19. Kegelisahan Hati Agras

1040 Words
Cahaya matahari menyilaukan mata Olsho, saat ia mulai terbangun. Matanya sedikit berat dan perih, remang serta pelan ia membukanya dan langsung melihat ke langit-langit yang menutupi mereka dari panasnya hawa yang di hasilkan atap. Olsho mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi lengan kirinya sedikit berat ia melirik kesamping dan melihat bahwa Agras masih tertidur di sana. Lengannya sebagai bantal. Kemarin setelah sarapan, Agras dan dirinya masuk kedalam kamar, kemudian mereka pun saling berbicara satu sama lain. Olsho mengatakan bahwa ia dan para uskup muda harus kembali ke Tron tanpa dirinya. Dari omongannya itu Agras sepertinya keberatan tapi ia lebih memilih banyak diam dan tak protes. “Aku ingin ikut pulang, kenapa tak boleh?” Begitu tanya Agras pada Olsho. “Aku merindukan Ayah dan Ibuku.” “Tidak. Hidup barumu di sini, kau pasti tahu kan kalau ini bukan sekedar liburan,” ujar Olsho. Agras mengangguk. “Kau adalah reinkarnasi baru dari sang pahlawan, mimpi yang kau dapatkan itu adalah cara Roh penjaga alam semesta berkomuniskasi dengamu.” Agras yang mendengar hal itu ia tak berespon, sepertinya bingung dengan apa yang terjadi. Padahal sebelumnya semua orang mengatakan bahwa itu hanya mimpi bunga tidur sana, tapi kemudian mereka mengatakan bahwa itu bukan sekedar mimpi. Mana yang harus ia percaya dan harus tidak ia percaya. Olsho menangkap kebingungan itu. Kemudian ia mengajak Agras keluar kasti pagi itu untuk melihat rumah barunya dan kehidupan yang akan ia jalani di sana. Agras menganguk mengerti dan mereka pun berkeliling melihat sekitar kastil besar yang penuh dengan pohon dan bangunan tinggi itu. sangat berbeda dengan yang ada di Tron. Meskupin Tron adalah pusat ibukota Valgava, tapi tak banyak bangunan tinggi yang menjulang, karena sang walikota meminta bahwa bangunan rumah tak boleh lebih tinggi dari gereja, maka dari luar tembok puncak-puncak gereja akan terlihat indah berwarna putih serta bagian ujungnya terdapat patung perantara yang mereka sembah di sana. Sedangkan Lumiren, banyak sekali pohon dan hutan, kastil cukup besar dan banyak, seolah mengatakan bahwa ada sesuatu yang dilindunginya di dalam sesuatu yang sangat berharga serta tak boleh disentuh dari luar. “Konon katanya ada sebuah air terjun yang menghubungkan Valgava dengan Doglus,” ujar Olsho ketika mereka duduk di sebuah bangku di bawah pohon. “Bukankah jalah menuju Doglus ada di Spalda?” tanya Agras kemudian, karena yang ia baca dari buku begitu. “Itu jalan biasa, ini adalah jalan yang hanya diketahui para penyihir, air terjunnya memiliki arus yang cukup kuat hingga para penyihir rendah akan terseret dan mati,” kata Olsho. “Aku ingin kesana,” ucap Agras kemudian. “Boleh, tapi kau harus kuat hingga bisa kesana, maka dari itu kau harus belajar sihir di Lumiren, para penyihir di sini hebat-hebat bahkan aku sendiri ingin berada di sini, tapi gereja membutuhkan kami.” Agras mengangguk, ia tak tahu harus melakukan apa. Olsho sepertinya tak berhasil membujuk Agras bertahan di sana, Agras bukan anak kecil yang bisa di suap dengan permen lalu diam, ia seolah perpikir jauh tentang konsekuensi apa yang akan ia dapatkan nantinya. Lalu mereka kembali ke kastil, waktu berjalan begitu cepat dan malam pun datang. Olsho mengatakan pada Agras untuk tidur di lengan dan dadanya jika itu membantu menenangkan pikiran, anggap saja seperti halnya seorang ayah pada anaknya. Entah mengapa Agras mengindahkan omongan itu, ia tertidur begitu pulas di lengan Olsho, ia tak merasa jijik harus melakukannya, mungkin jika ia menjadi Richard itu seperti persenggamaan dua lelaki dalam satu ranjang, tapi saat itu berbeda, ia sedang merasa khalut dan khawatir satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang hanyalah Olsho. Hingga sampai ia tertidur dengan tenangnya. Dalam tidurnya itu sebenarnya ia banyak bermimpi, bertemu dengan orang-orang yang mengakui sebagai para reinkarnasi. Deretan laki-laki yang mungkin ada sekitar delapan orang, berbicara tak jelas padanya dan mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari dirinya, Agras tak paham dan juga tak mengerti dengan semua yang terjadi, ia bingung harus melakukan apa, kehidupannya menjadi begitu kacau. Lalu pagi menjelang lagi, saat itulah mereka bangun kini dan melihat semua hal. Olsho membangunkan Agras dengan perlahan, karena ia tak ingin meninggalkan saat anak itu masih terlelap dalam tidurnya. Olsho menggoyangkan tubuh Agras, kemudian ia bangun dengan sedikit menguap dan membuka matanya perlahan. Agras mengumpulkan nyawanya yang berserakan entah kemana kala tidur, ia juga berusaha membuang semua pikiran tentang mimpi aneh itu, ia tak ingin mencerikan dengan Olsho bukan karena menurutnya tak penting tapi ia tak ingin ada suatu pemikiran lain yang menghancurkan pikirannya, apalagi setelah pagi ini Olsho akan kembali ke Tron dan ia akan sendirian. “Sudah pagi, ya?” tanya Agras sambil mengucek matanya. “Sudah, mari bangun,” kata Olsho pada Agras. Kemudian Agras bangkit, mendudukkan tubuhkan. Tubuhnya sudah cukup segar, pikirannya juga tak begitu lelah lagi, karena ia harus membuangnya begitu jauh rasa khalut dan ketakutan yang ada tentang hidupnya. Jika terus ia pikirkan, maka akan semakin sakit semuanya. “Kalau sudah sampai Tron, bilang salamku pada Ayah dan Ibu kalau aku sayang pada mereka,” ujar Agras. “Aku pasti akan mengatakan hal itu pada mereka, kau tak perlu khawatir,” ucap Olsho sembari tersenyum kemudian ia duduk sejajar dengan Agras, menatap wajah anak itu seolah masih melihat ketakutan. “Mari bersiap, kau harus mengantarkan kepergianku ke Tron bersama dengan yang lain.” Agras mengangguk. Kemudian ia dan Olsho pun bersiap diri untuk mengawali hari ini. olsho akan kembali ke Tron sedangkan Agras memiliki hidup baru di Lumiren, mulai hari ini semua hal terjadi tak seperti yang Agras harapkan. Kehidupan barunya akan jauh lebih menakutkan lagi, seperti yang selalu tertanam dalam pikirannya. Beberapa waktu kemudian, Olsho dan kedua uskup muda pun selesai bersiap, dengan kereta kuda yang diberikan Destron mereka pun pergi ke Tron, sebab kereta kuda yang mereka miliki sudah rusak akibat serangan penyihir hitam. “Jaga dirimu baik-baik,” kata Olsho. Agras mengangguk. Itu sebagai ucapan perpisahan, kemudian Olsho melambaikan tangannya lalu bersamaan dengan kereta kuda itu yang berjalan mereka pun pergi meninggalkan kastil itu dan menyusuri jalanan kota Lumiren. Olsho sebenarnya cukup berat hati meninggalkan Agras seorang diri di Lumiren, meskipun Olsho tahu bahwa itu memang tugas dari reinkarnasi seorang pahlawan, tapi bagaimana pun Agras masih begitu kecil, seorang anak kecil dengan pikiran terlalu rapuh untuk bertahan seorang diri jauh dari keluarga. Kini ia tak lagi bisa melihat Agras karena jarak yang sudah begitu menjauh darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD