William seketika bergeming, tatapan matanya nampak menatap ke arah samping melayangkan tatapan kosong. Otaknya kembali traveling memikirkan wanita bernama Nova yang sudah menyakiti perasaanya sedemikan rupa. Selama lima tahun ini, tidak pernah barang sedikit pun ia melupakan kenangan indah bersama wanita itu. Nova memang berhasil menorehkan luka di hatinya, tapi juga mengukir kenangan indah yang tidak mampu ia lupakan.
Sejak perpisahan menyakitkan malam itu, William tidak pernah melihat wajah cantiknya lagi. Meskipun sesekali ia kerap mengunjungi kediamannya meski hanya melihatnya dari kejauhan. Namun, tidak sekalipun Nova menunjukkan batang hidungnya di sana. Ia bahkan tidak tahu apakah wanita itu masih hidup atau sudah tiada. Benar seperti apa yang baru saja diucapkan oleh Tommy, wanita bernama lengkap Novariyanti itu bak menghilang ditelan bumi.
"Sebenarnya kamu di mana, Nov? Kenapa kamu menghilang begitu saja? Apa madam Lee benar-benar menyakiti kamu dan--" William menahan ucapan di dalam hatinya seraya menghela nafas panjang. "Akh sudahlah, saya gak peduli apa kamu masih hidup atau udah mati."
"Pak Bos," sapa Tommy seketika membuyarkan lamunan panjang seorang William. "Anda masih mau kita mengunjungi rumah itu?"
"Hah? Eu ... kata siapa saya minta kamu ke sana, hah? Kamu ini, so tau banget jadi orang," decak William tersenyum sinis. "Saya itu mau mampir ke rest area dulu buat sarapan."
Tommy tersenyum cengengesan seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Maaf, Pak Bos. Saya pikir Anda mau ke sana. Eu ... emangnya Anda gak sempat sarapan?"
"Saya lagi males sarapan di rumah. Saya males liat wajah istri saya," jawab William datar.
Tommy hanya tersenyum ringan dalam menimpali ucapan sang majikan. Tatapan matanya nampak lurus menatap ke depan di mana jalanan ibu kota membentang hampir dipenuhi oleh kendaraan beroda empat. Ada rasa iba yang terselip di dalam lubuk hati seorang Tommy. Ia tahu lebih dari siapapun seberapa tulusnya perasaan sang majikan kepada wanita bernama Nova dan sebesar apa rasa kesepian yang dirasakan oleh William yang sampai detik ini pun belum dikaruniai keturunan, lebih tepatnya Selly istri dari majikannya itu menolak memberikan keturunan dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.
"Maafin saya Nyonya Selly, kedengarannya memang jahat, tapi saya berharap Pak Bos bisa ketemu lagi sama mbak Nova, cuma dia wanita yang bisa membahagiakan Pak Bos," batin Tommy, andai dia mampu, ia akan mencari Nova ke manapun demi melihat kebahagiaan sang majikan.
Perjalanan dilanjutkan dengan diiringi lantunan musik. Tommy sengaja memutar lagu milik band Ungu berjudul Kekasih Gelapku agar perjalanan panjang mereka tidak terlalu sepi. Liriknya yang dalam membuat pikiran seorang William kembali melayang ke masa lalu, bayangan wajah cantik wanita bernama Nova perlahan mulai singgah di otak kecilnya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia begitu merindukan sang kupu-kupu malam.
***
Setelah menempuh perjalanan selama hampir tiga jam karena terjebak kemacetan, pukul 09.30 mobil Pajero yang ditumpangi oleh William akhirnya tiba di kota Bandung, kota yang dijuluki Kota Kembang karena terkenal dengan keindahan paras kaum hawa yang tinggal di sana.
"Kita langsung ke mall aja ya, Pak Bos," pinta Tommy seraya memutar stir mobil, jalanan kota Bandung tidak sepadat ibu kota. "Atau, apa Anda mau kita ke hotel dulu, Pak? Kalau ada waktu, Anda bisa istirahat dulu sebentar di sana."
"Langsung aja ke Mall, sekalian saya mau lihat-lihat dulu di sana," jawab William datar.
"Baik, Pak Bos," jawab Tommy seraya menoleh dan menatap wajah sang majikan sekejap lalu kembali menatap lurus ke depan.
Akan tetapi, karena aksinya itu, mobil yang dikendarai oleh Tommy hampir menabrak seseorang mengejutkan William tentu saja. Tommy secara refleks menginjak pedal gas menimbulkan suara gemericit.
"Astaga, Tommy!" teriak William, tubuhnya hampir saja terjungkal.
"Ya Tuhan," seru Tommy, segera membuka pintu mobil lalu keluar dari dalamnya dengan perasaan terkejut.
"Huaaaa! Sakiiiiiit!" teriak seorang anak perempuan berusia lima tahun.
Gadis kecil berpakaian lusuh itu nampak duduk di atas aspal dengan lutut terluka juga mengeluarkan darah segar. Tommy segera menghampirinya, hal yang sama pun dilakukan oleh William.
"Ya Tuhan," decak Tommy seraya menggendong anak tersebut.
"Astaga, dia gak apa-apa 'kan, Tom?" tanya William dengan kedua mata membulat segera menghampiri sang asisten. "Langsung aja bawa ke Rumah Sakit, Tommy. Biar saya yang nyetir, kamu gendong dia ke mobil."
"Maafin saya, Pak Bos. Saya gak sengaja nabrak anak ini," lirih Tommy seraya memeluk anak yang tengah menangis sesenggukan tersebut.
"Udah, minta maafnya nanti aja. Sekarang cepat kita ke Rumah Sakit."
Tommy menganggukkan kepala lalu berjalan ke arah mobil kemudian masuk ke dalam sana begitu pun dengan William yang bertukar posisi dengan sang asisten. Pria yang saat ini berusia 44 tahun itu segera menyalakan mesin mobil lalu melaju meninggalkan tempat itu menuju Rumah Sakit terdekat.
"Bagaimana sama acara pembukaan Mall kita, Pak Bos?" tanya Tommy duduk di dalam mobil seraya memangku tubuh mungil gadis kecil itu.
"Huaaaa! Sakiiiiiit! Ibuuuu," teriak anak tersebut, suaranya terdengar melengking dan memekikkan telinga.
"Kita urus dulu anak ini, nyawanya lebih penting," jawab William seraya menginjak pedal gas guna mempercepat laju mobil yang ia kendarai.
"Baik, Pak Bos," jawab Tommy patuh lalu menunduk menatap wajah cantik anak tersebut. "Sabar sebentar ya, Dek. Kita udah mau nyampe di Rumah Sakit. Tahan sebentar lagi."
"Aku gak mau ke Rumah Sakit, aku mau Ibuuu!" Anak itu kembali berteriak menyerukan nama sang ibu, sementara luka di kedua lututnya semakin deras mengeluarkan darah segar. Sepertinya, kedua lutut kecilnya membentur aspal.
***
Di Rumah Sakit, anak yang belum diketahui namanya itu nampak berteriak histeris saat petugas medis membersihkan luka dikedua lututnya. William nampak menemani di sana, pria itu bahkan memangku tubuh mungilnya agar anak itu tidak terlalu banyak bergerak. Rasanya benar-benar sakit saat luka tersebut diseka menggunakan kain kasa. Tangis anak itu pun semakin keras memekikkan telinga menahan rasa perih yang luar biasa.
"Argh! Sakiiit, Ayah! Sakit banget!" teriaknya seraya memeluk erat tubuh berbalut jas hitam seorang William, derasnya air mata anak itu bahkan membasahi permukaan jas tersebut.
"Ayah?" gumam William seraya menunduk menatap wajah anak berambut panjang itu.
Rasanya benar-benar aneh saat dirinya dipanggil ayah. Panggilan yang terasa menyentuh relung kalbunya, ia sudah lama sekali mendambakan seorang anak kecil yang memanggilnya ayah. Bibirnya seketika tersenyum kecil seraya mendekap erat tubuh anak itu.
"Iya, Sayang. Sebentar lagi selesai ko. Lukanya pasti cepet sembuh kalau udah diobati. Sabar, ya," lirihnya mencoba untuk menenangkan.
"Sebenarnya siapa anak ini? Jika diizinkan oleh orang tuanya, saya ingin mengadopsi dia," batin William, keinginan itu timbul begitu saja dihatinya.
Bersambung