BAB 11

1002 Words
Karena tak mau guru memberitahu ayah dan ibunya di Malang, Rain memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja setelah kembali ke kelas. Saat Rain masuk, kelas yang sebelumnya ramai langsung sepi seketika. Rain menghela napas pelan, berusaha mengontrol diri, lebih baik terlihat cuek daripada lemah--karena perspektif itulah Rain sering tidak memedulikan perasaan orang lain. Jangankan perasaan orang lain, untuk memahami perasaan sendiri saja ia masih sering bingung. Bahkan Syifa yang biasanya banyak bicara pun kini tak berani bertanya kepada Rain, dia hanya memerhatikan Rain dari pintu masuk sampai duduk di sampingnya. Saat Rain pergi tadi, teman kelas bertanya banyak kepadanya, dari bagaimana rasanya berteman dengan Rain, bagaimana karakter Rain, dan lain sebagainya, Syifa hanya mengatakan kalau selama ini Rain baik kepadanya, hanya saja cara dia menampakkan kebaikan itu berbeda dengan orang lain. Saat pelajaran terakhir dimulai, guru Bahasa Inggris menatap Rain dengan tatapan penasaran, akhirnya dia mendekat. Dia tersenyum ke arah Rain, tapi Rain bahkan tak menatapnya sama sekali. Guru Bahasa Inggris tahu dari Bu Ira tentang apa yang terjadi dengan Rain hari ini. "Kamu udah enakan, Nak?" tanya Bu Saras--Guru Bahasa Inggris. Rain mengangguk sambil menatap manik mata Bu Saras, dalam sekali tatap saja sudah terlihat sekali kalau Rain ini anak yang kurang didikan tata krama. Sebenarnya tidak sopan menatap guru seperti itu, tapi Rain malah melakukannya. "Oke, semoga kamu selalu baik," ucap Bu Saras sebelum kembali melangkah ke depan. Rain menundukkan pandangan, ia tidak paham kenapa orang lain terus menatapnya dengan tatapan penasaran, penuh curiga dan iba, padahal ia tak mengharapkan itu. Ia pun tak paham mengapa harus memiliki nasib seperti ini, terlalu mengenaskan untuk ia yang benci dikasihani. *** Setelah jam pelajaran berakhir Rain tidak langsung pulang karena kepala sekolah memanggilnya. Ia sudah tahu apa yang akan ditanyakan dan apa yang akan ia jawab. Awalnya Syifa mau menemani, tapi karena ekskul-nya sudah mulai aktif, ia jadi tak bisa menemani Rain, lagi pula sendiri pun Rain berani. Saat sampai di dalam ruangan kepala sekolah, suasana sangat sepi, hanya ada kepala sekolah dan bu Ira, sudah pasti dia yang memberitahukan masalah ini kepada guru lainnya. "Kamu bahkan enggak ucap salam, ya, masuk ke ruangan guru?" ucap Pak Theo--kepala sekolah. Rain tidak menjawab pertanyaan Pak Theo, ia hanya duduk rapih sambil menatap sepatu, tidak ada rasa takut, lebih ke tidak mau banyak bicara. "Guru mengajak bicara pun kamu enggak jawab?" ucap Pak Theo lagi. Rain menghela napas pelan, padahal ia ingin cepat-cepat istirahat, mereka malah melambatkan waktu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. "Rain, sesuai apa yang saya cari tahu dari guru-guru dan teman kelas kamu, kamu ini salah satu siswi yang apatis, bahkan untuk mengucapkan terima kasih pun kamu sangat berat. Saya tahu kamu dari keluarga terpandang, tapi perilaku ini tidak bagus dan tidak sesuai dengan persyaratan siswi di sekolah kami," ucap Pak Theo sambil menatap Rain yang terus saja menunduk. "Rain ... di atas bumi masih ada langit, jangan melangit dan ingat bumi karena sesungguhnya kita hanya makhluk bumi yang lemah," ucap Pak Theo lagi. Rain mengepalkan tangan kuat-kuat, giginya mengigit kuat bibir bawah, semua orang terus saja memandang sikap buruknya tanpa mencari tahu dahulu apa sebabnya. "Rain ...," panggil Bu Ira. Rain mendongak sambil tersenyum hambar. "Teruslah berbicara, teruslah menilaiku, jangan berikan aku celah untuk bicara, biarkan batinku yang ramai, bibirku cukup menempel tanpa terangkat. Hakikat hidup yang terlalu ... ah, kalian enggak akan paham bagaimana perasaanku kalau kalian enggak merasakannya secara langsung. Setiap akibat selalu berawal dari sebab, tapi yang kalian nilai hanya dari sisi akibat," ucap Rain, ia pun tak menyangka bisa bicara seperti itu. Seketika ruangan yang sepi tambah sepi, pengap dan sesak. "Pak, bicaranya dengan ...," ucap Bu Ira kepada Pak Theo. Pak Theo mengangguk paham, tadi ia hanya mengetes kesabaran Rain, Bu Ira bilang orang yang tak sanggup mendeskripsikan masalahnya akan terpecut untuk bebas berbicara saat orang lain bicara dengan apa yang tidak menjadi kenyataannya. "Boleh kami mengundang orangtuamu ke sekolah, Nak?" tanya Pak Theo. Kali ini Rain tertawa. "Udang aja, mereka enggak akan datang, sekretaris ayahku yang akan mewakilinya, mereka sangat sibuk." Sekarang Pak Theo dan Bu Ira mulai paham akar masalahnya, orangtua Rain terlalu sibuk, Rain tidak suka dikasihani, dan kata kunci lainnya. "Baiklah, kamu boleh pulang, mulai saat ini belajarlah untuk menjadi siswi yang beretika." Rain mengangguk. "Aku pergi." Setelah mengatakan itu Rain sungguhan pergi. "Rain ...," panggil Fatih dari arah parkiran. Rain menoleh, alisnya terangkat sebelah sebagai kata ganti dari, "apa?" "Maaf karena aku panggil bu Ira kamu malah kena masalah sama kepala sekolah," ucap Fatih. Rain mengangguk, bahkan ia tak pernah berpikir untuk menyalahkan orang lain tentang masalah ini. "Lu enggak salah, jadi jangan minta maaf." Fatih tersenyum kecil, sisi-sisi bibirnya terdapat lesung pipi kecil, wajahnya jadi tambah manis saat tersenyum. "Saat semua orang menatap kamu dengan tatapan enggak suka karena kamu sombong, aku lebih melihat kalau kamu itu kesepian, mulai sekarang, kita bisa menjadi teman, semua teman kelas pasti bakal welcome sama kamu, kalau kamu bisa sedikit memberikan perhatian kecil--ikut mengobrol contohnya--jangan merasa kesepian lagi." Jantung Rain berdegup kencang, dari sekian banyak orang, baru ia temui orang yang bisa mendeskripsikan perasaannya dari sudut pandang lain seperti Fatih. Rain tertawa kecil, gingsulnya yang jarang terlihat karena ia jarang tertawa kini mulai terlihat, dan ini kali pertamanya Fatih melihat Rain tertawa. "Karena lu pun kesepian, makanya bisa bilang kayak gitu," ucap Rain asal, ia tidak mau terlihat berlebihan dengan Fatih. Tanpa mau mendengar perkataan Fatih lagi Rain langsung pergi begitu saja. Fatih terdiam sesaat, bisa-bisanya ia bicara seperti itu kepada Rain, untungnya anak itu tidak sampai mencengkram kerah bajunya seperti Reza saat istirahat tadi--Fatih salah satu saksi mata. Fatih langsung memukul bibir pelan. Yang Rain katakan tadi tidak benar, ia tidak merasa kesepian karena keluarganya banyak, teman SMP-nya pun banyak, Fatih memang terlihat pendiam, tapi kalau sudah kenal dekat dia bisa membuat siapa saja nyaman dengan sikap lembut, pengalah, gentle dan lain sebagainya yang ia miliki. Karena itu dahulu ia tak hanya mendapat penggemar dari kalangan siswi, guru-guru pun banyak yang kagum dengan ia, sekedar kagumnya guru dengan siswa teladan saja, tidak lebih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD