Malam di sini tentu berbeda dengan malam di kota yang pernah kutinggali. Tidak ada bising suara kendaraan, tidak ada bising suara musik-musik dari rumah tetangga, semua telah berbeda. Tak apa toh adanya aku di sini tidak terlepas dari garis takdir yang telah ditentukan oleh Sang Maha. Hidup baru yang kujalani adalah pilihan yang telah kupikirkan matang-matang. Lagi pula untuk apa terus bertahan dengan Danil jika setiap saat jiwa dan raga ini terus dilukainya?
Aku perempuan merdeka, tak akan kubiarkan siapa pun menorehkan luka dan menindas semaunya. Aku perempuan merdeka yang bisa pergi kapan saja saat tempatku berlindung sudah tak nyaman untuk ditinggali. Perempuan merdeka bisa bebas menentukan apa saja untuk hidupnya bukan?
Aku memang sebatang kara, tetapi Tuhan tak pernah membiarkanku sendirian di dunia. Tak ada penyesalan dalam hati saat aku harus pergi dari rumah besar yang pernah kutinggali, karena di sini jiwaku bebas, raga pun selamat dari tangan kasar lelaki yang pernah menjadikanku sebagai isteri. Selamat tinggal masa lalu yang pernah menorehkan luka di sepanjang d**a. Selamat datang masa depan yang akan kujalani sebaik-baiknya, tanpa harapan pada manusia karena aku tahu sumber kecewa adalah harapan kita yang begitu besar pada sesama tapi tidak terkabulkan, itu mengapa mulai saat ini tak akan pernah kugantung harap selain pada yang kuasa. Bahkan pada cinta mungkin aku sudah trauma.
Bangunan yang kutinggali ini adalah sebuah rumah panggung kecil yang terbuat dari papan kayu, saat tadi masuk yang tercium di hidung adalah bau apak kayu. Sarang laba-laba meraja di mana-mana, bisa kupastikan kalau tempat ini sudah lama tidak ditinggali. Sebenarnya ada rasa aneh yang menyelinap hati tentang bangunan yang kutempati ini, cukup terpencil dan lumayan jauh dari rumah-rumah penduduk. Hanya ada bangunan ini dan tak ada satu pun rumah lagi yang kulihat, benar-benar seperti terisolir. Tidak jadi masalah sebenernya, bagiku yang penting ada tempat untuk tidur dan berlindung dari hujan dan binatang buas. Semoga saja di sini tidak ada binatang buas karena aku tidak mau mati di perut hewan. Menyapu ruangan ini sudah selesai, aku harus membersihkan dipan panjang dan dua kursi kayu menggunakan lap basah, agar debunya hilang. Tetapi di mana letak airnya? Apa ada di belakang bangunan ini? Baru saja hendak beranjak, tiba-tiba terdengar suara pintu kayu diketuk dari luar.
“Lara … ini aku Kania, apa kau sedang sibuk di dalam?”
Mendengar suara Kania, aku segera membuka pintu.
“Aku baru saja selesai menyapu lantai.”
“Boleh aku masuk?”
“Tentu, masuklah Kania.”
Perempuan dengan rambut blonde itu tersenyum, di tangannya ada dau plastic hitam entah berisi apa. Ia melangkah masuk setelah aku menggeser tubuh sedikit mepet ke arah pintu untuk memeberinya ruang karena pintunya berukuran kecil.
Setelah menutup pintu aku mendekat ke arah Kania, ia mengeluarkan barang bawaannya di atas dipan kayu.
“Kamu pasti butuh peralatan mandi, juga lampu yang lebih terang untuk di ruangan.”
“Jadi beli ini semua buat aku?”
Kania mengangguk, perempuan itu juga mengeluarkan dua bungkus nasi padang dan dua botol air mineral.
“Kita makan dulu, nanti aku bantuin beres-beres yang lain,” ucapnya seraya menyodorkan satu bungkus nasi beserta lauk itu padaku.
Kami makan bersama. Kania tipikal perempuan dewasa yang supel dan luwes, itu mengapa aku merasa nyaman dan enjoy di dekatnya. Tidak ada rasa canggung meski pun aku dan Kania baru bertemu dan baru mengenal satu sama lain, detik ini aku percaya bahwa masih banyak orang baik yang Allah kirim setelah orang terdekatku menorehkan luka hingga membuatku hilang kepercayaan.
“Aku tidak menemukan air atau tempat mandi, apa letaknya ada di belakang?” tanyaku setelah menandaskan setengah botol air mineral.
“Oh iya aku lupa memberitahumu, di sini adanya sumur jadi kita harus nimba dulu. Di belakang sih kamar mandinya tapi tenang saja karena tempatnya tertutup kok.”
“Bagiku tempat gak masalah yang penting ada airnya.”
Kania mengacungkan jempolnya, “Cakep.”
“Ternyata kamu bukan tipe cewek yang ribet, jadi bisa enjoy di tempat seperti apa pun,” katanya lagi. Ia membereskan bekas bungkus nasi lalu memasukkan sampah itu ke dalam plastik.
“Tempat segini buatku udah nyaman banget dari pada ngeringkuk di kolong jembatan.” Mendengar ucapanku Kania mengangguk lagi.
“Ayok ke belakang, biar kubantu pasang lampunya juga.”
Kami beranjak ke arah pintu belakang dan benar saja, ada sumur tua yang masih lengkap dengan alat timbanya. Benar-benar tradisional, alami, dan terasa menyatu dengan alam. Boleh kukatakan satu hal? Aku jatuh cinta pada suasana alami dan kesederhanaan ini.
***
Pagi ini aku tergesa-gesa menuju ke tempat kerja, jarak tempatku yang lumayan jauh dengan Toko Salimar harus ditempuh dengan berjalan kaki. Di sini tidak ada tukang ojek, apalagi tukang becak bahkan angkutan umum pun sepertinya tidak ada. Kalau pun ada mobil itu hanya milik pribadi. Percayalah pulau tempatku ini sangat eksotis, cantik, natural dan belum banyak terjamah tangan-tangan ke moderenan. Lima belas menit waktu yang kutempuh dengan berjalan kaki untuk sampai ke toko. Untungnya tidak telat, karena Bu Salma juga baru datang, ia menyerahkan kunci rolling door dan aku langsung membuka tokonya.
“Banyak barang yang sudah kosong dan supplier belum juga datang,” ucap Bu Salma sambil memeriksa rak penyimpanan barang di bagian tengah. Aku masih sibuk mengelap meja kasir.
“Apa tidak dihubungi saja para supliernya lewat ponsel, agar mereka bisa secepatnya mengirim barang?”
“Percuma, Ra. Mereka juga ke sini tergantung kapal besar yang mau melintas ke pulau ini. Kecuali kita mau belanja sendiri ke sana dengan perahu tumpangan biasa, tapi repot juga kalo belanjaan yang kita beli banyak.” Penjelasan Bu Salma membuatku mengerti, betapa di pulau ini tidak mudah untuk bisa cepat mendapatkan stok barang, selain itu alat transportasi juga terbatas. Pantas saja saat kuperhatikan harga item barang di sini jauh lebih mahal dari mini market yang ada di kota.
“Apa yang bisa aku bantu?” tanyaku sambil mendekat ke arah Bu Salma. “Lara bisa kok belanja menyebrang pulau, yang penting sertakan alamatnya dengan jelas. Karena Lara belum tahu daerah mau pun kota kecil di dekat sini.”
Bu Salma memperhatikanku dari agak lama, kemudian senyumnya terkembang sempurna, perempuan berwajah oval itu menepuk lembut pundakku.
“Semangat kerjamu sangat bagus, Ra. Tapi aku tidak tega jika harus menyuruhmu belanja dan harus menyebrang pulau, kecuali jika Wilan kebetulan akan menyebrang juga ke sana.”
“Maksud Bu Salma?” tanyaku tidak mengerti dengan kalimat yang baru saja di ucapkannya, apa lagi tadi perempuan itu menyebutkan nama Wilan.
“Biasanya kalau Wilan ada sesuatu yang harus dibeli dan barangnya tidak ada di wilayah ini, dia akan pergi ke seberang untuk membeli barang yang dicarinya, biasanya sih saat kehabisan stok bensin. Jadi aku hanya bisa mengizinkanmu menyebrang jika itu sama Wilan, karena aku percaya Wilan itu lelaki baik dan bisa dipercaya,” tuturnya panjang lebar.
Aku hanya tersenyum menanggapi, tidak mau berkomentar apa pun karena tentu saja kepercayaanku terhadap lelaki pernah terbunuh hingga menimbulkan trauma yang entah sampai kapan bisa sembuh.
“Permisi Bu Salma, aku butuh satu paket buku gambar beserta pinsil warnanya.” Satu orang pembeli pagi ini datang mengagetkanku, dia seorang anak kecil perempuan yang kutaksir usianya baru tujuh tahun.
“Ada Sayang, sebentar ya,” jawab Bu Salma seraya berdiri dari posisi berjongkoknya.
“Biar aku saja yang ngambilin, Bu.”
Bu Salma mengangguk, kemudian aku mulai mendekati gadis kecil itu dengan membawa barang yang ditanyakannya tadi.
“Mau menggambar apa? Ada tugas sekolah ya?” tanyaku beruntun sambil menyodorkan buku gambar dan juga pinsil warna ke hadapannya.
“Tidak ada tugas, aku hanya ingin menggambar saja. Menggambar wajah Bunda. Bundaku sangat cantik,” ungkapnya antusias. “Bu Salma juga tahu kalau Bunda aku itu sangat cantik, iya kan, Bu?”Gadis itu berkata dengan suaranya yang cempreng. Terlihat sangat lucu dan menggemaskan
“Ya, cantikmu juga sama seperti Bundamu.” Bu Salma mendekat dan menjawil hidung bocah itu dengan gemas.
“Siapa namamu gadis cantik?” tanyaku penasaran.
“Aku ….”
“Astaga, ternyata kamu di sini,” suara seseorang di pintu masuk memotong ucapan gadis kecil yang baru saja hendak menyebutkan namanya.
Aku, Bu Salma, dan gadis kecil tadi, kami menoleh serempak ke arah lelaki yang kini berdiri di ambang pintu.