BAB 15

2018 Words
Rain, Syifa, Reza, dan Devan datang bersamaan di gerbang sekolah, mereka sama-sama menghentikan langkah lalu bertatapan sekilas, tak lama setelah itu Rain langsung menarik Syifa untuk melanjutkan langkahnya kembali. "Mrs Jutek, gimana rasanya duduk di motor yang masih perawan?" teriak Devan. Mata Rain langsung membulat, orang ini pagi-pagi sudah membuat darahnya mendidih. Niatnya ia tak akan membahas masalah ini lagi, setelah banyak bicara dengan Reza kemarin, ia sudah tak mau berbicara dengannya lagi, tapi anak ini malah membahasnya dengan suara tinggi seperti itu. Terlebih, apa tadi katanya, Mrs Jutek? Saat Rain menoleh Devan langsung cengengesan, hal itu semakin membuat Rain naik pitam, harusnya dia minta maaf bukan malah menampakkan wajah konyol seperti itu. "Bilang apaan lu tadi?" ucap Rain, siap membabat habis oknum bernama Devan itu. "Cie ... udahlah jadian aja, kalian cocok kok." Reza langsung memiting leher Devan sambil menyeretnya untuk pergi, tapi anak itu masih saja terus bicara. Syifa langsung mengusap-usap bahu Rain agar anak itu tidak marah-marah. "Enggak habis pikir gua, kenapa ada laki-laki sehibray dia," ucap Rain bersunggut-sunggut. "Hibray apaan, Rain?" tanya Syifa innocent. Rain menepuk kening, tanpa mau menjelaskan--karena ia pun tak paham makna sebenarnya--ia langsung melangkah begitu saja meninggalkan Syifa. Syifa langsung berlari untuk menyejajarkan langkahnya dengan Rain. Reza dan Devan sebenarnya sudah datang lebih dulu dari Rain dan Syifa, mereka keluar gerbang sekolah untuk memesan siomay, ah ya, mereka memang penggemar berat Siomay Mas Tukimin. Sejak menginjakkan kaki di sekolah ini, cinta pertama mereka dari sekian banyak makanan di sekolah ya siomay itu. "Gua nanya serius dah, Za, gimana rasanya bonceng cewek kayak Rain? Gue mau jujur nih, sebenarnya pertama masuk sekolah gua naksir sama tuh anak, cakep bener, Brother, tapi pas tau orangnya jutek gua langsung mundur, itu bukan tipe gua." Reza mendesis. "Bukan tipe lu apa dianya yang enggak mau sama lu?" Devan berdecak kesal. "Iyain aja kek, bikin gua seneng sekali-kali," ucap Devan. Kali ini Reza sudah tidak menanggapinya, ia sibuk mengunyah siomay dengan khidmat, Devan tak memiliki hak untuk mengganggu waktu emas seperti ini--di mana ia bisa menikmati siomay di kelas tanpa kena marah anak-anak perempuan seperti SMP dulu. Devan langsung bersiul saat Rain datang, meski duduk berdekatan Reza tetap terlihat santai, ia sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh Devan. "Za, udah tujuh belas tahun lamanya menjomlo enggak ada niatan buat deketin?" bisik Devan. Reza menggeleng sambil menyuap siomay terakhirnya. "Bunda gua bilang, cowok yang ngajak pacaran itu enggak gentle," ucapnya sebelum bangun untuk membuang sampah bekas siomay. Devan langsung menyusul. "Enggak gentle gimana judulnya?" tanya Devan. "Kepo lu, udah awas kenapa, sih! Nempel mulu kayak monkey, lama-lama gua disangka pacaran sama lu gara-gara lu nempel mulu gini," oceh Reza sambil menampakkan wajah kesal. Devan langsung menghindar. "Idih, siapa pula yang mau sama balok es kayak lu, mending gua berusaha memantaskan diri untuk ukhty Syifa," ucap Devan dengan nada nyinyir. Reza hanya memutar bola mata malas lalu segera berlalu dari samping Devan. Kalau saja Devan bukan manusia, mungkin sudah ia tinggalkan di halte depan agar tersesat dan tak bisa menemukannya lagi. Saat hendak masuk ke dalam kelas Reza berpapasan dengan Fatih, ia lihat Fatih dari atas sampai bawah, tanpa berkata apapun dia langsung berlalu begitu saja. Fatih pun melakukan hal serupa, entah mengapa ia merasa kalau Reza itu tidak menyukainya sejak mereka MPLS. *** Saat guru mata pelajaran kedua datang, kelas langsung riuh, bagaimana tidak, baru masuk, belum ada opening sama sekali, guru itu langsung menyuruh siswa dan siswi membuat sebuah kelompok berisi lima orang dan ia berikan waktu selama tiga puluh menit untuk memikirkan bahan untuk maju ke depan. Boleh bernyanyi, jungkir balik, sikap lilin, roll depan, atau apapun, asal jangan praktik ruqyah saja, takut jinnya keluar sungguhan. "Ukhty Syifa, satu kelompok, ya, kita?" teriak Devan. Para perempuan yang ada di sekitar Syifa langsung bersorak meledek, dalam waktu beberapa hari saja Devan sudah dikenal seantero kelas dengan sebutan fans berat Syifa tingkat kakap. "Rain, mau sama Devan?" tanya Syifa berbisik. Ia tak mau Devan atau Reza sampai mendengarnya. Sebenarnya ia tak mau satu kelompok dengan mereka. Pertama karena ia tak nyaman dengan tingkah Devan, kedua ada Reza di sana, nanti kalau perempuan-perempuan di kelas ini membencinya karena satu kelompok dengan primadona kelas kan bahaya. "Sebenarnya gua enggak mau, sih, tapi emangnya lu bisa cari kelompok sama perempuan? Tuh, lu liat aja, rata-rata mereka ber-genk," ucap Rain pelan. "Reza, satu kelompok, yuk? Gua bawa gitar nih, lu yang nyanyi," ucap si perempuan yang duduk di samping Rain, dia ini memang sudah sering mendekati Reza, tapi Reza selalu mengacuhkannya. "Gua, Reza, Syifa, sama Rain udah jadi kelompok, kalau lu mau gabung sini, tapi Reza enggak bisa diambil." Bukannya Reza yang menjawab karena ditanya, malah Devan karena tak terima teman oroknya mau diambil nenek lampir--ya Devan mengatakan perempuan itu nenek lampir karena suaranya yang cempreng membahana. Dia langsung mendesis tidak suka lalu menatap ke arah Rain dan Syifa dengan tatapan tajam. Sudah Syifa duga sebelumnya, inilah yang ia takutkan. Banyak perempuan bermata tajam yang menyukai Reza, dari ketua genk, ketua lambe turah, sampai ketua MPR, Majelis Perempuan Rempong. "Ya enggak, Za?" tanya Devan memastikan. Reza mengangguk, ia sudah lelah dengan temannya satu ini, andai saja dia bisa memendam Devan sehari saja, mungkin ia sudah melakukannya sejak pagi tadi. Anak ini memprovokasi para perempuan, nanti yang ada mereka malah saling bermusuhan, ah ... nasib memiliki wajah tampan memang seperti ini. Satu lagi Syifa yang memilih, dia bernama Tia, salah satu anak perempuan dari desa yang sampai sekarang belum memiliki teman, karena merasa kasihan Syifa mengajaknya satu kelompok, lagi pula yang lain tidak ada yang keberatan. "Kita mau nampilin apa nih?" tanya Devan, kini mereka sudah duduk berhadapan. Rain, Syifa, dan Tia duduk di satu bangku panjang yang sama, dan Reza dan Devan duduk di hadapan mereka. "Yang gua tau, Reza jago nyanyi, Rain ... walaupun gua belum pernah dengar, gua yakin dia bisa main gitar, soalnya di unit ekskul dia milih gitar, soal gitar mah gampang, anak belakang banyak yang ngumpetin gitar di dalam lemari, nanti gua pinjem. Nanti gua temenin Rain main gitar, gua juga bisa sih walaupun enggak jago. Nah lu bertiga, Reza, Ukhty Syifa sama siapa nama lu?" "Ti-Tia." "Iya, Tia, kalian bertiga nyanyi aja udah, gua yakin grup kita bakalan jadi grup Seni Budaya yang memesona kayak muka glowing-nya Reza." Reza langsung menyelepet kening Devan, anak ini selalu saja melebih-lebihkan kata-kata. Setelah menentukan masing-masing tugas, kini Devan bangun, mulai keliaran mencari dua gitar. Dia bisa mendapatkannya dengan mudah, entah pelet apa yang ia gunakan sampai bisa mendapatkan segala hal dengan mudah di mana pun berada. Kadang Reza pun aneh dengan anak itu, sampai bertanya-tanya, sebenarnya anak itu kenapa? Dan apa yang ada di otaknya? Kenapa dia sangat ajaib? Apa dia tidak bisa diam? Dan segala bentuk pertanyaan lainnya. "Lagu apaan, ya?" ucap Devan sambil memberikan Rain satu gitar. Tak lama kemudian dia memetik senar gitar. "Tolong .... Katakan pada dirinya ... lagu, ini kutuliskan untuknya ... namanya selalu kusebut dalam doa, sampai aku mampu, ucap maukah denganku?" Tepat di ujung lagu ia menatap ke arah Syifa, di saat itu juga Syifa langsung menunduk malu. Devan ini benar-benar pandai membuat perempuan klepek-klepek seperti ikan ditaruh di darat. Sudah tahu Syifa orangnya pemalu, diperlakukan seperti itu, bukannya takut baper, nanti yang ada dia trauma dan tak mau bertemu Devan lagi. Reza langsung menjitak kepala Devan. "Lu gila aja mau nyanyi lagu itu di tugas Seni Budaya, lagu kebangsaan, lha." "Apaan, Gila! Yakali kita mengheningkan cipta pakai gitar sambil gerakin kaki ke kiri terus ke kanan, tangan bersedekap, kayak paduan suara aja." Rain tersenyum miring, ternyata seorang Devan bisa membuat Rain tersenyum. "Apaan itu, Rain, apa seorang Devan yang ganteng membahana ini bisa membuat Mrs Jutek tersenyum?" Reza langsung menoleh ke arah Rain, tapi senyuman itu sudah hilang, menyisakan sorotan tajam saja. Kalau saja bola matanya tidak menempel, mungkin sekarang bola mata Rain sudah jatuh ke meja. "Lagu Indonesia Pusaka aja, cocok kok pakai gitar," ucap Tia, akhirnya dia berani mengeluarkan suara. Reza mengangguk. "Iya gua pernah denger, udah itu aja. Jangan ngadi-ngadi lu, Van, ini sekolah bukan cafe tempat biasa lu ngamen." Kali ini Devan yang memiting leher Reza, dia memang sering manggung di cafe, tapi bukan untuk ngamen, gini-gini Devan anak berada yang tidak kekurangan uang. Setelah berdiskusi yang dibarengi guyonan konyol Devan, akhirnya guru Seni Budaya kembali ke kelas. Sebelum menyuruh para siswa dan siswinya yang sudah membentuk grup ia melipatkan tangan di d**a sambil menatap dari ujung kelas bagian kanan sampai ujung kelas bagian kiri. Hening sesaat, tak lama kemudian ia bertepuk tangan sambil menaikkan kacamatanya yang sedikit turun. "Ayo, silahkan maju dari barisan paling belakang!" serunya sambil bertepuk tangan meriah. Barisan paling belakang itu barisan anak-anak nakal yang sering datang telat. Satu persatu sudah mulai maju, saat tiba giliran Rain dan teman-temannya, suasana kelas langsung riuh. Ya siapa lagi kalau bukan Devan, si biang keributan di mana pun berada. Dia melambaikan tangan seperti menyambut para penggemarnya yang sudah lama menunggu. Ya jelas saja ramai, ada yang bersorak senang ada yang bersorak meledek. Saat Reza mengeluarkan suara emasnya, para perempuan menjerit histeris, hal itu membuat Reza tertawa, suaranya terdengar seperti curut kejepit pintu. Mendengar Reza tertawa Devan dan yang lainnya pun ikut tertawa. Bukannya berhenti, mereka malah semakin keras meneriaki suara emas Reza. Nampaknya guru Seni Budaya hari ini masih belum menemukan tema apa yang akan diajarkan ke anak muridnya sampai menyuruh mereka tampil tanpa bayaran seperti ini. Lihatlah, sekarang dia hanya memperhatikan sambil bertepuk tangan seperti tim hore, tidak memberi nilai, ah jangankan memberi nilai, bawa buku pun tidak. "Terima kasih atas partisipasinya anak-anak, sebelumnya maaf Bapak hanya guru piket, guru Seni Budaya sedang tidak masuk hari ini, selama istirahat," ucapnya sebelum lenyap dari pintu. "Ah gila!" teriak para siswa dan siswi frustasi. Mereka sudah bekerja keras untuk tampilan ini, tapi mereka tak mendapatkan nilai atau apapun. Sangat mengenaskan. "Apa lihat-lihat, mau gua colok mata lu?" ucap Rain kepada perempuan yang tadi menatap ia dan Syifa dengan tajam karena tak bisa satu kelompok dengan Reza. Sepontan Reza langsung menoleh. "Jangan diladenin," ucap Reza. "Dih sengal banget nih orang, mau ngajak ribut lu, marih!" ucapnya seraya bangun dari duduk. "Lu yang daritadi lihatin gua, gua enggak suka! Kalau ada masalah bilang! Apa?!" Dia tersenyum miring lalu maju ke tempat Rain, ia menyingkirkan Syifa lalu menarik kerah baju Rain. "Karena lu tuh pantes digituin, sombong, sok kaya, bagus kali lu begitu?" Rain langsung menepis tangan perempuan itu dari kerah bajunya. Baru saja Rain hendak mendorong perempuan itu, tapi tangannya dicekal Reza. "Lu nanti masuk BK," ucapnya. Rain langsung menepis tangan Reza dan mendorong perempuan itu sampai jatuh ke lantai. Suasana semakin riuh. Syifa hanya bisa menghela napas pelan, Rain memang mudah tersulut emosi dan tidak mau kalah Saat mereka main jambak-jambakkan, Syifa langsung heboh, ia berusaha memisahkan tapi ditarik ke belakang oleh Devan. "Jangan, nanti Ukhty Syifa yang kejambak," ucap Devan sehalus mungkin. "Ih Devan, jangan pegang-pegang!" omel Syifa dengan mata menyorot tajam. Devan langsung menangkupkan tangan di d**a. "Maaf, itu spontan, Devan cuma enggak mau Ukhty Syifa kena jambak nanti kerudungnya copot," ucap Devan. Syifa hanya mendengus lalu minggir ke samping, memberikan celah untuk Devan berjalan mendekat, sepertinya dia mau memisahkan. Dan benar, ia menarik tangan perempuan itu dari kerudung Rain dan menarik tangan Rain dari rambut perempuan itu. "Mending istirahat bareng gua yuk, Rain!" ucap Devan sambil menarik tangan Rain. Rain terus berontak tapi Devan mencekal tangannya sangat keras. "Gila lu!" ucap Rain saat Devan sudah melepaskan tangannya di depan kelas. Di dalam masih riuh, bahkan perempuan tadi sedang ditahan teman-temannya agar tidak menghampiri Rain lagi. "Lu yang gila, nanti kalau lu masuk BK gimana? Malunya sampai ubun-ubun, perempuan masuk BK karena berantem, udah gitu masalah awalnya karena cowok lagi, idih, gua aja malu," ucapnya. "Iya, Rain, mending kita ke kantin sekarang, yuk?" sambar Syifa yang tiba-tiba ada di samping Rain. "Enggak mau bareng Babang Devan juga, Ukhty Syifa?" tanya Devan sambil menaik-turunkan alisnya. Syifa langsung bergidik dan menarik Rain menjauh secepat mungkin. Tinggallah Reza menahan tawa melihat Devan dicampakan seperti pecundang. "Makanya jadi laki jangan gatel," sindir Reza. Devan sudah berancang-ancang, ingin memiting leher Reza, tapi Reza langsung berlari secepat belut di empang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD