Tio dan Rangga asyik berbincang tentang harga makanan dan minuman di cafe yang tiba-tiba naik, Devan sibuk makan sampai handphone-nya berdering pun dia abaikan, sementara Reza, anak itu selalu sibuk dengan handphone-nya di mana pun dan kapan pun, Rain jadi berpikir kalau Reza ini kelihatannya saja seperti cold boy, padahal handphone-nya kost-kost-an perempuan jomlo.
"Itu siapa sih yang neleponin lu mulu?" tanya Reza yang mulai terusik dengan suara panggilan masuk dari handphone Devan yang berada di saku celananya.
Devan menggedikkan bahu sambil menyeruput cokelat dinginnya. "Mungkin fans," ucapnya setelah minum.
Reza tersenyum miring. "Tingkat kepedean lu makin jadi aja, Van," ucap Reza sambil mengacak-acak rambut Devan. Devan mendesis tidak suka.
"Salah perangkat tambahan dari ketampanan gua itu rambut, jangan acak-acak, Kambing!" ucap Devan sambil menepis tangan Reza dari kepalanya.
"Bunda lu udah pulang?" tanya Devan saat Reza kembali menatap handphone.
Reza mengangguk. "Udah," jawabnya.
"Bunda rasa doi, ya, Za, tiap lagi jauhan selalu chatingan."
Ya, selama ini Reza sibuk dengan handphone-nya karena saling berbagi kabar dengan bundanya. Bundanya itu selalu khawatir dengan Reza, setiap ingat Reza dia pasti langsung mengirim pesan, bertanya apakah Reza sudah makan, sudah istirahat, bagaimana belajarnya dan lain-lain. Reza tidak pernah merasa terganggu, justru kalau bundanya tidak mengirim kabar ia malah jadi khawatir.
Reza tertawa sambil menyibakkan rambut ke belakang. Keningnya yang glowing membuat Rain spontan memegang kening. Ternyata yang dikatakan Devan, Tio dan Rangga memang benar, Reza mempunyai wajah yang bagus, selain tampan dia juga bersih.
"Sayangnya bunda gua tuh seringnya chat pas gua enggak aktif, nah gilirian gua balesin chat-nya yang beruntut dianya enggak aktif. Sekali nge-chat ukuran satu jam chat-an, apaan aja ditanya, untung sayang," ucap Reza sambil mematikan handphone-nya, kalau tidak membalas pesan dan main game, Reza tidak akan memainkan handphone, bahkan dia tidak punya akun media sosial kecuali w******p.
Devan hanya tertawa menanggapinya, ia juga sudah lumayan dekat dengan bunda Reza.
"Udah, kan, makan sama minumnya, yaudah langsung tentuin tugas, Za," ucap Devan.
"Kalian bakat di apa?" tanya Reza sambil menatap Tio, Rangga dan Rain bergantian.
"Gitar," ucap Rain.
"Gue juga bisanya gitar," sambar Tio.
"Lu, Ga, bisa apa?"
"I'm rapper," jawab Rangga sambil berpose ala rapper.
"Lu vokal, gua drum," sambar Devan.
Hanya untuk menentukan hal semudah ini saja harus berkumpul di cafe, hal itu membuat Rain kesal, kalau tahu hanya akan membicarakan pembicaraan singkat yang bisa dibicarakan secara online, lebih baik ia memaksakan diri untuk pulang saja tadi. Wajah Rain langsung tidak bersahabat. Namun wajahnya mencair kembali saat ingat kalau handphone-nya rusak.
"Gua pulang duluan," ucap Rain sambil bangun dari duduk, meski begitu ia tetap tidak suka dengan cara Reza dan tiga laki-laki itu. Tanpa mau mendengarkan siapa pun lagi Rain langsung pergi begitu saja.
"Za, kejar," ucap Devan.
Reza menggedikkan bahu. "Males, dia udah berangkat sama gua, biar pulang mandiri."
"Heh Paijo! Jadi laki yang gentle, lu bawa dia ke sini, lu juga harus anter dia, gimana sih, muka doang laki gaya kek banci," oceh Devan.
Mata Reza membulat. "Apaan, lu bilang gua apaan tadi?" tanyanya sambil memiting leher Devan.
"Udah buruan, Reza yang ganteng dan baik hati, kalau gua yang anter drajat lu sebagai laki nanti turun, mau?"
Reza mendengkus kesal, Devan memang seperti itu, selain hobby menebar pesona, dia juga hobby membuat orang kesal. Tanpa banyak bicara lagi, Reza bangun dan melangkah ke luar, benar, ia pantas dikatakan banci kalau membiarkan perempuan tidak tahu jalan itu pulang sendiri, ia pastikan, sekarang Rain sedang kelimpungan mencari angkutan umum, ojek dan sejenisnya.
***
"Di sini enggak ada taksi, angkot dan sebagainya, kalau lu mau naik ojek pesen online," ucap Reza, dugaannya benar, Rain sedang duduk di pinggir jalan, yang lewat hanya mobil pribadi, motor, dan mobil pengangkat barang saja.
"Handphone gua rusak," jawab Rain tanpa menoleh, ia tahu itu Reza.
"Ayo gua antar," ucap Reza, ternyata dia sudah naik di atas motor. "Lu mau nunggu sampe beduk subuh juga enggak bakal lewat yang namanya angkot, taksi dan sejenisnya."
Rain menghela napas pelan lalu menoleh, wajahnya sudah tidak bersemangat. Mau tak mau akhirnya ia naik ke atas motor Reza lagi.
"Lu kenapa sekolah di Jakarta, kan di Malang juga banyak sekolah favorite?" tanya Reza tiba-tiba.
"Gua mau belajar mandiri," jawab Rain tanpa ragu. Reza bisa melihat wajahnya yang tersapu angin dari kaca sepion, Rain memang cantik, sayangnya dia terlalu tempramen.
Reza menganggukkan kepalanya. "Banyak orang yang kira lu itu sombong, lu merasa enggak kalau lu itu sombong?" tanya Reza lagi. Baik Reza ataupun Rain, mereka sama-sama tidak menyangka, Rain tidak menyangka laki-laki seperti Reza pun bisa bicara santai dengan perempuan, dan Reza tidak menyangka bisa semudah itu bertanya kepada Rain.
"Ah itu, gua enggak peduli mereka bicara apapun, lagi pula omongan mereka enggak ada apa-apanya, mereka cuma golongan orang bodoh berteori, bicara tanpa cari tau kebenarannya, biar mulut mereka capek sendiri, gua sama sekali enggak peduli," ucap Rain sambil merapihkan kerudungnya yang tersapu angin.
Reza terkekeh pelan. "Kita punya pikiran yang sama, selama ini, orang lain emang terlalu banyak berasumsi tanpa cari tau kebenarannya. Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing, selagi kita enggak merugikan dia, kelakuan kita enggak melanggar syariat atau apapun, buat apa, sih, capek-capek komentar buruk." Reza menghela napas pelan. "Dunia terlihat tanpa ujung, tapi gua ngerasa kalau dunia ini sempit."
Tanpa sadar Rain malah tersenyum dan Reza bisa melihat senyuman itu, jantung Reza tiba-tiba berdegup kencang, Reza masih sering ambigu menafsirkan perasaannya sendiri.
"Gua juga ngerasa gitu, gua selalu dihimpit, dipaksa buat berasumsi, dipaksa menjadi apa yang mereka mau, tapi ... enggak ada yang mau cari tau bagaimana perasaan gua, makhluk bumi yang lemah ini," ucap Rain, matanya menerawang jauh ke depan. "Gua enggak nyangka lu bisa nyambung bicara sama gua."
Reza tertawa kecil. "Gua juga enggak nyangka kenapa bisa semudah ini bicara sama orang menyebalkan kayak lu."
Rain langsung meninju keras bahu Reza sampai Reza mendesis kesakitan. "Gila, cewek-cewek tenaganya kuat," gerutu Reza sambil mengusap bahunya yang tadi ditinju Rain. Rain hanya memutar bola mata malas, wajahnya kembali seperti semula, senyuman manisnya hilang, ternyata mood Rain bisa naik dan turun secepat itu.
Rain sudah tak memikirkan pembicaraannya dengan Reza tadi, tapi Reza masih tidak menyangka bisa bicara santai dengan Rain. Selama ini, ia bisa bercanda, bicara santai dan sejenisnya hanya dengan para teman laki-laki yang sudah dekat saja. Hal ini agak aneh.