12. MABAR (Mandi Bareng)

1441 Words
"Istri kamu itu, mantan pekerja kelab malam atau gimana, sih, Bar?" Barat kontan menoleh. Dia sedang duduk manis di depan laptop, tentu benda itu milik Nirwana dan dia sudah izin untuk menggunakannya. Barat mulai membuat surat lamaran, dia tidak mungkin selamanya jadi pengangguran. "Maksud Ibu?" Bibir ibu Barat tampak mencebik. "Pakaiannya itu, lho. Kamu nggak merhatiin? Seksi selalu ...." Ya, memang begitulah Nirwana. Apalagi kalau malam. Namun, Barat tidak pernah berkomentar sekali pun Nirwana tidur dengan gaun tipis dan agak transparan, tanpa lengan, demi tetap kokohnya iman Barat, dia cuek-cuek saja. Sebab jika diperhatikan ... Barat langsung ulas senyuman. "Wana seksi begitu kalau mau tidur aja, kok, Bu. Dia juga wanita terhormat, pekerjaannya setahu Barat sangat sehat, bukan di kelab-kelab." "Apa iya? Mana tahu, kan, dulu sebelum kalian ketemu? Habisnya, cobalah kamu tengok baju-baju istri kamu itu ... Ibu sakit mata lihatnya." Barat kembali fokus ke laptop. "Selagi dia seksinya di depan Barat, itu bukan masalah." "Lho, lho ... pas tadi berangkat kerja, kamu pikir itu nggak seksi? Rok span membentuk lekuk badan, kemejanya ngepas pula sampai mata Ibu auto lihat ke dadanya. Seksi itu, Barat. Nggak peduli roknya melebihi lutut, bajunya tangan panjang, tetep aja kalo badan dia sampai kebentuk gitu--" "Ibu--" "Sekali-sekali perhatiin gaya berpakaian istri kamu. Malu, ah, Ibu punya mantu kayak gitu." Barat menghela napas samar. Well, maksud ibu ada benarnya, tetapi tutur kata ibu sangat tidak bisa Barat benarkan. Ibu seperti sedang menjelek-jelekkan Nirwana padanya, dan ibu .... "Bandingin, deh, coba sama Yumi. Pakaian dia itu tertutup, sukseslah dia bisa jaga muruahnya perempuan. Nggak mengundang syahwat kayak istri kamu itu, Bar." Barat geleng-geleng kepala sambil senyum simpul. Ya, itu ibu. Di balik maksud yang kata Barat ada benarnya, sepertinya itu hanya dari pemikiran positif Barat saja, maksud ibu sesungguhnya adalah ini. "Ibu jangan ngomong gitu sama Nirwana, ya." Ditatapnya lagi ibu di sebelah kiri laptop. "Ibu cuma belum kebuka hatinya buat Nirwana, jadi yang kelihatan sama Ibu itu cuma hal-hal jeleknya dia aja." Bibir ibu mencebik lagi. Barat balas dengan elusan tangan dan senyum lembutnya. Dia tidak ingin menyinggung wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya ini, tetapi tak ingin juga bila Nirwana disakiti. "Nanti Barat bimbing dia pelan-pelan, Ibu bantu doa aja. Dan soal Ayumi ... dia bukan siapa-siapa Barat, jadi tolong udahan bahas dianya, ya, Bu? Bahkan di depan Nirwana juga, cukup sebut-sebut Yuminya, Bu. Istri Barat pencemburu soalnya." Sampai-sampai bibir Barat disambar malam itu. Teringat lagi, Barat tergelitik dalam hati, mengartikan bila putrinya Alam Semesta sedang cemburu karena ibu telah membandingkannya dengan Ayumi. Ibu pun melengos di sana, lalu beranjak membawa serta raut sebalnya. "Kena pelet, ya, kamu!" Ngomel-ngomel sepanjang jalan menuju kamar yang Nirwana persembahkan untuk ibu Barat itu. Tak Barat acuhkan, dia kembali sibuk pada laptop dan mengirimkan surat lamaran pada beberapa perusahaan, kecuali Jaya Group. Barat menatap lamat logo perusahaan itu. *** "Aku laper, kita mampir dulu ke resto, ya," kata Nirwana sambil memoles wajahnya dengan bedak, retouch. Tak lupa, dia juga memoles bibir dengan gincu yang selalu dibawanya. Becermin pada cermin kecil yang juga sepaket ada dalam tas berikut jenis make up tadi. Ya, Barat menjemput istrinya itu sore ini. Seperti biasa di sebelum dia punya pekerjaan tentunya. Sekilas Barat melirik Nirwana. Perempuan itu sudah cantik, bahkan saat make up-nya luntur sepulang kerja tadi, meski begitu ... Nirwana yang tanpa riasan jauh lebih cantik di matanya. Ehm. "Nggak mau makan di rumah aja bareng sama ibu?" Nirwana kontan menoleh. "No, thanks! Lain kali aja, sekarang mood aku lagi bagus." Mengerti itu, Barat terkekeh. "Oke." Nirwana pun menata kembali rambutnya yang sudah rapi dengan jari. "Eh, betewe ... tadi aku ketemu pimpinan baru Jaya Group." Hal yang membuat Barat menoleh agak lama kali ini, tetapi lekas menatap jalanan di depan. "Terus?" "Yaa ... meski ibu kamu nyebelin, maaf-maaf aja, ya. Tapi aku akui anak-anak ibu high quality semua. Dia ganteng banget, Barat!" celotehnya. Nirwana ingat bagaimana rupa Arsen Dhanandjaya, kakaknya Barat. Betul-betul tampan, meski tidak selaki Barat, sih, perawakannya. Barat bergeming. Nirwana lalu menatapnya, melihat sesosok Barat yang ingin dia katakan, "Tapi kamu lebih ganteng dari siapa pun di mata aku." Cukup dalam hati saja dia memuji pria itu. "Ibu saya, kan, memang cantik," kata Barat kemudian. Membalas komentar Nirwana. "Oh, iya, sih. Andai nggak nyebelin ...." Bibir Nirwana mencebik. "Kenapa ibu kamu nggak nyebelin kalo sama Ayumi, tapi jadi senyebelin itu kalo sama aku? Cuma karena aku pegawai Jaya Group? Ah, nggak profesional banget," gerutunya. Barat melirik. Kata Nirwana, "Padahal, ya ... aku kurang apa?" Nirwana tak habis pikir. "Aku cantik, lahir dari keluarga yang baik-baik dan perekonomiannya juga sangat baik walau belum sebaik perekonomian ayah kamu, sih." Dia pun melirik Barat yang tetap datar rautnya. Sebal, deh. "Selain itu, finansial aku mandiri dan karier aku juga baik. Ya, kan? Kurang apa? Dibanding Ayumi, kayaknya aku lebih unggul ke mana-mana, deh." "Tapi kamu nggak bisa masak, Nirwana," sahut Barat, menahan senyumnya. So, Nirwana mendelik. "Kamu kurang di bidang yang Ayumi bisa, di sisi dia yang juga kurang dalam bidang yang kamu kuasai." Mereka adalah wanita berbeda dengan segala kekurangan dan kelebihan yang masing-masingnya miliki. Barat utarakan itu. Eh, kok, Nirwana kesal, ya, mendengarnya? "Tapi saya memilih kamu." Seiring laju mobil yang berhenti di pelataran parkir resto itu. Mereka bertatapan. "Jangan diambil hati soal ibu, saya minta maaf karena sepertinya kamu harus lebih sabar lagi." Sambil digenggamnya tangan Nirwana, lalu Barat kecup di detik Nirwana baru saja mau membuka mulut, kini kembali rapat. "Yuk, makan," katanya. Lantas, Barat pun berlalu, meninggalkan Nirwana yang masih ... abcdefghijkl di sana. Argh! Bagaimana bisa Nirwana tidak jatuh hati sama cowok itu? Di saat dulu .... "Anda berharga, Nirwana. Jangan kotori itu dengan perasaan Anda terhadap Topan. Saya memang nggak kenal laki-laki itu, tapi saya sudah mengenal Anda ... bahkan saya yang baru mengenal Anda ini, saya bisa merasakan setinggi apa nilai diri Anda." Ya, dulu. Ketika Nirwana kepergok sedang memandangi foto Topan dari ponselnya. Yang saat itu ponsel Nirwana beralih tangan kepada Barat. "Jadi, mau saya atau Anda sendiri yang hapus foto ini?" Adalah detik di mana debar jantung Nirwana terhadap laki-laki di depannya mulai terasa berbeda, melihat sosok Barat yang setenang telaga, tutur katanya, sorotan mata itu ... sial, Nirwana terpesona. "Aku aja!" Sambil merampas ponsel dari genggaman Barat, Nirwana pun berlalu masuk ke kamar, dengan jantung yang berdetak ugal-ugalan ... teruntuk Barat. Bahkan, "saya" dari lidah Nirwana berubah menjadi "aku." Ah, dulu .... Nirwana menutup wajahnya yang laun-laun panas dan memerah jambu. "Barat, tunggu!" Saat ini. Bibir Nirwana mengerucut. Dia menggerutu, "Suami macam apa!" Yang meninggalkan istrinya baper sendiri di mobil. Ish, ish! Barat melirik, menahan senyum, yang lalu dia cekal tangan Nirwana, membuatnya menggandeng lengan Barat di sini. Di sepanjang langkah mereka menuju pintu restoran itu. Sampai sini paham? Semerah apa pipi Nirwana yang tertutup bedaknya, juga senyum yang tak tahan dia ulaskan dalam sebuah tundukan kepala, pun debar menyenangkan di dadanya. *** "Oh, karena nggak bisa masak, jadi kamu nyogok Ibu pake makanan dari luar?" celetuk ibu Barat saat Nirwana menyodorkan buah tangannya, alias bungkus makanan yang Nirwana beli dari resto tadi. "Mubazir!" kata beliau. "Kalo gitu, buat apa ada Bi Sum? Masak buat makan malam, eh, kamu--" "Ibu." Barat menegur, dia memberi isyarat lewat raut wajahnya, berdiri tepat di belakang Nirwana. Barat masuk setelah istrinya. Nirwana pun menghela napas samar, tetapi senyum lebarnya tetap terukir. "Nggak pa-pa kalau Ibu nggak mau, buat Bi Sum aja. Soal makan malam, kan, Wana bisa makan lagi. Perut Wana kuat, kok, nampungnya." Tuh, kan ... mood-nya langsung anjlok. Untung tadi sudah makan dulu di luar. "Ya udah, Wana ke kamar dulu. Mau mandi, nih. Lengket." Dia pamit kepada mertua, tetapi tak lama di sebelum jauh melangkah, dia berbalik menatap Barat. "Katanya tadi mau mandi bareng?" Eh? "Ayo!" Sambil berlalu, meninggalkan Barat yang menegang dan ibu yang mencebik. "Nggak sopan!" cibir beliau. Barat pun berdeham. Pamitan. Dia susul putri Alam Semesta ke kamar yang serba pink itu. Yang mana karenanya, ibu Barat kian menggerutu. Ah, entah, deh! Dongkol dia. Yang Bi Sum perhatikan dari sudut lain rumah Nirwana, menahan senyumnya di sana. Sampai akhirnya, pintu kamar Wana tertutup. Barat masuk. Di dalam, Nirwana tersentak. Menolehlah dia. Yang Barat dekati selepas dia letakkan kunci mobil di nakas, dengan tangan yang mulai meloloskan kaus di badan, sukses membuat bola mata Nirwana nyaris gelinding melihatnya. Eh, nggak. Nggak boleh panik. Nirwana cepat-cepat atur ekspresi. "Ayo," kata Barat, berat. Bersama sorot mata tertuju lekat di lensa Nirwana, juga tubuh bagian atasnya yang sudah terekspos. "Handuk saya tolong sekalian bawa." Seraya mulai memasuki kamar mandi dalam kamar mereka, melewati Nirwana. Oh .... Dia tercekat, debar di d**a menyentak hebat. I-ini ... serius? MABAR? MAndi BAReng, eh? Nirwana menelan ludahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD