalu menatap sang istri. "Kamu inget pak Hendro?" "Inget." "Anak tadi, anaknya pak Hendro, tetangga kita." "Serius?" Pria itu mengangguk kuat. Lalu mencomot satu kue putu yang sudah sangat lama tak dia makan. "Pantes, mas kayaknya langsung luluh gitu, wong anaknya pak Hendro." Pria tadi tertawa pelan, dari raut wajahnya terlihat cukup puas karena perbuatannya tadi. Dan siapa sangka, anak yang masih duduk di bangku SMA itu memiliki tekad yang tak bisa diragukan lagi. Jadi dari sana. Adit yang masih mengendarai Pino masih tak menyangka apa yang sudah dia lakukan hari ini, dari sebuah kata nekat, dia bisa melihat sedikit senyum milik Anya yang benar-benar indah di matanya, bahkan senyum yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Menjadi pengagum rahasia cukup melelahkan, tentu hal itu membuat Adit hampir menyerah dan hampir membuat dia memilih untuk tetap berada di dalam bayang-bayang wanita itu. Namun sayangnya, hatinya tergerak untuk melakukan tindakan lebih, tubuhnya menuntun sebuah balas dari wanita yang sudah lama dia kagumi itu. "Anya...." Dia bergumang pelan. Dari sekian banyak senyum yang sudah dia lihat, entah kenapa hanya senyum Anya yang terlihat begitu indah di matanya, senyum manis Nyang membuat hatinya meleleh tak berdaya, dia tak bisa banyak berkata kali ini, dan hal itu benar-benar luar biasa. "Arrggg!" Dia berteriak dengan kuat, tak peduli jika di jalanan itu ada begitu banyak pengendara yang lalu lalang dan memperhatikan dirinya dengan raut aneh. Seorang anak muda dengan teriakan yang luar biasa aneh. Mereka berpikir, apakah pemuda itu gila? Tapi sayangnya Adit tak peduli, dia masih menikmati harinya, hari dengan keindahan yang begitu luar biasa. Bahkan dadanya begitu membuncah karena luapan kebahagiaan itu. Gila, dia benar-benar gila, setelah menjadi pengagum bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia berani untuk menunjukkan dirinya sendiri. Lalu getar ponsel di saku celananya membuat dia sadar akan panggilan yang masuk. Segera dia menepikan Pino dan menerima panggilan itu. Bapak, nama uang tertera di layar ponselnya membuat dia dengan cepat mengangkat panggilan itu. "Halo, assalamualaikum, pak." "Waallaikumsalam, di mana kamu, kak?" Ah, Adit hampir melupakan sang ayah karena kebahagiaan itu, dia juga hampir lupa untuk meminta izin untuk menginap di rumah Rangga malam ini. Dan kebetulan sang bapak menelponnya sekarang. "Itu bap, Adit lupa mau bilang. Em tadi Adit lagi keluar dari jajan, terus El belok dan hilang kalo Adit di undang nginep di rumah orang Rangga, besok juga orang tua Rangga ngajak kita liburan ke pantai." "Terus kamu di mana sekarang, kok rame gitu?" "Adit lagi di jalan, pak." Terdengar helaan napas pelan dari sang bapak. "Ya udah kalo gitu, hati-hati, udah malem, kalo sampek rumah Rangga langsung kabari bapak." "Siap pak." "Titip salam buat orang tua Rangga." "Beres." Senyum Adit merekah, dia beruntung mendapat orang tua seperti bapak, di mana tidak pernah membatasi dirinya untuk melakukan apapun itu, justru mereka malah terkesan mendukung, jika apa yang Adit lakukan benar-benar dalam jalur yang benar. Hanya saja Adit belum berani mengatakan jika dia sedang menyukai seorang gadis, karena tugasnya sekarang, bukan untuk menjalin kasih, melainkan menempuh pendidikannya. "Ya udah bapak tutup, assalamualaikum." "Waallaikumsalam...." Adit segera menyimpan ponselnya dan melanjutkan perjalanannya, karena dari yang dia tahu, saat ini mereka tengah menunggu kedatangan Adit dan sengaja menyiapkan makanan untuk dirinya. Duh ... Rasanya hari ini adalah hari keberuntungan dirinya karena selain mewujudkan keinginannya, dia juga mendapatkan sesuatu yang luar biasa dari sahabatnya. Benar-benar hari yang membahagiakan untuk dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD