Sesampai di rumah Rain langsung masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh sekaligus otaknya yang terasa mendidih. Selesai mandi dia malah melamun sambil menatap jendela yang tak tertutup. Baru beberapa hari di Jakarta ia sudah membuat ulah, bahkan saat ia tak melakukan kerusuhan pun ada saja orang yang membencinya karena karakter yang ia miliki.
Alisnya bertaut, ia baru ingat akan ada pertemuan ekskul musik hari ini. Mau datang malas, kalau tidak datang rasanya seperti ada yang mengganjal. Rain cukup menyayangkan karena handphone-nya rusak, ia yang membanting handphone itu sampai hancur saat adu mulut dengan Reza di tempat mas Jul menjual nasi gorengnya. Kalau tiba-tiba datang bisa canggung nanti. Rain langsung merebahkan tubuh di kasur, lebih baik ia gunakan waktu kali ini untuk tidur.
Namun cukup disayangkan saat ia baru memejamkan mata ada yang mengetuk pintu sambil mengucap salam, Rain kenal suara itu meski ia baru kenal sang empunya suara beberapa hari yang lalu, itu Syifa. Rain berdecak pelan lalu bangun dari kasur dan segera membukakan pintu untuk Syifa, sebobroknya akhlak yang ia miliki, Rain masih punya perasaan tak nyaman saat ada orang mengetuk pintu tapi tak ia buka.
Rain mengangkat sebelah alisnya saat Syifa sudah ada di depannya -- ciri khas Rain saat dipanggil atau saat ingin mengatakan kata, "apa?"
Syifa tersenyum manis, lebih terlihat seperti lega dengan apa yang sedang ia pastikan. "Tadi di jalan aku beli makanan, makan bareng yuk, ini bukan bentuk apapun, pure karena aku mau makan sama kamu aja, serius," ucap Syifa sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya secara bersamaan membentuk huruf V.
Rain mundur beberapa langkah ke belakang. "Masuk," ucap Rain.
Syifa masuk masih dengan senyuman mengembang, sebenarnya ia takut menghampiri Rain, tapi karena khawatir Rain tidak makan atau menahan pusing sendiri, akhirnya ia memberanikan diri untuk datang ke kamar kost Rain. Syifa terlalu sering memikirkan orang lain -- seperti orang itu sudah makan atau belum dan pemikiran baik lainnya -- terlebih jika orang itu ia kenal dekat. Dan menurutnya, Rain sudah ia kenal dekat.
"Aku beli dua, Rain, ayo kita makan," ucap Syifa.
Rain tersenyum kecil, dahulu ia ingin sekali memiliki teman, dan kini ia memilikinya, terlebih orang itu seperti Syifa, orang yang bisa memahami Rain, mengalah dari sikap yang Rain miliki, Rain baru menemukan orang seperti Syifa di dunia ini, mungkin karena dahulu ia tinggal di lingkungan berbeda. Ia cukup bersyukur akan hal itu -- setidaknya pilihan untuk merantau ke Jakarta tidak memberikan efek buruk untuknya.
Syifa yang melihat Rain tersenyum kecil malah jadi merinding, Rain itu memiliki kepribadian yang sulit ditebak. Ia tak paham dari senyuman yang Rain berikan, entah itu ke arah positif atau negatif, tapi setidaknya Rain bisa tersenyum seperti itu kepadanya.
"Terima kasih." ucap Rain pelan sambil membuka bungkusan makanan dari Syifa.
Syifa yang sudah menyuap makanan ke dalam mulut langsung tersedak saat mendengar Rain mengucapkan terima kasih. Syifa mengangguk sambil tersenyum, ia bahagia karena Rain sudah tak lagi berat mengucapkan kata terima kasih.
"Iya sama-sama, Rain."
"Oh ya, bukannya hari ini kamu ada perkumpulan ekskul musik? Sekarang udah jam setengah tiga, lho, kalian, kan, kumpulnya jam tiga? Mau bareng aku enggak? Aku juga mau ke sekolah karena ada kegiatan."
Rain terdiam beberapa saat untuk berpikir, tak lama kemudian ia mengangguk, mood-nya sudah lebih membaik berkat kedatangan Syifa.
"Aku mau beres-beres dulu deh, nanti aku samper, ya?" ucap Syifa sambil bangun dari duduknya.
"Gua aja yang samper," ucap Rain saat Syifa hendak keluar.
Syifa mengangguk sambil tersenyum. "Oke deh, aku tunggu, ya, assalamu'alaikum." Setelah mengatakan itu Syifa langsung menutup pintu kamar Rain dan segera bergegas menuju kamar kost-nya.
Rain terdiam kembali, ia masih tidak percaya mengapa mood-nya bisa turun-naik seperti ini, saat sendiri ia merasa sedih kembali, daripada larut dalam kesedihan lebih baik langsung bergegas saja.
***
Reza dan Devan sudah ada di sekolah sejak jam dua, dia gunakan waktu satu jam untuk main bola dengan teman-temannya di lapangan sekolah. Ia dan Devan sama-sama mengikuti ekskul musik, sejak SMP dua anak itu memang sudah sering perfom di atas panggung.
Devan bersiul saat melihat Rain dan Syifa melewati lapangan, laki-laki yang ada di lapangan pun ikut menoleh ke arah Rain dan Syifa. Reza menyipitkan mata saat tanpa sengaja ia dan Rain saling bertatapan. Rain memang cantik, dan Reza mengakui itu. Sampai detik ini ia masih bingung dengan karakter Rain.
"Syifa mau ke mana?" tanya Devan sambil melambaikan tangannya, pasca ditolak Rain saat hendak berkenalan Devan sudah tidak berani menegurnya, terlebih setelah tahu kalau Rain itu dinginnya melebihi Reza.
Syifa tersenyum kecil, anak itu memang tak bisa menampakkan wajah galak dengan siapa pun. "Ekskul," jawabnya singkat lalu menunduk kembali.
Bola tiba-tiba melayang, Reza sengaja mengarahkannya kepada Rain, ia pun tak paham kenapa sampai berpikiran ingin menimpuk Rain dengan bola. Rain langsung menangkapnya, inilah yang sedang Reza cari tahu, ternyata Rain memang punya respon yang cepat.
"Sorry," ucap Reza sambil berlari ke arah Rain.
Rain menatapnya dengan tatapan yang sulit dideskripsikan. Devan yang mulai sadar kalau temannya sedang mencari perhatian Rain dengan cara berbeda hanya bisa bersiul mengejek.
"Kalau Rain sama Reza nikah anaknya batu es kali, ya?" ucap Devan kepada teman-temannya. Teman-temannya hanya tertawa, walaupun sebagian baru saling kenal tiga hari yang lalu, mereka sudah tahu bagaimana Rain dan Reza, nama dua orang ini memang lumayan terkenal.
Bukannya menaruh bola di tangan Reza yang sudah menunggu sejak tadi, Rain malah melemparnya, untung saja Reza bisa menangkap sebelum bola itu mengenai wajah.
"Lu sengaja, kan?" ucap Rain, "lu kira gua enggak bisa nangkep bola? Walaupun gua perempuan, gua juga bisa main bola, apalagi soal tangkap-menangkap kayak gitu, jangan remehin gua!" ucap Rain.
Tiba-tiba Reza malah tertawa, entah mengapa marahnya Rain kali ini tidak terlihat garang, malah menggemaskan.
"Kok lu ketawa? Enggak percaya?"
Reza bertolak pinggang sambil menggelengkan kepala.
Syifa berusaha menenangkan Rain, kalau saja Syifa tidak memaksanya untuk pergi, mungkin Rain akan mengalahkan Reza di lapangan siang ini.
"Awas lu!" ucap Rain sambil menunjuk Reza dengan jari telunjuknya, Syifa terus berusaha untuk menarik tubuh Rain agar segera menjauh.
Reza malah tertawa saja melihat Rain seperti itu. "Dia di luar dugaan gua," ucap Reza sambil melempar bola ke arah Devan.