CHAPTER 10 ~ HARUSKAH MENERIMANYA?

1015 Words
Jam istirahat sudah berlangsung sejak 10 menit lalu. Namun, Aruna masih saja belum bisa bertemu dengan Seno yang katanya sedang free. "Ah, ini semua gara-gara si Bos, gue jadi nggak bisa ngobrol sama Seno, kan?" gerutu Aruna seraya menyesap capucino, kopi favoritnya. "Sabar ... kayaknya si Seno emang lagi ada misi penting sama si Bos," timpal Olive yang sedang menikmati segelas lemon tea di depannya. Wanita berambut ikal itu memang selalu menjadi penengah di antara kedua sahabatnya, berusaha menenangkan Aruna yang memiliki kesabaran setipis tisu. Mendengar pernyataan Olive, Aruna langsung mencondongkan badannya seraya berbisik, "Kira-kira mereka lagi ada misi apa, ya?" "Mana gue tahu. Secret mission kali," jawab Olive sedikit mengedikkan bahunya, seolah-olah tidak terlalu peduli dan ingin tahu tentang urusan Seno dan atasannya. Aruna menatap penasaran wajah Olive, karena tidak biasanya Seno dan atasannya itu terlihat begitu tertutup. Harusnya sebagai tim redaksi, ia mengetahui apa pun berita yang akan diangkatnya ke media. Apa mungkin Seno mendapat tugas lain di luar pekerjaannya? Begitu pikirnya. "Sorry, gue agak telat. Kalian sudah nunggu dari tadi?" Belum sempat Aruna mengakhiri lamunannya, tiba-tiba Seno datang dan langsung memposisikan diri di bangku kantin, tepat di sebelah Aruna. "Astaga! Lo bikin gue kaget, Sen!" seru Aruna seraya melirik ke arah Seno sambil memegang dadanya yang terasa berdebar lebih cepat karena ulah Seno. "Ah, elaaah ... segitu doang, Na." "Lo abis ngapain, sih, dari ruangan si Bos? Lama bener?" celetuk Olive yang ternyata diam-diam penasaran dengan kegiatan Seno dengan atasannya. "Kepo lo!" cibir Seno seraya menoleh ke arah Olive. "Ish!" Olive tampak menecebikkan bibirnya, kesal. Sementara itu, Seno fokus kembali ke arah Aruna. Ia tidak tahu apa yang ingin sahabat wanitanya itu sampaikan padanya, yang jelas ia yakin bahwa apa yang akan dikatakan Aruna sangat penting. "So, lo mau ngomong apa? Mumpung gue lagi free, nih?" Tanpa banyak basa-basi, Aruna langsung menyampaikan hal penting yang ingin sekali ia ceritakan sejak beberapa hari belakangan. Namun, sialnya tanggapan Seno justru tidak sesuai yang diharapkan. "Sen, ayo dong, Sen ... lo mau bantu gue, kan?" bujuk Aruna berusaha memohon untuk ke sekian kalinya. "Nggak bisa, Na." "Please!" Aruna mengatupkan kedua tangannya di depan d**a, berusaha Seno akan berubah pikiran. "Pertama, gue banyak kerjaan. Kedua, gue bukan detektif. Ketiga, gue dikasih misi khusus sama si Bos. Jadi, sorry banget gue gak bisa bantu lo," ucap Seno seraya mengacungkan jari tangannya satu per satu. Ternyata tidak semudah itu meluluhkan Seno. Meski Aruna sudah berusaha keras untuk memohon bantuan, Seno tetap menolak. Kecewa? Tentu Aruna sangat kecewa. Lihat saja wajahnya yang memberengut kesal, hingga ia tak mampu lagi berkata-kata seolah-olah sudah kehabisan cara. Padahal Seno adalah harapan satu-satunya. "Lo 'kan udah biasa cari informasi penting, Sen. Masa nggak bisa bantu gue." Aruna mulai memasang wajah memelas. "Nggak bisa!" Seno menggeleng pelan dengan pandangan yang lurus ke depan, tidak memperhatikan wajah Aruna yang sedang memelas. Menyerah. Sepertinya kali ini Aruna benar-benar tidak bisa membujuk Seno untuk membantunya. Apa boleh buat? "Terima saja apa yang udah Tuhan gariskan buat lo. Jalani, nikmati, nggak usah ribet mikirin hal-hal yang nggak seharusnya lo pikirin. Nggak mungkin 'kan Tuhan ngasih kejutan ini cuma untuk sia-sia?" tutur Seno yang memahami betul bagaimana perasaan Aruna. "Tapi—" "Semua udah terjadi, Na. Emang kalo Syla balik, itu bakal menjamin lo pisah dari Lingga?" pungkas Seno seraya menatap serius wajah Aruna. "Nggak, kan?" ucap Seno lagi, berusaha meyakinkan. "Ini juga kemauan Syla, kan? Artinya, dia emang udah nggak mau sama Lingga? Lalu, lo mau ngejar apa lagi?" imbuhnya yang berhasil membuat Aruna bungkam dan berpikir keras. Ya, mungkin apa yang dikatakan Seno memang benar. Tidak mungkin Arsyla pergi begitu saja, jika masih menginginkan Lingga. Aruna tahu betul bagaimana watak sang kakak yang tidak dengan mudah melepas apa yang diinginkannya. Pupus sudah harapan Aruna. Benarkah ia harus menerima semua kenyataan ini? Lantas, bagaimana dengan Lingga yang sepertinya tidak bisa menerimanya begitu saja? Batin Aruna mulai bertanya-tanya. Entah sampai kapan ia akan bertahan dengan pria berdarah dingin itu. Kembali ke ruang kerja dengan perasaan kecewa, membuat Aruna kehilangan semangatnya. Padahal selama ini ia tidak pernah sekali pun terlihat tidak bersemangat, bahkan saat sedang dalam masalah sekali pun. Namun, kali ini sedikit berbeda. Ia hanya diam tanpa memikirkan pekerjaan. Ia tampak duduk sambil membenamkan wajahnya di atas meja dengan sebelah tangan yang menjadi alasnya. Di pikirannya saat ini hanyalah Lingga. Rasanya ia malas sekali harus pulang ke apartemen itu. "Aruna, saya belum terima laporan dari kamu? Kamu sudah selesain tugas yang saya kasih tempo hari, kan?" Aruna tersentak mendengar suara itu. Sigap ia langsung mengangkat wajahnya dan mendapati Reksa tengah berdiri tepat di balik kubikel. "Ah, Bos?" Aruna mengucek matanya gugup. "Kamu sakit?" tanya Reksa menatap serius. "Ng-nggak kok, Bos. Cuma sedikit ngantuk saja, hehe," jawab Aruna sedikit cengengesan. Namun, tangannya sibuk mengambil berkas yang sudah ia simpan rapi di dalam box file. Sial. Gara-gara Lingga ia jadi lupa dengan pekerjaannya. Untung Reksa cukup santai sebagai atasan, setidaknya ia tidak terlalu merasa tertekan. "Ini laporannya. Maaf, saya lupa kasih ke Bos," ucap wanita berlesung pipi itu seraya menyodorkan map berwarna merah pada Reksa. Reksa mengambil pelan berkas itu dengan sebelah alis yang terangkat. Tentu saja ia melihat hal aneh dari sikap Aruna, yang tidak biasanya. Namun, ia memilih untuk tidak terlalu peduli, karena menurutnya berkas di tangannya jauh lebih penting. "Oke, thanks," ucap Reksa santai. "Kalau kamu sakit, nggak usah terlalu maksain buat masuk kerja," ucap pria berambut cepak itu, sebelum berlalu pergi. "Siap, Bos!" Meski Reksa adalah sebagai atasan di perusahaan itu, tetapi ia selalu bersikap santai di depan bawahannya. Itulah mengapa para pegawai pun tak segan untuk bersikap santai padanya. Namun, mereka tetap bisa saling menghargai satu sama lain. Hal itu juga yang membuat Aruna dan kedua sahabatnya betah bekerja di sana. Selang beberapa menit, Aruna pun pulang setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sepanjang perjalanan pulang, ia tak berhenti memikirkan hari-harinya yang akan selalu bertemu dengan Lingga. Ah, sungguh hal itu sangat melelahkan. Membuatnya seakan-akan kehilangan energi begitu banyak. Lihat saja! Langkahnya sangat lunglai saat menghampiri apartemennya. "Dia belum pulang?" tanyanya yang entah pada siapa, sesaat setelah pintu apartemen dibuka dan mendapati seluruh ruangan yang kosong dan sepi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD