BAB 3

1012 Words
Istirahat pertama di sekolah baru membuat Rain sedikit kikuk. Ia tidak langsung bangun saat bel istirahat berbunyi. Di mana orang-orang langsung semangat, dia malah terlihat lesu. "Kamu mau ke kantin enggak, Rain?" tanya Syifa. Rain menoleh, tidak langsung menjawab. Ia malah menatap wajah Syifa dengan wajah datarnya. "Em ... yaudah kalau kamu enggak mau ke kantin. Maaf ganggu kamu." Rain mengerjap, dipikir-pikir ada baiknya juga kalau ia tidak sendiri. "Mau," ucap Rain tepat saat Syifa bangun. Syifa tersenyum senang. "Ayo." Rain bangun lalu berjalan lebih dulu. Syifa segera mengikuti langkahnya. Saat sampai di kantin, Rain tidak tanggung-tanggung memesan makanan. Syifa sampai melongo melihatnya. Mau menegur tidak enak karena sekarang sedang banyak orang. "Kamu emang enggak takut sakit perut makan sebanyak itu, Rain?" tanya Syifa saat mereka sudah duduk di bangku. Rain menggeleng seraya menyeruput jus alpukat miliknya. Ia lihat Syifa hanya memesan satu mangkuk bakso dan segelas es teh, sementara ia, ada jus alpukat, aqua dingin, bakso dan burger. Ia memang sengaja membeli makanan banyak agar nanti siang tidak perlu makan lagi, ia malas ke luar kost siang-siang. "Enggak baik tau, Rain," ucap Syifa lagi. Bahkan dia belum sama sekali memakan makanannya. "Kenapa?" tanya Rain. "Sesuai sunnah Rasul, makan sebelum lapar berhenti sebelum kenyang, tapi kalau makanannya udah dibeli kayak gini, mau enggak mau kamu harus habiskan karena kalau enggak dihabiskan nanti mubazir." "Pasti habis," jawab Rain cepat setelah itu ia langsung melahap burger. Setelahnya tidak ada pembicaraan lagi, Syifa dan Rain sama-sama sibuk dengan makannya masing-masing. Ternyata benar, Rain bisa menghabiskan makanannya dengan waktu lumayan cepat. *** Tepat di pintu masuk Rain bertubrukan dengan orang. Ia sampai terjatuh ke lantai. Dagunya terbentur, entah terbentur apa. Ia meringis karena rasanya memang sakit. "Sorry, gua enggak tau kalau ada orang." Ternyata dia Reza. Devan menutup mulut melihat temannya menubruk orang lain karena ulahnya. Sebenarnya ia yang mendorong Reza, mungkin kalau ia tidak mendorong Reza walaupun akan bertubrukkan Rain tidak akan sampai terjungkal ke lantai. Reza mengulurkan tangannya, Rain langsung mendongak dengan wajah tidak bersahabat. Ia menghela nafas berat lalu bangkit dan masuk ke dalam kelas begitu saja. Syifa sampai berlari kecil untuk menghampiri Rain. "Lu, sih!" omel Reza. Devan langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. "Sorry." Kini giliran Devan yang ditinggalkan. Sama seperti Syifa, dia harus berlari kecil untuk menghampiri Reza. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi, siswa dan siswi yang sebelumnya di luar langsung bersegera masuk ke dalam kelas. Tepat saat guru masuk tiba-tiba Rain merasa ada sesuatu mengalir dari hidungnya. Saat ia pegang dan lihat, matanya langsung membulat. Darah. Syifa yang tidak sengaja menoleh ke arahnya pun ikut khawatir. "Rain, kamu mimisan?" ucap Syifa pelan, tapi dapat didengar oleh orang yang duduk di sebelah Rain, hanya beda meja saja. Reza menoleh ke arah Rain sambil menyipitkan mata. "Dia mimisan?" ucapnya pelan. "Siapa yang mimisan?" tanya Devan yang ternyata juga mendengar ucapan Reza. Bukannya menjawab pertanyaan Devan, Reza malah bangun dari duduknya. "Ayo ke UKS?" ucapnya tanpa basa-basi. Seketika ruangan sepi, perlakuan Reza berhasil menarik banyak perhatian. Bahkan guru muda yang sedang menjelaskan caranya mengajar ikut terdiam. Darah yang keluar dari hidung Rain semakin banyak. Ia tidak tahu apa sebabnya, tapi sejak kecil ia memang sudah sering mimisan tiba-tiba. Hanya ia dan beberapa orang yang tidak sengaja melihat saja yang tahu. Ia tidak pernah bilang kepada orangtuanya. Mata Rain terasa rabun karena darah yang keluar dari hidungnya semakin banyak. Syifa langsung heboh saat Rain mulai oleng. Kepalanya hampir terbentur meja karena tidak bisa menguasai diri. Kali ini Rain benar-benar tidak sanggup, pandangannya gelap, ia tidak bisa berkata apa-apa sejak tadi. Kepalanya oleng ke arah samping, tepat sekali jatuh di tangan Reza. Reza mengigit bibir bawahnya sambil memejamkan mata saat melihat darah Rain mengenai kemeja putihnya. Di saat itu juga dia langsung membopong tubuh Rain. "Saya izin antar dia ke UKS," ucap Reza kepada guru yang sedang mengajar. Guru itu hanya mengangguk. "Reza," sapa seorang perempuan dengan wajah khas Rusia. Reza kenal perempuan itu, tapi karena sudah terlalu jengah dengan sikapnya, ia pura-pura tidak kenal saja. "Dia siapa?" Reza tidak menggubrisnya sama sekali. "Felin, lu mau ke mana?" teriak seseorang dari belakang. Feling menghentikan langkahnya sambil mengerucutkan bibir. Ia tidak suka Reza membopong perempuan lain walaupun ia lihat perempuan tadi sedang tidak sadarkan diri. "Reza!" teriaknya sambil menghentakkan kaki. Reva, temannya, malah tertawa mengejek. "Masih aja lu kejar berondong, kakak kelas banyak yang naksir sama lu, bahkan anak angkatan kita juga banyak yang ngantre. Masih aja ngejar-ngejar bocah." Felin melotot. "Apa lu bilang? Bocah?" Reva langsung lari, Felin mengejarnya sambil mengangkat file absen. Mereka keluar kelas karena disuruh mengambil file absen di ruang guru. *** Reza sampai di UKS tepat saat penjaganya sedang menutup pintu, mungkin dia mau kembali ke kelas. Yang menjaganya memang OSIS bagian UKS, jadi mereka juga pasti mau belajar. Saat melihat Reza membawa Rain mata dua orang kakak kelas perempuan itu membulat, entah apa maksud dari tatapan itu. "Tolong, dia mimisan, dan enggak berhenti dari tadi." Saat Rain diobati, Reza pergi ke kamar mandi untuk membersihkan bajunya yang terkena darah Rain. Nodanya tidak sepenuhnya hilang karena ia hanya membilasnya dengan air, ia tidak mau memakai sabun kamar mandi karena ia yakin sabun itu dari tangan ke tangan, kalau ia pegang sama saja memegang kuman. Setelah noda darah sedikit hilang, ia kembali ke UKS. Ternyata Rain sudah sadar, lubang hidungnya ditutup dengan tissue. Darahnya pun sudah tidak keluar lagi. Rain menatap Reza dengan ekspresi datar, begitupun Reza. Rain langsung bangun lalu melepas tissue dari hidungnya. Darah sudah berhenti mengalir. Ia pun turun dari kasur, tubuhnya lemas, tapi ia paksakan untuk terlihat kuat. Ia merasa tidak nyaman dikasihani. Tanpa mengucapkan terima kasih, Rain langsung keluar begitu saja. Meninggalkan Reza di UKS bersama dua kakak kelas perempuan yang sejak tadi memujinya. Rain mendengkus mengingat betapa terpesonanya dua perempuan tadi. Ia seperti ini bukan karena benci dengan Reza, ia hanya sedikit kurang suka dengan sikap laki-laki itu. Padahal kenyataannya mereka tidak beda jauh, gaya bicara dan sikapnya pun hampir sama. Begitulah manusia, mudah mengatakan tidak suka ini tidak suka itu padahal dirinya sendiri tak jauh dari apa yang tidak dia sukai itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD