"Argh! Sakit, Ayah. Sakit banget," teriak anak tersebut seraya memeluk erat tubuh William.
"Iya, Sayang. Ini sudah selesai ko," ucap sang perawat seraya menempelkan plester di atas perban yang membalut kedua lututnya.
"Nah, udah selesai, Sayang. Sakitnya nanti juga hilang ko," lirih William seraya mengusap kedua sisi wajah anak yang belum diketahui namanya itu.
"O iya, nama anaknya siapa, Pak?" tanya sang perawat. "Ini saya mau meresepkan obat dalam biar lukanya bisa cepat kering."
William tersenyum cengengesan seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Eu ... nama kamu siapa, Dek?" tanyanya seraya menatap lekat wajah anak itu.
"Namaku, Novia," jawabnya seraya menahan isakan.
"Novia?" tanya William, otaknya tiba-tiba kembali mengingat satu nama yang sangat mirip dengan nama anak itu. "Nama kamu beneran Novia?"
Novia menganggukkan kepala seraya mengusap kedua matanya yang sempat membanjir.
Perawat tersebut seketika merasa bingung. "Maaf, emangnya anak ini bukan anaknya Bapak?"
"Bukan, Sus. Tadi saya gak sengaja nabrak dia di perjalanan dan langsung saya bawa ke sini," jawab William masih dengan senyuman yang sama.
"O ya? Saya pikir anak Bapak lho. Muka kalian mirip soalnya."
"Hah? Masa sih?" tanya William seketika tersenyum lebar. "Suster ini ada-ada aja sih.
William tiba-tiba saja merasa bahagia. Anak bernama Novia seakan memberi aura positif di hidupnya. Baru beberapa saat bertemu dengan anak itu, ia sudah merasa nyaman bersamanya, bukan karena anak itu memiliki nama yang hampir mirip dengan seseorang dari masa lalunya, tapi ia merasa ada ikatan lain yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Ayah, aku mau ke Ibu," rengek Novia dengan kepala mendongak menatap wajah William membuat sang perawat semakin merasa heran.
Anak itu bukanlah buah hati William, tapi mengapa ia memanggilnya dengan sebutan ayah? Jangankan sang perawat, William sendiri dibuat bingung karenanya.
"Eu ... saya resepkan obat buat kamu dulu ya, Novia," ujar sang Perawat seraya tersenyum ramah.
"Baik, Sus, tapi obatnya jangan banyak-banyak, ya. Aku gak suka minum obat, pait!" jawab Novia seraya menggelengkan kepalanya.
"Baik, cantik. Kamu tunggu sebentar sama Ayahmu di sini, ya."
Novia menganggukkan kepala. Rasa sakit di kedua lututnya sudah mulai mereda, pelukan anak itu pun mulai melonggar. Novia kembali mendongak menatap wajah pria yang ia panggil dengan sebutan ayah.
"Anterin aku ke tempat kerja Ibu ya, Yah," pinta Novia, bola matanya nampak sebening kristal begitu indah dan mempesona.
"Emangnya tempat kerja Ibu kamu di mana?"
"Di jalan."
"Di jalan?"
"Iya, Ayah. Ibuku pekerja kebersihan yang suka nyapu jalan. Itu tadi aku mau ke Ibu, tapi keburu ketabrak sama mobil Ayah."
William seketika tertegun. Ibu dari anak ini bekerja sebagai petugas kebersihan? Hatinya tiba-tiba saja terasa sakit, jiwanya seakan terenyuh. Niatnya untuk mengadopsi anak itu pun semakin bulat saja. Ia berharap bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh Novia dan menjanjikan masa depan yang cerah untuk anak itu.
"O iya, boleh nggak Om tanya sesuatu sama kamu, Novia," tanya William seraya mengusap rambut Novia yang sedikit berantakan.
"Boleh, Ayah mau nanya apa?"
"Kenapa kamu memanggil Om dengan sebutan Ayah? Om bukan Ayah kamu lho."
"Nggak tau, aku pengen aja manggil Om dengan sebutan Ayah," jawab Novia. "Aku gak punya Ayah, Om. Aku pengen banget punya Ayah. Om gak keberatan 'kan aku panggil Om, Ayah?"
"Nggak dong. Justru Om suka banget dipanggil Ayah sama kamu," jawab William seraya tersenyum lebar. "Tapi ngomong-ngomong, emangnya Ayah kamu ke mana? Apa beliau sudah meninggal?"
Novia menggelengkan kepala seraya menundukkan kepala.
"Terus, Ayah kamu di mana?"
"Kata Ibu, aku gak punya Ayah."
William seketika bergeming hingga seorang perawat kembali memasuki ruangan tersebut.
"Ini resep obat yang harus Anda tebus, Pak. Hanya dua macam aja ko," ucap sang Perawat seraya menyerahkan resep obat.
"Baik, Sus. Terima kasih," jawab William seraya menerima apa yang diberikan oleh Perawat tersebut. "Novia, sekarang Ayah akan antar kamu ke tempat Ibu, ya."
Novia menganggukkan kepala dengan wajah ceria. Ia pun perlahan mulai bangkit lalu berdiri tegak seraya menggendong tubuh anak itu lalu melangkah meninggalkan ruangan. Tommy yang sedari tadi hanya menunggu di luar seketika berdiri tegak saat melihat sang majikan.
"Gimana, Pak Bos. Anak ini gak apa-apa, 'kan? Kakinya gak perlu sampe diamputasi, 'kan?" tanyanya merasa khawatir sekaligus merasa bersalah karena kelalaiannya dalam berkendara, anak itu hampir saja celaka.
"Astaga, Tommy. Kalau ngomong itu jangan sembarangan, masa cuma luka gitu aja sampe diamputasi?" decak William.
"Kirain, Pak Bos. Tadi saya liat darahnya banyak banget soalnya."
"Diamputasi itu apa?" tanya Novia dengan wajah polosnya.
"Nggak, Sayang. Bukan apa-apa." William tersenyum cengengesan lalu mengalihkan pandangan matanya kepada sang asisten. "Sekarang kamu tebus obat ini, Tom," Wiliam menyerahkan resep yang diberikan oleh Perawat.
"Terus, acara pembukaan Mall kita gimana, Pak Bos? Mereka udah nungguin kita di sana lho, Pak?" tanya Tommy seraya menerima apa yang diberikan oleh sang majikan.
"Diundur besok aja, Tom. Hari ini saya ada urusan penting, kita antarin Novia ke Ibunya."
"Novia?" Tommy seketika mengerutkan kening. "Nama anak ini Novia? Namanya kayak si--"
"Udah gak usah dibahas. Cepetan tebus obat ini, saya tunggu kamu di mobil, oke?" sela William seolah tahu apa yang hendak diucapkan oleh sang asisten.
Pria itu berjalan melintasi Tommy bersama Novia yang masih di dalam gendongannya. Tommy menatap kepergian mereka dengan kening yang dikerutkan. Nama gadis itu mengingatkannya kepada seseorang.
"Kenapa bisa kebetulan nama anak itu hampir sama kayak nama seseorang, ya? Apa mungkin--" Tommy menahan ucapannya sekejap. "Akh, gak mungkin. Gak mungkin kalau anak itu anaknya mbak Nova. Hahaha! Dunia tidak sesempit itu kali, Tom!" Tommy berbicara sendiri seraya tertawa nyaring.
***
William benar-benar mengantarkan Novia kepada ibunya yang tengah bekerja sebagai petugas pembersih jalan. Gadis kecil itu nampak tersenyum lebar duduk di dalam mobil dengan wajah ceria. Ini adalah kali pertama baginya menaiki mobil mewah dan rasanya seperti mimpi.
"Mobil Ayah bagus banget," celetuk Novia seraya menyentuh setiap bagian di dalam mobil.
"Kamu suka mobil ini?"
Novia menganggukkan kepala masih dengan senyuman yang sama. Sementara Tommy hanya menghela nafas panjang seraya menatap wajah William dari pantulan kaca spion, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat majikannya sebahagia itu. Namun, Tommy dibuat bingung dengan panggilan ayah yang disematkan oleh Novia.
"Kenapa Novia manggil Pak Bos Ayah? Akh ... bingung saya," batin Tommy seraya menggelengkan kepala.
"Oh ... itu Ibu, Yah," sahut Novia seraya menunjuk ke arah luar.
William sontak menatap ke arah yang sama seperti anak itu. Beberapa petugas kebersihan dengan mengenakan seragam yang sama berwarna orange nampak sedang menyapu dedaunan yang berserakan di pinggir jalan.
"Ibu kamu yang mana, Novia?" tanya William, mereka semua terlihat sama dari kejauhan.
"Itu, yang pake topi sama masker, Yah!"
Kendaraan beroda empat itu perlahan mulai melipir lalu berhenti tepat di tepi jalan, Novia bergegas membuka pintu mobil lalu berlari menghampiri sang ibu dengan wajah ceria. Hal yang sama pun dilakukan oleh William dan juga asisten pribadinya.
"Ibu!" seru Novia, seorang petugas yang tengah khusuk menyapu pun seketika menoleh dan menatap wajah sang putri seraya membuka masker yang menutup separuh wajahnya.
"Novia!" sahut wanita tersebut seraya tersenyum lebar.
Bersambung