“Kalau boleh tahu kenapa Mas semalam nggak masuk, kenapa cuti?” Tanya Jessica penasaran, Arven mengernyitkan keningnya.
“Emang kenapa?” Tanya Arven.
“Gapapa Mas, aku penasaran aja. Kalau emang nggak mau di jawab gapapa kok.”
“Saya ada urusan keluarga.” Jawab Arven akhirnya.
“Aaaa gitu, yaudah kalau gitu aku permisi keluar ya Mas.” Arven menganggukkan kepalanya, Jessica keluar dan tak lupa menutup pintu ruangan Arven.
Setelah Jessica pergi, pria itu langsung mengerjakan pekerjaannya, sudah pasti menumpuk karena semalam ia tak masuk. Namun karena mood Arven sedang baik, maka muda bagi Arven menyelesaikannya. Ia sampai melewatkan makan siangnya, karena fokus pada pekerjaan. Syukurnya selesai, karena biasanya di lapangan akan sangat lama yang belum tentu bisa balik ke kantor lagi untuk menyelesaikan. Arven bahkan sudah membawa barangnya agar tidak balik ke kantor lagi. Seseorang mengetuk pintu ruangan Arven dan pria itu mempersilahkan masuk.
“Mas, udah selesai makan siang. Mas Rico nggak mau makan siang dulu?” Arven melirik alroji di tangannya.
“Kamu bisa nyetir mobil? Udah punya SIM?” Tanya Arven.
“Udah Mas, kenapa?”
“Kamu bisa nyetir buat saya? Biar saya makan di jalan.” Jessica tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
“Boleh Mas.” Senyum Arven mengembang lalu mengambil kunci mobilnya di atas meja dan memberikannya pada Jessica.
“Kamu ambil di parkiran ya, saya tunggu di lobby saya mau ke kantin beli makan dulu. Kamu bawa aja barang-barang kamu sekalian pulang, biasanya di lapangan lama. Supaya nggak balik lagi ke sini buat ambil barang.” Jessica menganggukkan kepalanya lagi.
“Baik Mas, aku duluan ya.” Jessica menutup pintu ruangan Arven. Tak lama Arven juga keluar menuju kantin dan segera ke lobby begitu selesai. Benar saja Jessica sudah menunggunya di sana dengan mobilnya, Arven masuk di kursi penumpang dan Jessica langsung saja melajukan mobilnya.
“Ga masalahkan kalau kamu setirin saya? Siapa tahu gengsi karena nyetir sendiri padahal ada cowok di sebalahnya.” Jessica tertawa.
“Enggak kok Mas, aku bukan orang yang pemikiran seperti itu. Udah Mas Rico makan aja, selagi aku setirin.” Arven membuka kotak nasi yang di bawanya sambil melirik kearah Jessica.
“Saya baru sadar kalau tadi dan barusan kamu panggil saya Rico, kenapa kamu panggil saya dengan nama pertama saya? Bukannya kemarin kamu udah sepakat mau panggil saya Arven?” Jessica tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya.
“Aku baru tahu nama lengkap Mas Rico dan aku lebih suka dengan panggilan Rico. Lebih gimana gitu menurut aku lebih keren aja cocok sama Mas Rico.”
“Emang kalau Arven nggak cocok? Saya bilangin sama Papa saya loh, karena mereka yang buat nama.” Canda Rico membuat Jessica tertawa.
“Bagus juga sih Mas, hanya aku lebih suka sama Rico aja di bandingkan Arven. Ada kesan bedanya aja gitu. Lagian aku nggak mau sama kayak yang lainnya. Manggilnya Arven. Aku mau beda dari yang lain, jadi manggilnya Rico. Ga masalahkan kalau aku panggil Mas Rico? Apa Mas Rico keberatan?” Arven tertawa lalu menggelengkan kepalanya.
“Saya nggak keberatan, terserah kamu mau panggil saya apa. Setidaknya Rico masih bagian dari nama saya, not bad.” Jessica tersenyum senang mendengarnya.
“Makasih banyak Mas.” Arven menikmati makanannya dalam diam. “Mas ga masalahkan kalau saya putar radio?” Tanya Jessica.
“Putar aja gapapa dari pada sepi.” Jessica mulai mengutak-atik tadio mobil milik Arven sambil mencari saluran yang enak, sampai akhirnya Jessica berhenti di lagu yang sedang di putar. Jessica mengikuti lirik tersebut.
“Kamu pinter nyanyi juga ternyata.” Puji Arven membuat Jessica tersenyum senang.
“Makasih Mas, saya hanya suka nyanyi aja di karokean. Nanti kalau Mas Rico punya waktu mau nggak saya ajak karokean? Nanti saya nyanyiin deh.” Tawa Arven pecah, menurutnya hal itu lucu.
“Boleh deh nanti kapan-kapan, sekarang kamu coba nyanyiin saya sekarang di sini aja. Mumpung saya lagi makan, kayak lagi di live music gitu.” Jessica tertawa begitu juga dengan Arven, maka perjalanan siang itu di temani dengan Jessica yang bernyanyi guna memecahkan suasana.
Sampai akhirnya mereka sampai ke proyek tersebut. Keduanya dengan sigap langsung bersikap professional dan bekerja langsung di sana. Arven langsung saja meninjau langsung dan bertanya kepada penanggungjawab proyek tersebut. Jessica mengerjakan bagiannya, Arven bekeliling dan bahkan naik ke gedung yang belum selesai itu. Jessica dengan setia mencatat hasil pertemuan guna mengisi apa yang di perlukan. Sampai akhirnya peninjauan tersebut selesai dari jam kerja yang seharusnya. Apalagi dengan keadaan yang hujan dan sudah mulai gelap. Jessica duduk di salah satu batu besar sambil berteduh.
“Kamu sediain sandal aja di kantor, lain kali kalau di ajak pergi ke lapangan kamu bisa ganti pake sandal atau sepatu aja biar lebih enak. Jangan pakai heels kayak gitu pasti capekkan?” Kata Arven setelah melihat Jessica duduk sambil memijat betisnya yang terasa sakit.
“Iya Mas, nanti saya akan buat di kantor. Makasih atas sarannya.” Arven melihat alroji di tangannya dan melihat ke atas langit.
“Perjalanan kita cukup lama untuk balik, belum macetnya bisa sampai malam. Kita lari aja yuk ke parkiran, kalau di tunggu bakalan lama. Kamu sanggup buat larikan?” Tanya Arven pada Jessica.
“Bisa Mas, ayo.” Dengan sigap Jessica bangkit berdiri.
“Okay hitungan ketiga lari ya.” Kata Arven memberikan aba-aba. “Satu, dua, tiga lari.” Arven langsung saja berlari dan Jessica mengikutinya dari belakang. Menuju tempat parkir mobil Arven memang sedikit jauh, setelah dekat Arven membuka kuncinya dan mereka masuk. Keduanya saling pandang dan tertawa dengan napas yang tak beraturan akibat berlari.
“Lucu ya, asyik juga.” Ucap Arven di sela tawanya.
“Iya tapi baju kita basah, deras banget hujannya.” Jessica mengibaskan rambutnya yang basah, benar hujannya terlalu deras dengan keadaan mereka yang harus berlari tanpa ada pelindung membuat baju mereka basah. Jessica menunduk guna membuka sepatunya dan meringis kesakitan.
“Kamu kenapa? Kakinya sakit?” Jessica menganggukkan kepalanya.
“Kakinya lecet Mas, apa lagi di paksa lari.” Arven menghela napasnya panjang.
“Maaf ya, saya harusnya nggak paksa kamu.” Arven mendekat ke arah Jessica guna mengambil kotak P3K di dalam dashboard, membuat Jessica menahan napas karena keadaan mereka yang sangat dekat. “Naikin kaki kamu biar saya pasangin hansaplast.” Arven tahu mengobatinya karena kaki Jessica juga sering seperti itu, jadi ia tahu harus bagaimana.
Jessica menaikkan kakinya membuat rok yang di gunakan Jessica ikutan naik dan Arven baru sadar bahwa baju Jessica basah membuat ia tahu dalaman yang Jessica pakai. Karena wanita itu tidak memakai apa-apa lagi di dalamnya selain bra. Dari dekat seperti ini Arven semakin bisa melihat bagian atas milik Jessica terutama belahan wanita itu. Dengan susah payah Arven menelan ludahnya berusaha tetap tenang dan fokus.
“Satu lagi,” Kata Arven setelah berhasil di kaki satunya. “Semoga bisa membantu ya.” Kata Arven kembali duduk tegak kembali dan mulai menjalankan mobilnya.
“Makasih banyak ya Mas Rico.” Ucap Jessica tulus. Setelah Jessica menurunkan kakinya, wanita itu tidak ikut menurunkan roknya juga, sehingga Arven masih bisa melihat paha muluk Jessica itu. Arven menggelengkan kepalanya karena pikirannya itu, sebagai pria normal jiwa itu bangkit.
*****
“Makasih Mas udah anterin aku pulang, ayo singgah Mas. Di parkirin aja mobilnya, baju Mas Rico basah bisa dikeringin di atas sekalian minum teh supaya lebih hangat. Nanti Mas bisa sakit kalau langsung pulang dengan keadaan baju basah.” Arven menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Nggak usah deh, saya langsung pulang aja nanti kering sendirikan.”
“Justru itu nanti yang buat Mas Rico sakit, ayo mampir aja Mas. Setelah kering baru pulang, sekalian hangatin tubuh Mas Rico sambil minum teh. Setidaknya dengan begitu aku bisa bantu Mas Rico karena udah baik sama aku. Jangan di tolak ya Mas.” Mohon Jessica sambil memegang lengan Arven, melihat Jessica memohon seperti itu membuat Arven jadi tak enak hati untuk menolak.
“Yaudah ini parkirnya dimana?” Senyum Jessica langsung mengembang dan segera memberitahu Arven di mana tempat parkir mobil. Setelah parkir keduanya turun dan berjalan menuju apartement Jessica.
“Duduk dulu Mas, biar aku ambilin handuk.” Kata Jessica mempersilahkan Arven duduk ketika mereka sudah di dalam.
“Oke.” Jawab Arven, Jessica meninggalkan Arven.
Wanita itu masuk ke dalam bilik suatu ruangan yang Arven duga sebagai kamar wanita itu. Arven duduk sambil memperhatikan apartement sederhana tersebut. Untuk ukuran hanya tinggal sendiri sudah lumayan besar. Hampi sebanding dengan apartement yang ia punya. Cukup luas, apalagi dengan ada dapur juga. Setelah puas menilai, tak lama Jessica keluar dari kamar membuat Arven sedikit terkejut dengan penampilan Jessica yang menurutnya cukup berani dan terbuka.
Kenapa berani, karena ia memakai pakaian seperti itu di depan pria asing. Menururtnya dirinya termasuk asing, karena hanya sebatas rekan kerja. Kalau mungkin Arven orang yang special seperti kekasih wajar kalau Jessica cukup berani berpakaian seperti itu. Jessica memakai gaun tidur bertali satu yang hanya menutupi tidak sampai setengah pahanya. Bahkan Arven tahu kalau Jessica tidak menggunakan apa-apa di balik gaun tidur tersebut.
Karena tidak ada tali bra di sana dan ada yang menonjol di sana. Gaunnya sudah pasti terbuka di bagian atas karena mampu menunjukkan hampir setengah kedua bukit kembar yang menururt Arven besar dan kokoh karena dapat berdiri tegak. Arven tak bisa pungkiri kalau penampilan Jessica sangat menggodanya dan itu sangat sexy.
Amanda tidak pernah seterbuka ini di hadapannya. Sebagi pria Arven akui kalau bentuk tubuh Jessica sangat proporsional dan sangat sexy. Ia juga bahkan tahu kalau bukit kembar milik Jessica besar dengan tubuh yang ia miliki. Sebenernya sudah terlihat kalau Jessica menggunakan kemeja kerjanya.
“Ini Mas handuknya, ada kaos juga punya sepupu aku. Kamar mandinya ada di sebelah sana.” Kata Jessica sambil menunjuk kamar mandi yang dekat dengan dapur.
Arven langsung saja menerima handuk serta kaos tersebut dan membawanya ke dalam kamar mandi. Arven bahkan sampai membasahi kepala dan wajahnya agar sadar akan apa yang ada di pikirannya. Ia harus bisa menahan diri, tak seharusnya ia menilai Jessica seperti itu. Arven pria normal yang sudah pasti senang melihat seperti itu.
Tapi ia harus sadar diri dengan statusnya sebagai atasan dari Jessica, ia tidak boleh sampai kehilangan akal. Tapi kenapa Jessica harus berpakaian seperti itu, apa karena ini apartementnya? Walaupun sebenernya Jessica cukup berani melakukan hal itu. Arven jadi sadar kalau Jessica juga cukup berani memakai rok pendek dan ketat ke kantor. Tidak hanya itu terkadang kemejanya juga ketat sehingga membuat lekukan tubuh Jessica terbentuk.
