CHAPTER 3 ~ TERPAKSA MENIKAH

1035 Words
Tiga hari sudah berlalu begitu saja. Arsyla pun tak kunjung kembali, sementara acara pernikahan sudah di depan mata. Akhirnya, Aruna dan Lingga pun terpaksa menjalankan permintaan Arsyla dan orang tua mereka untuk menikah. Padahal sudah jelas keduanya tidak memiliki perasaan satu sama lain. Acara pernikahan yang digelar langsung di kediaman Gumilar pun tampak berjalan dengan lancar. Begitu banyak tamu undangan yang hadir dalam acara tersebut dan semuanya mengagumi penampilan Aruna dan Lingga yang terlihat cantik dan tampan bak artis papan atas, saat menggunakan baju pengantin yang dirancang khusus oleh desainer ternama. "Selamat ya, Aruna. Semoga pernikahan kalian langgeng," ucap Olivia seraya menatap sendu wajah Aruna, sahabatnya. Ya, sebagai sahabat, tentu Olivia tahu bagaimana yang dirasakan Aruna saat ini. Wajar saja jika ia tidak senang melihat Aruna harus menikah dengan Lingga. Ia tahu betul bahwa Aruna masih belum siap untuk menikah. Bahkan, ia tahu jika selama ini Aruna selalu menolak pria yang berusaha mendekatinya. "Aamiin. Makasih, Olive," balas Aruna seraya terpaksa menerbitkan senyumnya. Olivia hanya mengusap punggung tangan Aruna dengan sangat lembut, berusaha menenangkan. Tatapannya masih belum beralih. Ia melihat dengan jelas wajah sendu sahabatnya. Ia kemudian memeluk erat tubuh Aruna. Tak terasa isak tangis yang sejak tadi ditahan pun akhirnya pecah. "Ada gue di sini, Na. Lo bisa cerita kapan pun lo mau. Gue janji akan selalu ada buat lo," bisik Olivia dengan suara sedikit tertahan. Aruna terisak. Ia sudah tidak kuat lagi menahan air mata yang sejak tadi dibendungnya. Rasanya sakit sekali hingga tak bisa berkata apa pun. Hanya sebuah anggukkan pelan yang ia lakukan untuk menanggapi ucapan sahabatnya. "Lo percaya sama gue. Apa pun masalah yang sedang lo hadapi sekarang, lo pasti bisa melewatinya dengan baik. Trust me!" tutur Olivia sesaat setelah merenggangkan tubuhnya dari Aruna. "Ya," balas Aruna mengangguk pelan sambil menyeka air matanya. Ia kemudian sedikit terkekeh, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Demi menjaga nama baik keluarga, Ia harus bertanggung jawab atas kesalahan Arsyla. Bukankah itu sangat menyakitkan? Masa lajang yang begitu indah, harus berakhir dalam sebuah pernikahan paksa. Rumah tangga yang selama ini ia impikan bersama orang tercinta, hanyalah akan menjadi angan semata. Sementara itu, Lingga yang sejak tadi berdiri di samping Aruna dan menyaksikan adegan melankolis mereka, tampak tidak peduli. Hal itu terbukti dari caranya yang menatap illfeel, seolah-olah menganggap bahwa Aruna dan Olivia terlalu berlebihan. "Jangan pernah bermimpi kalau kita akan menjalankan rumah tangga seperti suami istri pada umumnya. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah mencintaimu, Aruna. Di hatiku cuma ada Arsyla, dan nggak ada yang bisa mengubah itu!" Aruna tersentak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Lingga, tepat setelah acara resepsi pernikahan mereka selesai. Menyakitkan? Ya, tentu saja kalimat itu sangat menyakitkan bagi Aruna. Ia tahu bahwa dirinya memiliki begitu banyak kekurangan dibandingkan kakaknya. Ia juga tahu jika Lingga sangat mencintai Arsyla dan sedikit pun tidak tertarik padanya. Namun, apakah pantas pria itu berkata demikian? Tidak. Ia rasa itu bukanlah hal yang wajar. Bukankah ia juga berada di posisi yang sama dan merasakan kehancuran yang sama pula seperti Lingga? Lantas, mengapa Lingga memperlakukannya seolah-olah ia yang mengharapkan pernikahan itu? Sebagaimana Lingga, Aruna juga sama tidak menginginkan pernikahan itu terjadi. Namun, apa yang bisa ia perbuat. Berulang kali menolak pun, tetap saja tak ada yang mengerti perasaannya. Sementara itu, Arsyla yang jelas-jelas menjadi pelaku kekacauan ini, mungkin sedang hidup berbahagia entah di mana. "Aku—" "Aku nggak menginginkan pernikahan ini sama sekali. Jadi, tolong jangan pernah menuntut apa pun dariku. Kita memang sudah menikah dan aku sudah menjadi suamimu, tapi ingat! Semua itu kulakukan karena terpaksa!" pungkas Lingga dengan tegas. Ia masih belum ingin memberikan kesempatan kepada Aruna untuk berbicara. Aruna diam beberapa saat sambil menundukukkan kepala. Berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. Ia tidak masalah sama sekali, jika Lingga belum bisa menerimanya sebagai istri. Ia tahu itu bukanlah hal yang mudah. Mungkin ia pun akan sulit menerima kenyataan itu. Namun, yang ia sesali mengapa hidupnya menjadi serumit itu? Bagaimana ia akan semangat untuk melanjutkan hidup, jika orang yang akan tinggal satu atap dengannya saja justru memperlakukannya seperti itu? Tidak bisakah Lingga bersikap seperti biasa saja, jangan terlalu menunjukkan sikap seolah-olah sangat membencinya? Bukankah sebelum menikah terlihat baik dan selalu bisa menghargai dirinya sebagai adik Arsyla? Begitu pikirnya. Ya, walaupun Lingga terkesan tidak suka kepada Aruna. Namun, selama ini pria itu selalu bersikap baik dan sewajarnya. Bahkan, ia selalu bisa menhargai wanita itu, berbeda sekali dengan sekarang. Ia seolah-olah menganggap Aruna adalah benalu dalam hidupnya. Padahal pernikahan itu terjadi atas permintaan Arsyla, bukan Aruna. "A-aku ngerti, Kak. Kak Lingga tenang saja, aku nggak akan melakukan apa pun yang kamu nggak suka," ucap Aruna sedikit terbata-bata. Wanita itu kemudiam menghela napas pendek, berusaha menetralkan perasaannya kembali. Sementara itu, Lingga hanya menatap sinis, kemudian berlalu begitu saja tanpa berbicara apa pun lagi. Ia tampak menaiki anak tangga satu per satu dan Aruna hanya memperhatikan gerak-geriknya dari bawah dengan rasa kecewa. “Aruna, kamu kenapa?” Aruna tersentak saat sebuah tangan tiba-tiba menepuk pelan bahunya. Ia langsung membalikkan badan, entah sejak kapan Nirmala berada di ruangan itu. “Mama,” lirih Aruna tampak bingung, lalu ia memaksakan senyumnya. Berusaha tetap bersikap seolah-olah dirinya sedang baik-baik saja, meski pada kenyataannya tidak sama sekali. “Nggak apa-apa, Ma. A-aku hanya sedikit capek saja,” ucap Aruna mencari alasan. Nirmala hanya mengangguk paham dan seolah-olah langsung percaya begitu saja. “Oh ya, suamimu mana?” “Suami?” Alih-alih menjawab, Aruna justru terkejut mendengar pertanyaan mamanya. “Iya, suami,” jawab Nirmala sedikit memberi jeda. Ia kemudian memicingkan sebelah mata, menatap Arsila saja. "Jangan bilang kamu lupa kalau sudah punya suami?" imbuhnya. "Ah ... iya, maaf aku lupa, Ma." Aruna sedikit terkekeh. Namun, binar matanya masih terlihat sendu. "Kak Lingga baru saja masuk, Ma," jawabnya seraya menunjuk ke arah tangga. Senyum simpul tampak terbit di wajah Nirmala, meski terkesan sedikit dipaksakan. Ia kemudian mengusap lembut bahu Aruna seraya melempar tatapan yang tak kalah sendu. "Mama pasti sedih banget karena Kak Syla pergi," lirih Aruna yang sudah bisa menebak apa yang sedang dipikirkan mamanya saat ini. "Tidak ada orang tua yang akan baik-baik saja saat kehilangan anaknya," jawab Nirmala sedikit mempercepat usapannya di bahu Aruna. 'Apa itu juga berlaku untukku, Ma? Apa Mama juga akan sesedih itu kalau suatu saat aku pergi?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD