Melihat Rain keluar begitu saja tanpa bilang terima kasih lagi, Reza mendengkus tidak suka. "Sesusah itu bilang terima kasih?" ucap Reza dalam hati. Ia tidak menggubris OSIS UKS yang terus saja mengajaknya bicara. Tanpa basa-basi dia langsung keluar begitu saja. Sudah dikatakan, mereka sebenarnya memiliki sikap yang hampir sama. Hanya saja mereka tidak sadar.
Saat Rain sampai kelas ternyata guru sudah tidak ada lagi, kelas yang awalnya ramai jadi sepi ketika Rain masuk. Tak lama setelah itu, Reza dengan kemeja yang masih terlihat bercak darah meski sudah dicuci dengan air masuk dengan santai, seolah sekarang ini ia sedang tidak menjadi bahan lihatan orang. Di mana orang-orang akan grogi, tidak dengan Reza.
Rain menatap Syifa sekilas, tidak hanya pakaiannya saja yang syar'i, Syifa memang perempuan yang berprilaku syar'i, bahkan di mana orang-orang menghabiskan waktu di jam kosong dengan main atau bicara tidak berfaedah, tidak dengan Syifa, dia malah sibuk membaca Al-Qur'an dengan suara sangat kecil, Rain pun hanya bisa mendengar samar.
Ketika melihat Rain datang dia menghentikan kegiatannya lalu menatap Rain dengan tatapan khawatir, Rain terhenyak, selama ini ia belum pernah merasakan yang namanya dikhawatirkan seorang teman. Ternyata seperti ini rasanya dikhawatirkan teman. Rain langsung membuang muka, ia tidak mau terlalu berlebihan, karena hasil dari sikap berlebihan sering kali berupa kekecewaan.
"Apa ada yang sakit, Rain? Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Syifa dengan wajah khawatir yang jelas sekali.
Rain mengangguk. "Enggak apa-apa," jawabnya bohong, sebenarnya sekarang ia masih lemas dan pusing. Ia hanya tidak ingin dikasihani, sudah menjadi kebiasaan Rain sejak dulu. Sering kali berkata tidak apa-apa, padahal dia jauh dari kata baik.
Syifa menghela napas pelan, terlihat lega setelah mengetahui kalau Rain baik-baik saja. "Satu jam lagi pulang, dan selama satu jam ini kita enggak ada pelajaran, nanti pas pulang kalau kamu emang masih lemas aku bisa antar, rumah kamu di mana?" tanya Syifa.
Rain menggeleng. "Enggak usah, lagi pula gua nge-kost, kost-nya pun dekat dari sini, gua bisa pulang sendiri," ucap Rain sambil mengelap hidungnya dengan tissue. Darahnya sudah tidak ada, tapi ia masih ingin memastikan dengan tissue-nya sendiri.
"Aku juga nge-kost, soalnya di daerah aku jarang ada sekolah negeri, sementara aku mau banget sekolah negeri, apalagi di SMA X ini. Awalnya aku enggak dapat izin, tapi karena abba kasihan sama aku, jadilah aku diizinin asal tinggal di KMP, salah satu kost yang bekerja sama dengan sekolah, jadi aman, insyaallah."
Rain mengangguk, Syifa ini kalau dari buku yang pernah Rain baca memiliki karakter yang asyik diajak bicara, sebab dia bisa menjelaskan apa yang sebenarnya tidak ditanya.
"KMP?" ulang Rain, ia baru tersadar kalau nama kost itu sama dengan kost yang ia tempati.
Syifa mengangguk. "Iya di KMP, dekat banget dari sini, cuma jalan kaki beberapa menit udah langsung sampai."
"Gua juga tingal di sana," ucap Rain.
Mata Syifa berbinar. "Wah ... asyiknya, duduk deketan, tempat tinggal pun samaan, semoga kita bisa jadi teman baik mulai sekarang dan seterusnya," ucap Syifa excited.
Rain tertawa hambar, sebenarnya ia masih bingung mengapa ada orang seheboh Syifa, yang hebohnya itu kalau sedang berdua saja. Kalau sudah dipanggil ke depan langsung kaku seperti robot baru beli.
"Yaudah nanti kita pulang bareng, ya, Rain?" tawar Syifa.
Rain mengangguk, sebenarnya ia lebih nyaman sendiri, tapi mengingat tujuan ia datang ke Jakarta untuk memperbaiki diri, jadi apa salahnya jika ia belajar menjadi orang yang lebih pandai berbaur sekarang.
***
Tepat saat bel pulang melengking-lengking, Syifa dan Rain segera bergegas merapihkan tasnya lalu bangun dari kursi. Mereka akan pulang bersama hari ini dan mungkin seterusnya.
"Dulu tuh aku sekolah enggak ada laki-laki, enggak ada orang yang lepas jilbab, sekolah di sini jadi pengalaman baru buat aku," ucap Syifa sambil berjalan, dia memang pandai memulai topik pembicaraan.
Rain hanya mengangguk menanggapinya, dahulu pertama kali ia kenal teman di bangku SMP sehari bicara dengannya orang-orang itu langsung menjauhi Rain. Terlebih, setiap kali Rain diajak liburan ia selalu tidak ikut, mereka mengira Rain anak yang sombong, padahal ia seperti itu karena memang diperintahkan orangtuanya, jadi daripada setengah-setengah, lebih baik sekalian terlihat sombong saja.
"Kalau kamu Rain, dengar-dengar dari yang duduk di sebelah aku, kamu itu sekolah di sekolah elite, ya, pas SMP, teman-teman kamu kayak gimana tuh, Rain? Kamu pasti orang berada, ya, Rain, wah ... bersyukurnya kamu. Aku waktu kecil suka ngebayangin, gimana rasanya jadi orang kaya."
Rain tersenyum menanggapinya, dia hanya tidak tahu saja, kalau tidak semua orang kaya itu bahagia. Ia pribadi saja merasa jauh dari kata bahagia. Ia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya bahagia, bagaimana rasanya sengsara, semuanya sama saja bagi Rain, hambar.
Baru saja Rain hendak mengangkat suara, urung saat tiba-tiba ada yang berdiri di hadapannya, menghentikan langkah Rain dan Syifa. Mereka sekawanan perempuan tidak berjilbab, pakaian ketat, dan yang lebih menonjol adalah wajah yang menampakkan sok senior, mereka dari kelas XI, satu tingkat lebih tinggi dari Rain dan Syifa.
Syifa berusaha untuk terlihat sopan, tapi tidak dengan Rain, dia justru menampakkan wajah dingin, ia tatap sekawanan perempuan itu dari atas sampai bawah.
"Mau gua colok mata lu?" ucap perempuan berambut pirang, wajahnya cantik, selain itu dia juga punya body yang bagus. Dia Felin, perempuan yang sudah mengagumi Reza sejak mereka masih di bangku SMP.
Rain berdecak kesal, langit sedang panas-panasnya, melihat wajah mereka yang songong membuat Rain tambah gerah. Baru satu langkah maju, Felin menghentikan langkahnya, ia mendorong bahu Rain dengan jari telunjuknya.
Alis tebal Rain bertaut tidak terima, selama ini ia kurang suka dengan kekasaran, dikasarkan seperti itu membuatnya naik pitam.
"Mau lu apa, sih? Tiba-tiba datang pamer wajah songong, banyak bicara, dan sekarang dorong gua?" tanya Rain dengan volume suara naik satu oktaf.
Felin tertawa. "Ternyata kayak gini anak dari sekolah elite? Anak kesayangan mama-papa." Felin menepuk tangannya sambil tersenyum jahat. "Enggak beda jauh sama brandal di sekolah kumuh."
Felin kira Rain akan naik pitam dengan perkataan itu, tapi yang terjadi malah sebaliknya, Rain tersenyum miring, lebih terlihat mengejek. "Sadar enggak sih kalau sebenarnya lu itu lagi jabarin diri lu sendiri, brandal!"
Felin tidak habis pikir kalau Rain akan berkata demikian, niat awal ingin memberikannya pemahaman kalau Reza adalah miliknya, kini yang terjadi malah saling adu mulut.
"Rain, udah minta maaf aja, habis itu kita pulang," ucap Syifa.
"Gua bukan orang rendahan yang bisa direndahkan sama brandal macam mereka," ucap Rain.
Mata Felin membulat, ia maju lebih dekat dengan Rain, tangan lentiknya langsung mencengkram kedua bahu Rain dengan keras. Mereka adu tatapan tajam, sampai akhirnya Rain yang mendorong Felin sampai dia jatuh ke lantai.
Kali ini Felin sudah tidak bisa menahan emosinya, ia bangun lalu langsung menjambak kerudung paris yang Rain kenakan. Syifa ikut heboh, ia berusaha untuk melerai, tapi tidak bisa, yang ada dia malah terjatuh ke lantai.
Hampir saja kerudung Rain terlepas kalau tidak ada orang yang melepaskan cengkraman Felin dari kerudung yang Rain kenakan. Ternyata dia Reza, orang yang menjadi sumber awal pertengkaran ini terjadi.
Syifa membawa Rain mundur beberapa langkah, kini Felin berhadapan dengan Reza.
"Dia yang mulai lebih dulu," ucap Felin sambil merapihkan rambutnya.
"Gua lihat semuanya," ucap Reza, "gua bukan bermaksud ngatur hidup lu, gua cuma mau kasih saran aja, harusnya sebagai kakak kelas lu malu berlaku kayak gitu ke adik kelas, gua aja yang lihatnya malu." Setelah mengatakan itu Reza langsung pergi begitu saja. Menyisakan Felin yang terdiam malu dan Syifa yang sedang merapihkan kerudung Rain.
"Urusan kita belum selesai," ucap Felin sebelum akhirnya pergi bersama teman-temannya.