BAB 4: Pembicaraan Keluarga

2110 Words
Sinar matahari pagi mengusik tidur nyenyak Vincent, pria itu bergerak di bawah selimut, merenggangkan tubuhnya yang pegal. Vincent membuka mata perlahan, memandangi langit-langit kamar yang asing untuknya dengan keberadaan wanita yang berada di dalam pelukannya. Mata Vincent terpejam erat merasakan pengar efek dari minuman semalam. Wajah Vincent bergerak ke sisi, melihat ke arah jam di atas meja yang sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Vincent memaki dalam hati, dia terbangun kesiangan. Dengan hati-hati Vincent menarik keluar tangannya dari pelukan Cyntia, Vincent harus segera pergi dan berangkat bekerja, dia tidak boleh terlambat di hari pertamnaya naik jabatan. Perlahan Vincent bangkit, pria itu mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. “Kau mau kemana Vincent?” tanya Cyntia ikut terbangun, wanita itu terduduk mengabaikan tubuh telanjangnya yang terjatuh kepangkuan. “Aku harus pulang.” Bibir Cyntia mencebik cemberut. “Kau tidak akan tinggal lebih lama di sini? Kita masih memiliki banyak waktu untuk bersenang-senang,” rajuk Cyntia terdengar memohon. “Tidak Cyntia, ini hari pertamaku menjadi manajer.” Cyntia tergelak tertawa dengan suaranya yang serak khas baru bangun tidur, wanita itu memperhatikan Vincent dengan penuh perhatian, terpesona dengan fisiknya yang sempurna. “Ayolah Vincent, kau lupa itu perusahaan keluargamu? Tidak ada yang bisa menegurmu meski kau tidak masuk satu bulan,” goda Cyntia. Vincent menggeleng tidak setuju. “Ini masalah tanggung jawab Cyntia,” Vincent mengancingkan kemejanya, pria itu berbalik membungkuk di hadapan Cyntia, mengecup sudut bibirnya sekilas. “Aku juga tidak boleh melewatkan sarapan bersama keluargaku. Sampai jumpa.” “Sampai jumpa sayang,” jawab Cyntia dengan senyuman lebarnya. Wanita itu kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan melanjutkan tidurnya lagi. Vincent sendiri tampak tergesa-gesa pergi dari gedung apartement Cyntia, pria itu berkendara dengan cepat menuju rumahnya agar tidak tertinggal sarapan bersama dengan keluarganya. Terdengar klasik jika dia tergesa pergi untuk bisa sarapan bersama keluarganya, namun pada kenyataannya memang begitu adanya. Vincent selalu memprioritaskan ayah dan adiknya dalam keadaan apapun, dia memahami arti pentingnya keluarga meski kepribadiannya di sisi lain cukup buruk. *** “Terima kasih,” Vincent tersenyum hangat menerima secangkir kopi dengan sandwich buah yang dibuatkan Winter untuknya. Winter ikut tersenyum dan segera duduk untuk menikmati sarapan paginya sendiri. “Apa kau mau memperbaiki ruanganmu di kantor?” tanya Benjamin, ayah Vincent. “Tidak perlu, aku memakai yang seadanya,” jawab Vincent santai, pria itu menggigit rotinya perlahan, sesekali melirik Winter yang kini duduk di sisinya dan ikut makan. Vincent tersenyum dengan mulut mengunyah, dia tampak senang karena ini untuk pertama kalinya adiknya membuatkan sarapan untuknya. Senyuman Vincent sedikit memudar saat dia memperhatikan penampilan adiknya secara menyeluruh. Vincent menyadari jika adiknya kini memiliki penampilan yang lebih dewasa sejak dia kembali dari Den Haag. “Ada apa?” tanya Winter menyadari tengah diperhatikan. “Kau terlihat berubah, apa karena Marvelo?” tanya Vincent curiga, tatapan matanya yang tajam menyiratkan ketidak sukaannya saat menyebut nama Marvelo. Wajah Winter terangkat, dengan tenang gadis itu berkata, “Tentu saja, aku kan sudah dewasa,” jawabnya dengan percaya diri. Vincent tersenyum sinis, dia tidak rela jika adiknya sudah dekat-dekat dengan pria dan memiliki hubungan serius, Vincent sudah mengenal berbagai jenis laki-laki, terutama dirinya sendiri. Di mata Vincent, Winter tetaplah masih anak kecil yang harus berada di bawah pengawasannya. “Kau akan menemuinya lagi?” “Tentu saja, dua minggu sekali kita akan bertemu. Aku akan menemuinya di Belanda, kita akan menghabiskan waktu bersama.” “Kau akan pergi ke Den Haag dua minggu sekali?” Benjamin ikut masuk ke dalam pembicaraan. Tanpa ragu Winter mengangguk membenarkan. “Tentu saja Ayah, berbeda negara itu bukan masalah, lagipula hanya memakan waktu perjalanan beberapa jam saja,” jawabnya dengan enteng. Vincent melongo kaget. “Winter, kau mau mengejar si b******k itu sampai sebegitunya? Kau itu berharga, kenapa harus sampai seperti itu?” bisik Vincent tidak percaya. “Memang apa salahnya jika perempuan mengejar laki-laki? Itu cukup keren.” “Uhuk,” Benjamin tersedak kaget mendengar jawaban spontan Winter yang dipenuhi kejujuran. Benjamin mengambil segelas air dan meneguknya sampai tandas. “Kau tahu Winter, kau masih muda, fokuslah pada kuliahmu lebih dulu. Lagi pula, orang yang paling harus memikirkan pasangan sekarang adalah Vincent.” Tubuh Vincent menegak, terperanjat kaget karena kini topic pembicaraan tiba-tiba saja mengarah kepadanya. Vincent tidak suka jika membahas urusan asmaranya sendiri, lagipula dia tidak suka membangun hubungan serius. Vincent berdeham mencoba menutupi keterkejutannya. “Aku ingin melajang seumur hidupku,” jawab pria itu enteng. Winter menggeleng tidak setuju mendengarnya. “Kau melajang seumur hidupmu agar bisa bercinta dengan wanita manapun yang kau mau?” Vincent mengerjap kaget mendengar pertanyaan tidak terduga dari adik kesayangannya yang selama ini selalu di anggap polos, tiba-tiba bisa menjadi kasar dan blak-blakan. “Kakak tidak sebajingan itu, Winter,” bela Vincent dengan bibir menekuk kecewa. “Tapi untuk sekarang begitu kan?” tanya Winter lagi dengan tenang sampai membuat Vincent membeku tidak dapat menjawab apalagi mengelak. “Harus aku akui, Kak Vincent memang memiliki wajah yang tampan dan mudah menarik banyak perempuan. Tapi ini hanya akan berlaku untuk sementara, karena jika nanti Kak Vincent sudah menua, ketampanan Kakak akan hilang, bahkan uang banyak pun tidak akan berlaku. Mungkin masih ada beberapa wanita muda yang masih mau naik ke ranjang Kakak, tapi itu bukan karena pesona dan jatuh cinta lagi, namun karena uang.” Hati Vincent tertohok mendengar kebenaran yang di ungkap ole Winter. Bibir Vincent mengatup rapat, pria itu sampai tidak tahu harus berkata apa. Diam-diam Benjamin tersenyum setuju mendengarkan apa yang dikatakan oleh Winter, Benjamin harus mengakui jika perkataan puterinya memang benar. Benjamin sendiri sangat menantikan jika suatu saat nanti Vincent akan membawa seorang perempuan ke rumah dan memperkenalkannya sebagai calon isteri. “Winter benar, ayah tidak bermaksud membela siapapun, namun ada kalanya kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, apa tujuan kita hidup sebenarnya. Kita harus berpikir realistis karena kehidupan tidak selamanya masalah tentang kebebasan dan bersenang-senang, tidak selamanya akan seperti ini, ada masanya jika nanti kita semua akan berpisah, jangan sampai karena tidak memiliki tujuan hidup, kita hidup dalam kesepian di tengah tumpukan uang.” Vincent membuang napasnya dengan berat, dia memahami apa maksud perkataan Benjamin maupun Winter, namun untuk sekarang dia masih belum siap membagi kehidupannya dengan orang yang benar-benar belum bisa membuat Vincent berpikir bahwa dia adalah orang yang tepat untuknya. Vincent juga masih menikmati kehidupannya yang bebas tanpa ikatan. Di dunia ini terkadang memang ada banyak kebenaran yang sudah diketahui, namun hati nurani