Aku frustasi. Harusnya kan aku memenangkan game ini. Tapi gara-gara detik terakhir ponselku berdering. Dan aku tahu kalau itu telepon dari papa. Yang tak mungkin aku abaikan. Karena papa bisa langsung terbang pake pesawat ke sini kalau teleponnya lama aku menjawabnya.
Dan di sinilah aku berada meratapi nasib. Si Meita malah menyodorkan satu gelas es batu ke depanku. Aku kalah dan aku bingung. Bulan bodoh. Aku terlalu sombong menerima tantangan Irgi itu.
Pria itu dengan tenangnya, setelah memenangkan pertandingan PS dariku langsung mengatakan dia akan segera melamar ku. Owh demi rasenggannya Naruto, aku tak mau menikah dengan pria songong itu.
"Cup cup Bul. Nanti tasnya langsung aku kirim dari Italia deh."
Aku makin memberengut ke arah Meita. Dan menatapnya galak. Malas membahas tas malapetaka itu. Kalau taruhannya kayak gini aku kan lebih baik membobol tabunganku buat beli tas itu. Daripada harus mengorbankan keperawanan ku.
"Bul. Ayo dong ngomong. Gue jadi merasa bersalah nih." Aku melirik ke arah Meita yang tengah bergelung di atas kasurku. Gadis itu tak merasa bersalah sedikitpun dengan kelakuan sepupunya itu.
Dan duniaku hancur saat papa tadi meneleponku kalau aku harus pulang besok. Untuk menjelaskan semuanya. Rupanya duda songong itu sudah mengatakan sesuatu yang mengerikan kepada papa. Aku mati semati matinya ini.
Aku memasukkan semua bajuku ke dalam tas ransel ku. Pulang ke Jakarta dan akan mendapatkan amukan papa sungguh membuatku malas.
"Diem lo. Males gue." Dan Meita menyeringai lebar. Lalu merentangkan kedua tangannya.
"Setidaknya tuh Bul di ambil hikmahnya. Kita jadi bersaudara."
"Saudara pala Lo peyang." Dan Meita makin terkekeh senang. Dasar.
****
Saat aku menunggu taksi di depan kost yang akan membawaku ke bandara. Karena papa memerintahkan ku untuk pulang naik pesawat. Biar cepat nyampe. Sungguh papa Langitku itu kalau sudah marah membuat Bumi gonjang ganjing.
Tin
Tin
Suara klakson mobil membuatku mendongak. Meita sudah berpamitan sejak aku mengusirnya tadi. Tak mungkinkan dia balik lagi?
Tapi saat aku melihat mobil siapa yang ada di depanku. Aku ingin berteriak saat ini. Kenapa duda songong itu kembali ke sini? Belum puas membuat hidupku menderita?
"Ngapain ke sini lagi?"
Aku menatapnya galak saat dia keluar dari mobil dan melangkah mendekatiku. Tatapan Irgi masih tetap dingin.
"Papamu meneleponku baru saja. Beliau ingin aku yang mengantarkanmu pulang naik mobil."
Dan sungguh hal itu membuatku mencibir. Enak saja, mana sudi aku mau berduaan selama dua jam dengan duda ini.
"Gak usah bohong. Papa menyuruhku untuk pulang pake pesawat. "
Tapi baru saja mengucapkan itu. Dering ponselku terdengar lagi. Dan secepat kilat aku membuka ponsel uang ada di dalam genggamanku.
Nama papa terlihat jelas di layar ponsel "Ya pa."
"Bul, kamu pulang sama si Irgi ya. Papa mau lihat wajah cowok yang sudah menodai kamu."
Astaga!!!!
"Pa tapi Bul..."
Klik
Suara telepon di putus membuatku langsung menatap Irgi yang menatapku masih dengan datar. Aku ingin mewarnai wajahnya dengan crayon biar ada ekspresi wajah songong itu.
"Puas? Kamu udah buat papaku berprasangka buruk sama aku." Dengan kesal aku meninju bahu Irgi. Dan langsung berderap menuju mobilnya. Biar, semua cepet selesai. Aku yang menuju tiang gantungan.
***
"Kalau kamu mau makan dulu, kita bisa mampir ke rumah makan” Aku hanya melirik Irgi yang berada di balik kemudinya. Kami sudah setengah perjalanan. Dan sejak naik ke dalam mobil si songong ini. Aku memang mengunci mulutku dengan rapat.
"Jangan berpura-pura. Suara perutmu yang kelaparan terdengar jelas."
Terkejut, aku langsung menyentuh perutku. Dan ketika menoleh ke arah Irgi lagi. Pria itu hanya menatapku dengan geli. Tapi seperti biasa, tidak ada ekspresi di sana.
"Enggak mau makan sama kamu. Enggak mau berduaan sama kamu. Pokoknya pingin cepat sampai di rumah dan kamu jelasin semuanya. Kalau kita tak pernah melakukan itu. Aku masih perawan Ting Ting. Titik.” Terlalu emosi memang. Tapi biarlah. Biar dia tahu rasa.
Irgi kembali berdecak. Dan kini menepikan mobilnya tepat di layanan Drive tru sebuah restoran cepat saji.
"Mbak big burger nya dua, kentang gorengnya dua sama cola dua ya." Aku hanya memberengut mendengar ucapan Irgi.
Mana mau aku makan. Meski perutku memang terasa keroncongan. Dan baru teringat sejak pagi tadi aku belum makan apapun.
"Nih." Irgi meletakkan bungkusan burger itu di atas dashboard di depanku. Dan langsung saja aroma beef burger membuatku menelan ludah. Ah godaannya tak tertahankan.
Irgi meneruskan perjalanannya. Dan hanya mengucapkan itu. Padahal kan aroma burgernya makin membuatku gelisah.
"Sudah di makan saja. Nanti aku bisa di bunuh papa kamu kalau putrinya yang cantik ini kelaparan."
Aku mencibir lagi mendengar ejekannya itu. Tapi tanganku sudah terulur ke arah burger itu. Dan saat menyentuh roti lembut dan empuk itu. Air liurku menetes. Tak peduli dengan Irgi saat aku mengambilnya. Dan langsung memakannya. Ah sungguh sangat nikmat.
Mayones, saus,dan kejunya, membuatku makin lupa daratan. Tapi saat itulah aku merasakan jemari Irgi ada di mulutku. Dan aku tertarik lagi ke dunia.
"Kayak anak kecil makannya belepotan." Aku menoleh kepada Irgi dan masih merasakan jemari Irgi di sudut bibirku. Dan aku bermimpi pasti karena melihat senyum Irgi di sana. Wajah dingin itu menampilkan senyum yang begitu menawan. Astaga emaaakkk help me please!