Bahkan terkadang bagian keranya sengaja di lebar sehingga memperlihat leher jenjangnya dan kalau mendekat bisa melihat belahan wanita itu. Lagi Arven membilas wajahnya ketika sadar akan penampilan Jessica di kantor. Entah kenapa ia semakin sadar setelah melihat Jessica barusan.
“Mas, udah selesai belum?” Tanya Jessica dari luar membuat Arven akhirnya sadar. Arven segera keluar dari kamar mandi dengan kaos yang sudah melekat tubuhnya. “Wah syukurlah ternyata kaosnya pas ya.” Jessica mengambil kemeja Arven yang basah, melipatnya lalu di letakkannya di atas meja. “Kemejanya tinggal aja Mas, nanti aku laundry di sini aja. Ini di minum Mas.” Kata Jessica sambil memberikan segelas teh untuk Arven.
“Makasih.” Arven menerimanya dan kembali duduk di sofa. Jessica ikut duduk di sebalah Arven dengan membawa sebuah minyak urut.
“Mas bisa pijet nggak? Boleh bantu aku buat pijet betis aku yang sakit nggak?” Tanya Jessica dengan manja.
“Hah?” Arven kaget dengan permintaan Jessica itu.
“Pijetin kaki aku Mas, soalnya sakit banget. Mau ya bantuin?” Belum lagi Arven menjawab namun Jessica sudah menaikkan kakinya ke atas paha Arven membuat pria itu terkejut. Jessica sudah berbaring dengan bantal sebagai sandarannya. Jessica tersenyum pada Arven yang kebingungan. Dengan Jessica seperti itu membuat gaun tidur Jessica semakin naik dan semakin membuat paha mulus Arven terekpose. Bahkan dari tempatnya Arven bisa melihat warna apa pakaian dalam milik wanita itu. “Mas mau bantuin kan?” Tanya Jessica lagi sambil menyodorkan sebuah minyak. Arven langsung saja menerimanya, membukanya lalu di balurkan ke betis wanita itu dan memijatnya. Jessica tersenyum senang karena Arven mau memijatnya.
“Mas Rico ternyata pinter nih mijetnya.” Puji Jessica. “Aaahhh iya di situ Mas.” Pekikkan Jessica terdengar seperti desahan di telinga Arven. Pria itu benar-benar tidak bisa konsentrasi karena pandangan di depannya sungguh menggoda. “Mas di sini.” Jessica maju ke depan menunjukkan bagian kakinya sehingga semakin membuat Arven jelas melihat bukit kembar wanita itu dari tempatnya. “Nah iya benar Mas.” Jessica kembali mundur dan menaikkan sedikit kakinya sehingga membuat Arven juga semakin jelas melihat pakaian dalam wanita itu. Bahkan Arven tahu kalau Jessica menggunakan g-string.
“Mas Rico rumahnya jauh dari sini?” Jessica berusaha mengajak Arven untuk mengobrol sambil di pijat. Jessica ingin semakin mengenal Arven, karena jujur saja semenjak pertemuan pertama mereka Jessica sudah jatuh hati pada Arven.
“Kalau rumah lumayan jauh, tapi saya nggak tinggal sama orangtua. Saya tinggal sendiri di apartement, jadi ya nggak begitu jauh di bandingkan rumah saya.”
“Wahh kirain Mas Rico tinggal sama orangtua, kapan-kapan aku boleh dong main ke apartement Mas Rico.” Arven langsung saja menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Jangan.” Pekik Arven.
“Kenapa Mas?” Tanya Jessica bingung.
“Gapapa, jangan aja.” Jessica tersenyum sambil memegang lengan Arven.
“Gapapa kalau emang nggak boleh. Aku nggak bakalan paksa Mas Rico, tapi kalau Mas Rico boleh kok main ke apartement aku. Tiap hari juga gapapa.” Arven hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan Jessica.
“Aku seneng deh, Mas Rico ternyata baik ya. Udah lucu, perhatian, pinter pijet lagi. Pasti banyak yang suka sama Mas Rico, aku aja suka sama Mas Rico.” Puji Jessica membuat Arven sedikit tertawa. Handphone Arven berdering seolah menyelamatkan pria itu. Arven menurunkan kaki Jessica dari pahanya, lalu mengambil handphone dari saku celananya dan melihat nama Amanda yang sedang menghubunginya.
“Saya angkat telepon dulu ya.” Arven menjauhi Jessica, ia kearah pintu keluar guna mengangkat telepon dari Amanda.
“Hallo sayang, kamu ada di mana? Tumben belum kabarin aku, kamu belum pulang ya?” Tanya Amanda ketika sambungan tersebut tersambung.
“Eh iya maaf ya, aku habis dari lapangan tadi ada kunjungan. Bentar lagi pulang, kamu udah selesai makan malamnya?”
“Udah dong, ini lagi di jalan pulang. Yaudah kamu pulangnya hati-hati, nanti kalau udah sampai rumah kabarin aku ya?”
“Iya sayang, salam sama Ayah dan Bunda ya.”
“Mas, mau nambah tehnya nggak?” Tanya Jessica pada Arven membuat pria itu menoleh.
“Itu suara siapa?” Tanya Amanda yang mampu mendengar suara Jessica.
“Itu anak magang di kantor, ke lapangannya sama dia. Tadi kita kena hujan, jadi mampir ke kantor sekalian ambil barang dan buat teh.” Bohong Arven, mana mungkin ia bilang kalau sedang berada di apartement perempuan lain pada Amanda. Tapi kenapa harus bohong? Ia tidak melakukan kesalahan apa-apa harusnya ia jujur bukan? Arven menyesali perkataannya barusan.
“Ooo gitu, yaudah kamu hati-hati ya. Jangan lupa kabarin aku, bye.” Amanda mematikan panggilan tersebut. Begitu selesai Arven mendekati Jessica yang sudah duduk di sofa dengan tegak.
“Jes makasih atas tehnya, nanti kaosnya saya pulangkan. Saya harus pulang, udah malam.” Kata Arven sambil melirik alroji di tangannya.
“Padahal aku baru aja mau tanya Mas Rico mau makan apa, aku mau pesan makanan.”
“Mungkin lain kali.” Jessica tersenyum senang sambil bangkit berdiri.
“Beneran ya lain kali Mas Rico harus main ke apartement aku lagi? Awas kalau enggak.” Lagi Arven seolah menyesali perkataannya, entah sudah berapa kali ia menyesali perkataannya sendiri dalam waktu yang singkat. Arven tidak mengiyakan, ia hanya tersenyum saja membalas Jessica.
“Kalau gitu saya pamit pulang ya, makasih.” Arven berjalan hendak keluar dan Jessica mengejar pria itu dan berdiri dengan cepat di hadapan Arven menghalangi pria itu yang hendak keluar. Arven tertegun sekaligus bingung, Jessica tersenyum dan mendekati Arven. Sedikit berjinjit lalu menempelkan tubuhnya di d**a bidang Arven sehingga pria itu bisa merasakan apa yang menonjol. Jessica mendekatkan wajahnya ke telinga Arven.
“Makasih Mas Rico ganteng.” Ucap Jessica dengan sensual dan setelah itu tertawa menatap Arven. “Hati-hati di jaaln ya, makasih atas pijatannya yang enak. Lain kali boleh dipijat lagikan?” Arven hanya tersenyum.
“Saya pulang.” Arven melewati Jessica lalu membuka pintu apartement wanita itu, Arven tidak lagi berbalik walaupun Jessica masih saja melihatnya dan melambaikan tangan.
Setelah jauh Arven menghembuskan napasnya dengan kasar karena bisa melewati hal yang gila menurutnya. Bagaiman tidak gila kalau di depannya ada perempuan yang secara terang-terangan sepertinya menggodanya. Kalau saja Arven tidak menahan diri, mungkin ia sudah kehilangan akal tadi. Arven cepat-cepat ingin sampai ke apartementnya guna melampiaskan hasrat yang sudah mengganggunya itu. Kepunyaannya sungguh terasa tersiksa sekarang dan harus segera di tuntaskan.
Sedangkan Jessica tersenyum senang karena berhasil membuat Arven main ke rumahnya. Ia akan mencari cara lagi guna mendekatkan diri dengan Arven. Ia akan pikirkan nanti caranya bagaimana, ia akan berjuang guna mendapatkan perhatian pria itu. Sampai akhirnya Arven takluk padanya, Jessica akan memperjuangkan pria itu. Itu janjinya pada dirinya sendiri setelah peninggalan Arven. Jessica langsung saja masuk ke dalam kamar mandi sambil bersiul senang.