lebih memilih dosa dibandingkan dengan kebenaran yang sudah diberitahu oleh pikiran dan logika. Winter menyelesaikan sarapan lebih dulu, gadis itu beranjak dari duduknya dan mengambil tas. “Aku akan berangkat,” pamit Winter membungkuk, mengecup pipi Vincent dan Benjamin bergantian, gadis itu pergi dengan cepat karena harus segera ke kampus. Vincent kembali melanjutkan makannya lagi, dia sendiri harus segera pergi berangkat bekerja. “Vincent,” panggil Benjamin setelah cukup lama terdiam. “Ada apa?” Benjamin melihat ke arah pintu, memastikan jika Winter sudah pergi berangkat dan tidak kembali lagi. Benjamin kembali melihat puteranya dan berkata, “Aku sudah cukup memperhatikan Winter, sepertinya dia tertarik dengan dunia mode, ada beberapa gambarnya yang aku tanyakan kepada seorang penata busana, dan dia mengatakan Winter sangat memiliki potensi besar untuk menjadi desainer.” Vincent mendengarkan perkataan ayahnya dengan serius, dia sendiri sudah cukup sering memperhatikan Winter dan menyadari ketertarikannya pada dunia mode. “Aku akan pergi ke Thailand sore ini dan berada di sana selama beberapa hari. Tolong temui seorang pengusaha pabrik tekstil, kami sempat membuat janji, lihatlah sendiri tanah yang ingin dia jual. Aku berencana membuatkan usaha kecil untuk Winter, semoga bisa dirampungkan dalam waktu dua sampai tiga tahun.” “Tidak masalah, kirimkan saja kepadaku alamatnya,” jawab Vincent dengan senyuman, Vincent tidak pernah merasa keberatan dengan setiap waktu yang dia habiskan untuk kepentingan keluarganya. *** Biru cerah langit terlihat bersih, bunga-bunga berjatuhan menandakan musim gugur yang sedang berlangsung. Everly duduk memperhatikan setiap bangunan yang di lewatinya menuju ke kampus. Suara hembusan napas yang lelah terdengar dari dalam mulutnya, Everly tertunduk melihat pergelangan tangannya. Dulu ketika dia baru pertama kali terbangun dan menjalani kehidupan kedua, angka di pergelangan tangannya ada 1800, tepatnya dia kembali ke lima tahun belakang. Kini, angka itu berkurang dan tinggal 370. Everly tidak tahu apakah jika angka di tangannya menghilang, dia akan kembali merasakan artinya sebuah kematian. Jika memang benar dia akan kembali meninggal, Everly berharap besar dia sudah melakukan perubahan dalam hidupnya. “Kau diam-diam melakukan perawatan kecantikan?” Tanya Farah yang sejak tadi memperhatikan penampilan Everly dengan seksama. Farah yakin betul jika akhir-akhir ini ada yang berubah dengan fisik Everly, dia tidak lagi seperti gadis bodoh yang tidak bisa merawat dirinya sendiri. Everly terlihat lebih terawat. “Aku tidak memiliki uang untuk melakukanya,” jawab Everly dengan jujur. Farah berdecih jijik, “Siapa tahu kan kau menjual tubuhmu untuk memiliki uang. Tidak mustahil melakukannya, ibumu sendiri seorang p*****r,” hina Farah dengan terang-terangan. Everly membuang napasnya dengan berat, telinganya cukup panas karena harus mendengarkan banyak penghinaan yang merendahkan dirinya, meski sudah terbiasa, memang siapa yang akan bahagia bila terus dihina? Bukan hanya Farah maupun Ismi yang membenci ibunya, Everly sendiri sangat benci dengan ibunya. Bahkan, ketika ibunya meninggal, Everly tidak menangis sedikipun, justru jauh di dalam lubuk hatinya, Everly bersyukur karena ibunya sudah tiada. Dara memiliki kepribadian yang sangat buruk, dia tidak pernah menyesal dengan semua perbuatan yang dilakukan, justru Dara membawa derita yang lebih parah setelah melahirkan Everly. “Aku tidak perlu menjual tubuhku hanya untuk bisa terlihat cantik,” jawab Everly dengan tenang, membalikan penghinaan Farah. Rahang Farah mengetat menahan amarah karena merasa tersindir, setiap minggu Farah memang sering melakukan perawatan kecantikan, namun terkadang dia masih sering merasa iri dengan kecantikan Everly, untung saja Everly tidak tertarik tertarik dengan kehidupan dunia normal karena dia bercita-cita menjadi bikkhuni. Andai saja Everly tidak ingin menjadi bikkhuni, Farah pasti akan membullynya lebih keras dan meminta Jeffrey untuk menikahkan Everly dengan pria tua. “Apa kau pikir dirimu cantik? Astaga, percaya diri sekali, tidakkah kau sadar, bahkan setiap darah yang mengalir di nadimu itu di penuhi dosa. Orang-orang jijik melihatmu.” “Darah yang mengalir di nadiku adalah darah Jeffrey, jika kau mengatakan darah itu penuh dosa, kau juga dipenuhi dosa karena ada darah Jeffrey di setiap nadimu,” jawab Everly lagi dengan tenang. Farah berdecih kesal, Everly terus saja mematahkan ucapannya. Tidak berapa lama kendaraan yang membawa mereka terhenti, sopir yang berkendara berlari keluar dan berlari membukanan pintu untuk Farah, sementara Everly keluar sendirian, Everly juga diharuskan membawa tas Farah dan semua bukunya. Tidak mendapatkan perhatian khusus bukanlah masalah untuk Everly, justru dia lebih senang tidak tersorot seperti dikehidupan pertamanya. Dengan tenang Everly berjalan di belakang Farah, gadis itu melihat daun-daun berguguran yang kini berserakan belum dibersihkan. Teringat dalam benak Everly jika hari ini dia harus pergi ke kuil. Farah yang berjalan di depan Everly terlihat cemberut tidak nyaman, merasakan tatapan beberapa pria lebih tertarik memperhatikan Everly dibandingkan dengan dirinya. Farah menyadari jika laki-laki tidak hanya suka dengan perempuan cantik saja, mereka akan amerasa tertantang jika berhadapan dengan perempuan misterius seperti Everly. Dengan kesal Farah berbalik dan melihat Everly dengan tangan bersedekap. “Lain kali, saat berjalan di sampingku, kau harus memakai masker, aku jijik melihat wajahmu. Apa kau mengerti?” Everly tersentak kaget mendengarkan perkataan tidak menyenangkan Farah, Pelukan Everly pada buku yang dibawanya mengerat, menyalurkan semua amarahnya yang lagi dan lagi dihina. “Dibandingkan harus mengenakan masker, sebaiknya kau dan aku tidak berjalan satu arah,” jawab Everly. “Kau pikir aku mau mau berjalan satu arah denganmu? Aku melakukannya agar semua orang tahu orang yang ada di belakangku adalah anak haram yang menjijikan dan lebih hina dari kotoran.” “Jika kau ingin orang lain tahu aku anak haram ayahmu, bukankah itu artinya aku tidak perlu memakai masker.” Tangan Farah terkepal kuat menahan amarah, dia menghina Everly agar bisa melihatnya menangis karena dipermalukan, bukan membuat membuat Farah menjadi tersulut emosi seperti sekarang. Suara nada telepon masuk terdengar di saku pakaian Everly sedikit memcahkan ketegangan di antara mereka berdua, dirongohnya handpone itu, Everly melihat nama biksu Chen tertera di layar. “Aku harus menerima panggilan dari biksu Chen lebih dulu,” ucap Everly seraya menunjukan layar handponenya. Dengan decihan malasnya Farah tidak menjawab, gadis itu langsung pergi lebih dulu dibandingkan harus mendengarkan percakapan religious. “Ada apa Justin?” tanya Everly begitu dia mengangkat panggilan itu, rupanya yang menghubungi Everly adalah Justin dan dia selalu menggunakan kepentingan kuil untuk memperlancar urusannya. “Malam ini, aku ingin kau kembali tampil, seseorang menghubungiku dan dia akan membayar tiga kali lipat.” “Aku tidak bisa, aku harus menggantikanku yang sakit membersihkan kuil.” “Aku akan membayarmu lima ribu dollar Eve. Aku mohon datanglah.” “Baiklah, aku akan datang,” jawab Everly berubah pikiran. To Be Continued..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD