CHAPTER 4 ~ MONSTER DINGIN

1005 Words
Mata Aruna tampak sedikit berkaca-kaca. Selama ini ia merasa jika kedua orang tuanya lebih menyayangi Arsyla. Rasanya ia tidak percaya bahwa orang tuanya akan merasa sangat kehilangan seperti sekarang, jika dirinya yang pergi. "Besok Mama dan Papa akan cari kakakmu, semoga saja cepat ditemukan." Aruna mengangguk pelan. "Apa Kak Syla nggak ada menghubingi lagi?" tanyanya sedikit penasaran, karena sejak pergi Arsyla tidak ada menghubunginya sama sekali. "Ada. Dua hari yang lalu, dia bilang baik-baik saja dan meminta kita untuk tidak mencarinya," jelas Nirmala, lalu menghela napas berat. Terlihat jelas kebingungan di wajahnya. Sampai detik ini, ia masih belum menemukan jawaban mengapa Arsyla pergi tanpa alasan. Meski Arsyla memintanya untuk tidak mencari, tentu ia dan suaminya tidak akan tinggal diam dan membiarkan putri sulungnya itu pergi tanpa tujuan yang jelas. Aruna hanya diam menatap mamanya. Ia tidak tahu lagi harus berkomentar apa. Mengingat perkataan Lingga tadi, membuat dadanya terasa semakin sesak. Rasanya ingin sekali ia memeluk sosok yang telah melahirkannya, tetapi situasinya kurang tepat. Ia tidak mau menanbah beban Nirmala dengan menumpahkan segala kesedihannya. Lagi pula, sedari kecil ia memang tidak pernah dekat dengan ibu kandungnya itu. Tentu akan sedikit canggung jika ia melakukan yang tidak biasa dilakukan. "Ya sudah, kamu susul Lingga sana!. Walau bagaimanapun dia sudah menjadi suamimu sekarang. Mama tahu kamu terpaksa, tapi tolong jangan membuat kami kecewa," tutur Nirmala "Baik, Ma." Wanita berambut pendek itu segera beranjak dari tempat itu dan menaiki anak tangga satu per satu menuju kamarnya. Tepat di depan pintu kamar yang tertutup rapat, wanita berusia 24 tahun itu berdiri untuk beberapa saat. Ia masih ragu apakah harus masuk atau tidak. Namun, jika sampai tidak masuk ke kamar, tentu orang tuanya akan marah. Di sisi lain, ia juga tidak ingin bertemu dengan Lingga. Ah, sungguh semuanya menjadi serba salah. "Masuk nggak, ya?" tanyanya mulai bermonolog sambil mondar-mandir tidak jelas. Sebelah tangannya dilipat di depan d**a dan tangan lainnya memegang dahi, menunjukkan ekspresi bingung. Perasaan gugup dan takut seakan-akan bercampur aduk. Entah sampai kapan ia harus menghadapi situasi yang sedikit menegangkan seperti itu. Baginya, bertemu dengan Lingga seperti bertemu dengan seekor monster yang menyeramkan. Ia menghentikan kegiatannya. Berdiri mengahap pintu kamar. Sebelah tangannya tiba-tiba diangkat, berniat untuk mengetuk pintu. Namun, belum sempat ia melakukannya, tiba-tiba pintu itu terbuka. "Astaghfirullahaladzim!" Aruna terlonjak dan refleks mundur ke belakang, bagitu mendapati Lingga yang muncul dari balik pintu. Bahkan, kedua tangannya kini sudah diletakkan di depan d**a, berusaha meredam degup jantung yang tiba-tiba mendadak kelonjotan. Belum lagi tatapan tajam pria di depannya, membuat ia semakin tidak mampu berkata apa pun lagi. "Kamu pikir aku setan?" celetuk Lingga seraya menatap sinis, tanpa peduli dengan perasaan kaget Aruna saat ini. "Ng-nggak! A-aku cu—" "Buatkan aku kopi!" pungkas Lingga dengan tegas, tanpa memberikan Aruna kesempatan untuk menjelaskan. Aruna langsung menghela napas berat. Sepertinya ia harus memilih untuk tidak menjelaskan apa pun pada Lingga. Ya, menghindari perdebatan dengan pria itu tampaknya akan jauh lebih baik. "Aku akan minta Mbak Tina buat bikinin." Aruna secepat kilat membalikkan badan dan hendak beranjak dari tempat itu. Namun, langkahnya tertahan saat suara Lingga kembali terdengar. "Aku minta kamu, bukan Mbak Tina!" Mendengar penyataan itu, Aruna kembali membalikkan badan dan langsung tertunduk. "Baik," ucapnya tidak berani menatap Lingga. "Jangan terlalu manis!" Aruna tidak menanggapi. Ia segera beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa secangkir kopi. Setelah selesai dengan tugasnya, ia segera membersihkan diri. Sementara itu, Lingga tampak membuka laptop, berniat menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena beberapa hari sibuk mencari keberadaan Arsyla. Akan tetapi, sial. Fokusnya tiba-tiba ambyar, ketika mendapati foto Arsyla pada layar utama laptopnya. "Syla ... kamu di mana sekarang? Salahku apa sampai kamu pergi tanpa penjelasan apa pun?" gumam Lingga sambil menatap sedih potret Arsyla. Foto yang selalu menjadi penyemangat untuknya saat memulai pekerjaan. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, tanpa memalingkan pandangan dari layar laptop. Beberapa saat dalam posisi yang sama dengan pikiran yang melayang, membayangkan kenangan-kenangan saat bersama Arsyla. "Aku nggak tahu harus cari kamu ke mana lagi. Kamu tahu? Kamu sudah bikin aku hancur, Syl," keluhnya Belum sempat Lingga mengakhiri lamunannya, tiba-tiba suara derit pintu kamar mandi terbuka menyadarkannya. Ia menoleh sejenak ke arah sumber suara. Tampak Aruna yang berdiri di sana dengan busana yang berbeda. Kali ini, Aruna tampak memakai piama lengan panjang dengan motif kotak-kotak hitam. Sepertinya ia sengaja memakai pakaian cukup tertutup seperti itu di malam pertamanya dengan Lingga. 'Kenapa harus dia yang ada di kamar ini?' batin Lingga berbisik. Tatapan pria itu seketika berubah sinis, sontak membuat Aruna yang menyadari hal itu langsung memutus kontak mata dan beranjak ke tempat lain. Lingga langsung mengakhiri lamunannya dan memulai pekerjaan, sementara Aruna duduk di bangku meja rias ranjang sambil memainkan ponsel. 'Ya Tuhan ... apa yang harus kulakukan sekarang?' gumam Aruna dalam hati. Meskipun ia terlihat begitu sibuk dengan ponsel di tangannya, tetap saja pikirannya tidak pernah fokus. Keberadaan Lingga di kamar itu, selalu saja berhasil mencuri perhatian. Lihat saja! Sesekali ia mencuri pandang ke arah Lingga. Ah, ia sungguh tidak ingin berada di posisi seperti sekarang. Ia jelas tidak ingin jika pernikahan ini semakin memperburuk hubungannya dengan Lingga. Harusnya ia bekerjasama dengan pria itu untuk menemukan Arsyla. Namun, bagaimana bisa jika sikap Lingga saja seperti itu padanya? Ia pun tidak mengerti bagaimana caranya mendekati pria itu. 'Heran. Kok, bisa Kak Syla jatuh cinta sama cowok kayak dia? Tampan, sih, tapi dinginnya itu loh. Mana tatapannya serem banget lagi, mirip monster kayak di film-film,' bisik Aruna dalam hati sambil mengamati wajah Lingga dari kejauhan. Ini untuk pertama kalinya Aruna menatap Lingga selekat itu. Sebelumnya, ia hampir tidak pernah walau hanya sejenak. Bahkan, bertegur sapa pun jarang sekali ia lakukan pada pria itu. 'Entah gimana nasib gue nanti. Arrgh!' erangnya dalam hati. Ingin rasanya ia menjerit sekuat mungkin dan melayangkan protesnya pada Tuhan. Namun, ia cukup paham bahwa tidak ada masalah tanpa jalan keluar. Mungkin saat ini ia harus sedikit bersabar. Seketika gerakan tangan Lingga membuat Aruna tersadar. Ia memperhatikan dengan saksama saat tangan kekar itu meraih cangkir kopi di atas meja, lalu menyesap minuman itu untuk beberapa saat saja. "Apa kopinya sudah pas?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD