Kopi Pahit

1040 Words
Aku terbangun saat seseorang menepuk pundak. "Turun Mba, sudah sampai," ucap kernet bus. "Di mana ini?" "Tanjung Tum." Nama tempat yang sangat asing untukku. Ketika menoleh ke sekeliling, ternyata sudah tidak ada penumpang lain. "Ini daerah mana ya, Bang?" "Anyer." Setelah membayar ongkos, aku bergegas turun. Kepalaku terasa pusing, menangis berlebihan nyatanya membuatku lelah hingga ketiduran dalam bus sepanjang jalan. Aku melihat pedagang kaki lima sudah mulai tutup, jalanan terasa lengang dan sepi, hanya ada beberapa orang yang masih duduk di sekitar pantai. Perahu-perahu berjejeran. Langkahku mulai mendekat ke arah dermaga. Kulihat ada perahu berukuran sedang yang akan berangkat. Ada beberapa orang di dalamnya, mungkin ini adalah perahu tumpangan. "Permisi," ucapku pada lelaki tua yang mengenakan jaket tebal. "Ya?" "Perahu ini hendak ke mana?" "Pulau Sangiang." "Boleh saya menumpang ke sana?" Entah apa yang ada dalam pikiranku sehingga akhirnya aku ingin memutuskan ke tempat yang sama sekali tidak kuketahui. Menurutku sebuah pulau bisa menjadi tempat pelarian yang aman dan cukup tersembunyi. Semoga saja Mas Danil tidak akan pernah bisa menemukanku. "35000 ongkosnya. Mau?" Aku mengecek dompet, tersisa selembar berwarna merah dan selembar warna biru. "Iya, Pak." Aku setuju. Perahu bergerak meninggalkan dermaga. Meski mengenakan hoodie tebal tetap saja angin laut mampu menembus kulit. Hening, tidak ada suara percakapan penumpang. Hanya suara mesin dan debur ombak yang beradu. Satu jam lebih di atas perahu sukses membuat perutku mual. Perahu yang kutumpangi akhirnya bersandar di dermaga. Orang-orang yang satu perjalanan denganku berjalan ke arah tujuannya masing-masing. Sedangkan aku? Aku tidak tahu harus ke mana setelah ini. Langkahku gontai menyusuri dermaga, warung-warung kecil telah tutup. Malam semakin meninggi. Cuaca gelap dan terdengar guruh halilintar di kejauhan. Gerimis mulai turun, tubuhku menggigil. Kudekap tas berisi baju ke depan d**a, mulai berlari kecil tak tentu arah. Hujan semakin deras seiring derasnya air mata yang jatuh dari pipiku. Beruntung aku melihat sebuah resto yang tak seberapa besar masih buka, sebaiknya aku berteduh di sana. Baru saja langkah ini sampai, seorang lelaki bertubuh tinggi mulai menarik rolling door resto. Biarkan saja, aku tak peduli jika lelaki itu akan menutupnya, kuhempaskan tubuh ke bangku panjang dekat pintu, duduk dan terisak dengan dua tangan menutupi muka. "Maaf, resto ini mau tutup." Aku mendengar lelaki itu berkata tapi rasa sedihku tak bisa lagi dibendung. Aku menangis sejadi-jadinya. "Tidak apa-apa menangis saja dulu. Aku bikinin teh hangat manis, mau?" Lelaki itu menawariku. Semoga saja dia bukan lelaki jahat. "Kalau ada, aku ingin kopi saja," pintaku kemudian. "Baiklah, tunggu sebentar di sini. Aku akan membuatkannya." Tangisku terhenti, mencoba mendongakkan wajah untuk menatap lelaki yang barusan bicara denganku tadi. Lelaki itu sedikit terperanjat saat pandangannya mengarah ke wajahku yang sudah tak lagi mengenakan masker. Apa mungkin wajahku terlihat menakutkan dengan luka lebam ini? "Kopi hitam saja gulanya sedikit." "Baiklah, tunggu sebentar di sini. Aku akan membuatkannya." Tidak berapa lama, lelaki itu kembali dengan secangkir kopi di tangannya. Ia meletakkan kopi itu di meja, tepat di depanku. Uap kopi mengepul, aroma khasnya menguar dan tercium hidungku. Kedua tanganku meraih cangkir, tetapi untuk mengangkatnya dua tanganku bergetar menahan ngilu. "Masih panas, Mbak. Mau aku bantu?" Lelaki itu mendekat kini dia berhadapan denganku, jaraknya begitu dekat dariku. Dia meraih cangkir kopi lalu mulai mendekatkannya ke mulutku. Untuk beberapa saat aku terdiam mencoba membaui aroma kopi yang uapnya masih mengepul. Aroma itu terasa melegakan dan merilekskan otot tubuh yang tegang. Perlahan-lahan aku menyeruput kopi itu sedikit demi sedikit. "Terima kasih," ucapku pada lelaki yang kini meletakan gelas kopi bekasku di meja. "Aku La ...." Tidak, aku tidak boleh mengenalkan diri sebagai Laysa. Mengubah nama kurasa lebih tepat untuk saat ini. "Lara." "Willan." Lelaki itu menyebutkan namanya. Mata tajamnya menatap lekat memperhatikan bagian wajahku. "Kenapa wajahmu bisa luka dan kebiruan seperti ini?" tanyanya kemudian. "Habis dikeroyok atau ...." Wilan mulai menerka-nerka. "Tolong tutup rolling doornya. Aku takut orang-orang itu akan menemukanku." Willan bangkit ia menuruti permintaanku menutup pintu rolling door resto. "Orang-orang siapa?" "Aku takut seseorang itu bisa menemukanku di sini." Bergetar suaraku mengatakan itu, air mata jatuh tak tertahan dari kedua sudut netra. "Tenanglah, jangan takut. Di sini aman. Kamu mau ke mana sebenarnya? Aku bisa mengantarkan ke tempat yang ingin kamu tuju. Atau ... kamu tengah melarikan diri?" Aku mengangguk. "Dari suamimu kah?" Kembali aku mengangguk. "Kenapa?" tanyanya lagi. "Dia yang membuatku luka lebam seperti ini." Mata lelaki itu membesar, mungkin terkejut dengan pengakuanku. "Tolong selamatkan aku. Setidaknya biarkan aku di sini semalam. Besok aku akan pergi mencari tempat yang aman." "Ya, tentu saja kau boleh bermalam di sini." "Rasanya aku ingin mengahiri hidup," gumamku putus asa. "Apa kau pikir dengan bunuh diri semua akan selesai? Tidak, Nona. Kau pasti akan menjadi arwah penasaran karena tidak diterima oleh Tuhan. Berpikirlah dengan waras." *** Pagi. Aku terbangun seperti orang linglung. Semua terasa seperti mimpi saat aku menyadari apa yang telah terjadi. Lelaki itu? Pandanganku menyapu sekeliling. Tidak ada siapa pun di dalam resto yang masih tertutup ini. Ke mana Wilan? Ah, bodoh sekali aku, pastilah dia pulang ke rumahnya. Saat beranjak dari bangku panjang tempatku berbaring, mata ini melihat secarik kertas yang tergeletak di meja. 'AKU PULANG KE RUMAH. JIKA PAGI INI KAU BANGUN DAN KESULITAN SAAT HENDAK KELUAR DARI RESTO, KAU BISA LEWAT BELAKANG. PINTUNYA TIDAK DIKUNCI. ATAU JIKA KAU MAU MENUNGGUKU, AKU BISA MEMBANTU MENCARIKANMU TEMPAT TINGGAL. JAGA DIRIMU BAIK-BAIK NONA. SEBERAPA KALI PUN DUNIA MENJATUHKANMU, TETAPLAH BANGKIT DAN BERLARI LAGI.' Aku tersenyum membaca isi surat dari Willan. Bersyukur sekali karena dia lelaki baik, kalau jahat mungkin semalam aku tidak selamat tidur di tempat ini. Tidak, aku tidak mau merepotkan Willan. Setelah merapikan diri langkahku beranjak keluar, menyusuri jalan untuk mencari tempat tinggal. Membuka dompet, hanya tersisa uang 115000. Bagaimana bisa aku bayar kontrakan dengan sisa uang segini? Aku termangu di bawah kolong jembatan tak jauh dari sisi pantai. Menatap laut dengan pikiran gamang. Ini pulau kecil yang sangat indah, beberapa pengunjung mulai ramai. Dari sini bisa kulihat resto tempatku tadi malam menginap sudah banyak didatangi pengunjung, beberapa toko kecil sudah mulai buka. Ada juga beberapa turis asing yang sedang berjemur di bibir pantai. Benar apa yang dituliskan oleh Willan, seberapapun dunia menjatuhkan aku harus bangkit dan berlari lagi. Aku harus kuat. Toh dunia tetap berputar, kehidupan terus berjalan tanpa peduli dengan luka dan penderitaan yang kualami. Kalau aku tidak bangkit itu artinya aku kalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD