18. Sebuah Kisah dari Konon Katanya (2)

1366 Words
Dahulu kala, Roh penjaga alam semesta timur ketika memilih Vastoarta menjadi pahlawan dan pelindung dunia bukan tanpa sebab, meskipun dua dari empat Roh penjaga alam semesta, yakni Selatan dan Utara tak yakin dengan keputusan tersebut. Menurut mereka intisari paling murni dari alam semesta itu tak akan bertahan lama ditubuh seorang manusia yang begitu rapuh. Namun, Roh penjaga timur mengatakan bahwa itu bukanlah keinginannya tapi sebelum mengatakan itu ia sudah diberitahu Sang Esa untuk melakukannya. Maka ketika mendengar hal itu ketiganya termasuk Mithila pun menyetujuinya, kemudian intisari paling murni dari alam semesta yang berwarna putih terang di jagad paling jauh dimasukkan dalam tubuh Vastoarta. Saat itu Vastoarta masih begitu kecil dan lemah, sesaat setelah kedua orangtuanya mati akibat terbunuh para iblis. Vastoarta sebelumnya sudah disimpan di hutan belantara negeri Tears, saat tubuh kecilnya hampir saja termakan oleh harimau-harimau ganas saat itulah intisari paling murni masuk kedalam tubuhnya dan ia di ambil langsung oleh Sang Naga Abadi. Kehidupan Vastoarta kecil berubah seketika, ia menjadi anak yang luar biasa, tumbuh disebuah dunia roh dan hampir tak mengenal manusia lain selain dirinya. Sang Naga Abadi menganggap Vastoarta sebagai cucunya dan memberinya kekuatan begitu hebat, meskipun tanpa bantuan dari Sang Naga Abadi, inti murni di dalam tubuh Vastoarta itu sudah sangat luar biasa dan tak bisa terbayang lagi. Olsho mendengar cerita-cerita tentang kepahlawanan itu saat usianya masih sangat kecil, saat itu ayahnya sering sekali mendongengkan untuknya setiap malam ketika ia dan adiknya hendak tidur. Olsho senang sekali mendengarkan cerita dongeng dan legenda, maka dari itu ketika ia berusia sepuluh tahun ia nekat itu belajar membaca dan bahasa termasuk di dalamnya Lotren, bahasa yang paling banyak digunakan di Earthonius. Satu tahun ia belajar membaca perlahan ia menguasainya dan ia bahagia dengan itu, tapi kehidupannya cukup pedih saat desanya terbakar habis, kedua orangtua serta adiknya menjadi korban dari kebakaran itu, ia kemudian dibawa kepanti asuhan di kota Spalda. Ketika berada di sana, ia belajar banyak hal dari anak-anak yang memiliki kehidupan sama dengannya. Karena dirinya yang suka sekali mencari tahu hal baru, ia belajar dengan para uskup dan biarawan. Ketika usianya menginjak 15 tahun ia menjadi seorang biarawan muda dan tinggal di gereja tak lagi di panti asuhan. Tak lama setelah itu ia menjadi seorang uskup muda, pemimpin gereja memintanya pindah ke Tron karena saat itu di sana sedang membutuhkan seorang uskup. Perjalanan menuju Tron cukup jauh, mengingat bahwa Spalda adalah kota paling barat daya di Valgava sedangkan Tron kota ujung timur, dua hari kemudian ia sampai di Tron dan memulai hidup barunya. Setelah tahun di sana, ia menikmati segalanya, kota indah dan tenang, dekat dengan laut yang menyegarkan mata. Setelah satu tahun di Tron ia mendengar bahwa ada seorang anak berusia sepuluh tahun yang sudah pandai membaca dan bisa berbicara bahasa Lotren, mendengar hal itu Olsho penasaran dan kemudian menemui anak itu. Ia adalah Agras, berkenal dengan Agras ternyata membuat takdir hidupnya berubah drastis, apalagi saat tahu bahwa dirinya menjadi pelindung dari sang reinkarnasi pahlawan penjaga alam semesta. Bukan hanya menjadi seorang pelindung tapi Olsho bisa pergi ke Lumiren dan juga bertemu dengan orang yang selama ini ia kagumi setelah uskup besar, yakni Destron pemimpin dari kelompok Kelahiran Penyihir. Dari buku dan cerita yang ia dengan Destron begitu hebat, memiliki sihir yang luar biasa, ia pun belajar sihir dengan gigih karena kekagumannya itu. Cerita-cerita dan ingatan itu kemudian berlalu sesaat setelah ia tidur, kini pagi sudah menjelang, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Olsho membuka mata karena mendengar ketukan yang cukup mengganggu itu, setelah selesai mengumpulkan nyawanya ia pun kemudian bangkit dari tidur lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. Dengan mata remang-remang karena tampakan cahaya silau Olsho melihat kedua rekannya di depan pintu, dua uskup muda yang datang ke Lumiren bersamanya. “Bagaimana keadaan kalian?” tanya langsung Olsho pada keduanya. “Kami sudah baik, seolah tubuh kami tak pernah terluka sedikit pun,” kata uskup muda pertama. Olsho berusaha menerima omongan itu, entah kenapa kemudian ia melihat tubuhnya sendiri, begitu juga kakinya yang sempat cidera dan membuatnya harus menariknya sekarang sudah sembuh, ia berjalan dengan santai ketika bangun tidur tidur. “Aku pikir tubuhku juga begitu,” ujar Olsho meyakinkan dirinya sendiri dengan apa yang ia rasakan. Saat ketiganya sedang berbincang, dari kejauhan Laika menuju kearah mereka dan ketika sudah dekat ia pun lansung menyapa ketiganya dengan sangat baik. “Tuan Destron mengajak kalian untuk sarapan, anak bernama Agras juga sedang menuju kesana,” kata Laika. Ketiganya mengangguk. Lalu ketiganya mengikuti Laika yang berjalan menuju makan. Olsho sudah berharap-harap cemas ingin bertemu dengan Agras, karena entah sudah berapa lama ia tak melihatnya, tapi kemungkinan ada beberapa hari sebab luka itu membuatnya tak sadarkan diri cukup lama. Tak berapa lama ketiganya bersama dengan Laika sampai di ruang makan, di sana sudah ada Destron dan beberapa orang yang tak Olsho tahu, kemungkinan mereka adalah anggota dari kelompok Kelahiran Penyihir. Olsho mengedarkan pandangan tapi ia belum melihat kehadiran Agras mungkin anak itu belum datang. Destron dan beberapa orang tersenyum menyambut Olsho dan kedua uskup muda dengan ramah, Laika dan pelayan lainnya melayani mereka dengan baik, kemudian Agras datang seorang diri seperti yang sudah seharusnya, kedatangan Agras itu membuat beberapa orang sedikit terkejut entah karena karena, Olsho tersenyum mengetahui bahwa Agras baik-baik saja sedangkan Destron entah mengapa air mukanya berubah seketika, yang tadinya ramah mengulum senyum menjadi sedikit angkuh. Agras duduk di samping kanan Olsho, Laika yang khusus melayani Agras di sana. Agras sendiri yang datang malah bingung dengan jamuan yang cukup megah, ia tak lagi berpikir bahwa itu tetaplah liburan seperti yang Laika katakan. Laika seolah bukan pemandu tapi pelayan, apalagi ia duduk di dekat Olsho yang sejak tadi tak berkata apapun padanya, padahal seharusnya Olsho bertanya keadaanya, begitu juga dengan kedua uskup muda yang membawanya ke Lumiren. Di sisi meja depan Agras melihat lima orang dengan pakaian yang cukup mewah, dua perempuan tiga laki-laki sedangkan di kursi utama seorang laki-laki yang menatapnya dengan mata tajam seorang tak menyukainya. Agras sedikit menurunkan matanya, bukan waktunya ia sombong sebagai Richard yang tak tahu dengan tatapan orang. Kini posisinya berbeda. Semuanya makan dengan tenang, tak ada yang berbeda, tak ada pembicaraan berlebihan dan kemudian acara selesai begitu saja. Ketika keluar dari ruang makan itu Olsho dan kedua uskup muda langsung menanyakan banyak hal padanya, rentetan pertanyaan yang sebenarnya inti dari semuanya adalah bagaimana keadaanya. Dan Agras hanya bisa menjawab bahwa dirinya baik-baik saj, Laika merawatnya dengan baik dan ia sangat terbantu dengan itu. Keluar dari ruang makan itu Agras bisa menarik napasnya leganya, karena ia merasa bahwa di dalam sana tadi begitu mencekam hingga membuatnya tak berkutik, seolah ada hawa yang memaksanya untuk tak bersuara dan tak melakukan apapun selain hanya diam dan makan seperti yang lainnya. Setelah itu ia pun kembali kekamar tapi kini ia ingin tidur bersama dengan Olsho setelah banyak hal yang terjadi ia sepertinya ingin tenang, apalagi saat Laika mengatakan bahwa dirinya tak sadarkan diri selama lebih dari tiganya, pantas saja ia bingung setelah terbang dari tidur yang cukup panjang itu. Keempatnya termasuk dirinya pun masuk kedalam kamar masing-masing. Begitu sampai di dalam kamar Agras lagi-lagi bisa menarik napas lega dan tenangnya, kini hanya ada dirinya dan Olsho di dalam sana. Agras tiba-tiba saja memeluk Olsho begitu erat seolah ada beban dan ketakutan yang menjelma menjadi satu di dalam tubuhnya yang tak bisa ia katakan dengan sebuah kalimat, tapi itu sangat mengerikan sekali. “Aku lelah.” Hanya dua kata itu yang bisa Agras ucapkan, lalu ia melepaskan pelukan dari tubuh Olsho. Olsho malah tersenyum simpul melihat kegelisahan Agras. “Memelukku lagi jika kau ingin. Semua hal ini mungkin membuatmu sedikit trauma, wajar kau masih begitu kecil.” Agras mengangguk mendengar omongan itu. Kemudian keduanya duduk di ranjang yang sama, dengan pikiran masing-masing. Olsho berpikir bagaimana caranya ia mengatakan pada Agras bahwa dirinya harus kembali ke Tron dan meninggalnya seorang dirinya, ia tak begitu tega melihat raut wajah bingung anak kecil itu. Namun, bagaiamana pun ia harus meninggalkan Agras, karena tugasnya saat ini begitu berat dan sangat sulit. Agras yang langsung dipilih oleh jiwa sang pahlawan menggantikannya untuk mencegah apa yang akan dilakukan Raja Iblis. Olsho tak mungkin berada di sana terus menerus karena ia harus kembali, gereja membutuhkan dirinya dan juga para uskup muda lainnya, ia sangat yakin para penyihir Lumiren akan melindunginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD