Move ON

1254 Words
“Kamu kenapa gugup kayak gitu?” tanya Panca curiga. “Eh, enggak kok! Abangnya sama resenya kek Aron, udah nggak usah dibahas.” Talita berusaha menutupi kegugupannya, dia benar-benar membenci sosok Aska, bahkan untuk sekedar mengingatnya dia tidak sudi. “Apa yang tadi ya …,” ujar Panca. Talita terkejut, wajahnya kembali pucat. “Ka—kamu lihat dia?” “Kenapa, sayang? Tadi emang ada satu orang yang mirip Aron, tapi dia udah pergi.” Talita terlihat cukup panik. “Kamu jangan ngobrol sama dia, jauhi dia!” ucap Talita. Panca mengernyitkan keningnya, cukup curiga dengan sikap kekasihnya. “Emang ada apa dengan dia?” “Enggak! Pokoknya jangan temui dia!” ketus Talita. “Tapi kenapa?” tanya Panca penasaran. “Aku bilang ‘jangan’ ya jangan!” Talita tetap tidak mau mengatakan alasannya. “Kenapa sih, kamu seperti menyembunyikan sesuatu dariku?” “Aku hanya nggak suka sama dia, apa aku harus ngejelasin ke kamu? Sudahlah! Tiggalkan aku sendiri.” Untuk kali ini Talita memang sedang kacau, mungkin menyendiri akan lebih baik baginya. Meskipun masih sangat penasaran, Panca tidak mungkin meninggalkan Talita sendiri, bukan suatu yang mudah untuk mendapatkan Talita. “Oke! Aku nggak akan bahas itu lagi.” Panca mengusap lembut rambut Talita. “Sekarang keadaan kamu gimana? Mau aku anterin pulang? Atau ke tempat aku dulu?” tanya Panca lembut. “Aku mau pulang.” Hanya itu jawaban Talita. “Baiklah, sekalian aku biar kenalan sama orang tua kamu ya?” Ini pertama kalinya Panca bertemu dengan kedua orang tua Talita, semenjak menjalin hubungan dengan gadis itu sepertinya tidak ada niat dari Talita untuk memperkenalkan dia kepada kedua orang tuanya, dia sendiri sampai heran, apa kuranganya dia di mata seorang Talita, mapan … jelas dia sudah sangat mapan karena dia seorang CEO di sebuah perusahaan besar, tampan … dia tampan dan sempurna, banyak gadis-gadis cantik dan kaya yang antri untuk dirinya, tapi baginya Talita lain, sejak mengenal gadis itu di Paris dia terus mengejarnya, tidak peduli meski harus bolak-balik Jakarta-Paris, toh usahanya membuahkan hasil. “Enggak masalah.” Meskipun itu jawaban yang cukup singkat dari Talita, tapi itu membuat hati Panca cukup berbunga-bunga. “Bener?!” Gadis itu mengangguk. “Iya ….” Mungkin ini sudah waktunya memperkenalkan Panca ke keluarganya, tekad Talita sudah bulat, dia ingin kembali melanjutkan hidupnya, mungkin Panca pilihan yang tepat untuknya. Panca tersenyum. “Sudah bisa pulang sekarang?” Talita mengangguk. “Iya ….” Perlahan gadis itu bangkit dari tempat tidurnya. Panca ikut membantu kekasihnya yang masih terlihat sangat lemah. “Mau aku bopong …,” goda pria itu. Wajah Talita memerah. “Paan sih, nggak usah rese.” “Ya, sapa tau mau!” Talita mencubit lengan Panca. “Ih … ayo buruan!” ajak Talita, dia ingin cepat-cepat meninggalkan rumah Adel. Setelah merapikan kembali pakaiannya, keduanya berjalan keluar meninggalkan ruangan itu. Baru beberapa langkah melangkah, mereka berpapasan dengan Adel dan Alvin yang sepertinya baru saja datang. “Lho, kalian mau kemana?” tanya Adel penasaran. “Aku udah baikan, Tan.” Talita menatap Alvin yang berdiri di depannya. “Om baru pulang?” Talita mengulurkan tangannya ke arah Alvin, langsung disambut oleh Alvin. “Iya, kamu apa kabar? Rasa seperti mimpi,” ucap Alvin, jujur dia sangat khawatir dengan keadaan Talita, di sisi lain dia juga merasa bersalah dengan gadis itu, itu sebabnya dia lebih memilih diam, dia tau segalanya tapi dia tidak memberitahukan ke Aska dan Aron di mana tentang keberadaan Talita. “Baik, Om. Lita mau pamit pulang dulu.” Alvin melirik ke arah Panca. “Siapa dia?” Panca maju, menjabat tangan Alvin. “Perkenalkan … saya Panca, Om. Saya pacarnya Lita.” Talita tersipu malu, Alvin menatap Talita. “Oh ….” Hanya itu jawaban Alvin. “Sayang, kamu nggak pengen nginep di sini?” Pertanyaan Adel sebenarnya cukup wajar karena lama mereka tidak bertemu, tapi itu semua cukup horor untuk Talita, dia takut jika bertemu dengan Aska lagi, dia benar-benar tidak ingin mengingat luka lamanya lagi. “Lain kali aja, Tan. Lita pamit dulu ya …..” Meskipun cukup berat melepas kepergian Talita, Adel terpaksa mengangguk, dia harus memberi waktu ke Talita untuk gadis itu menenangkan dirinya. Tidak butuh waktu lama, setelah sedikit basa-basi keduanya pergi meninggalkan kediaman Alvin dan Adel. “Yang, Lita kenapa?” tanya Alvin. “Tadi Aska ke sini, dia masih trauma melihat Aska,” ucap Adel jujur. Alvin menghela nafas. “Siapa yang ngasih tau Aska?” “Siapa lagi kalau bukan adiknya, mana mereka nggak sopan banget sama pacarnya Lita.” Alvin menyungingkan senyumnya, geli sendiri membayangkan kedua anak bujangnya membuat ulah. “Wajarlah ….” Adel menabok lengan Alvin, kebiasaan dia kalau jengkel main geplak. “Apanya yang wajar! Anak nggak bener masih juga dibela.” “Yang, kebiasaan! Lengen aku sakit.” Alvin mengusap legannya yang cukup sakit akibat ulah Adel. “Abisnya … aku udah kesel sama mereka berdua, ini bapaknya malah ikut-ikutan bikin kesel.” Alvin tersenyum, mendekati Adel, memeluk Adel dari belakang, menyandarkan kepalanya di pundak Adel. “Emang mereka berdua bikin ulah apa?” tanya Alvin lembut. “Abang tau nggak?” Adel berusaha melepas pelukan Alvin, menghadap ke arah Alvin. “Kalau kamu nggak bilang, mana aku tau.” “Aska ingin menikahi Lita,” ucap Adel. Alvin tersenyum, dia sama sekali tidak kaget dengan ucapan Adel. “Bagus dong! Berarti Aska ingin menebus kesalahannya.” Adel menatap tajam Alvin, dia tidak terima dengan pernyataan Alvin. “Bang! Aku nggak setuju! Tadi saja Lita ketakutan ngelihat Aska, dia sampai pingsan. Aku nggak akan rela kalau Lita tersiksa kayak gitu.” Alvin menghela nafas. “Yang, semua butuh waktu, hanya Aska yang bisa menerima masa lalu Lita, Aska yang mencintainya dengan tulus. Aku yakin pria itu nggak tau masa lalu Lita.” “Nggak! Kesalahan Aska sudah fatal! Kalau dia laki-laki baik, dia tidak akan mengorbankan darah dagingnya, dia nggak akan memanfaatkan gadis yang tidak berdosa.” Adel masih kekeh dengan pendiriannya. “Yang, anak kita hanya korban! Kamu nggak kasihan, dia hanya dimanfaatkan, apa kamu tau kalau dia diperlakukan dengan baik sama Andre? Apa kamu tau gimana masa kecilnya? Dia dibesarkan hanya untuk balas dendam! otaknya sudah di cuci oleh Andre dan temen-temenya, coba mengertilah sedikit.” Alvin terlihat sedih, sumpah rasanya sakit sekali membayangksan masa kecil putranya. “Aku tau, justru karena aku menyayangi keduanya, aku nggak ingin salah satu dari mereka terluka. Aku akan merestuinya jika Lita benar-benar setuju, tapi kalau tidak. Lebih baik Lita bersama Panca.” “Mama kenapa nggak ingin Aska sama Lita, kata-kata Papa itu benar!” Aron yang ternyata menguping pembicaraan mereka, ikut angkat bicara. “Kamu ngapain ikut-ikutan!” kesal Adel. “Karena Aron tau gimana menderitanya Aska. Dulu meskipun sering bikin onar, dia selalu nolongin Aron! Entah kenapa cuman Aron yang tidak bisa dia sakiti, Ma.” Aron berusaha menyadarkan mamanya. “Mama ini seorang wanita, mama bisa merasakan apa yang Lita rasakan, dia hampir kehilangan nyawanya, Ron!” seru Adel penuh emosi. “Sudahlah, jangan berdebat. Kamu juga nggak usah nyalahin mama, Ron.” Alvin berusaha mencairkan suasana yang mulai memanas. “Ya udah! Tapi aku nggak akan nyerah. Aku akan tetap membantu Aska mendapatkan Lita.” Aron yang cukup kesal berlalu begitu saja dari hadapan Adel dan Alvin. “Aron!” seru Adel kesal. Alvin mendekati Adel, mengelus lembut pundak Adel. “Yang, sudahlah …,” bujuk Alvin. Adel membalikkan badannya, menatap Alvin dengan tatapan yang penuh semangat. “Gimana kalau kita jodohkan aja Aska sama Veronica!” “Apa!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD