Kepalaku terasa pusing sekali, beberapa kali mamak memberi minyak angin ke tengkuk. Selepas mandi tadi kepalaku terasa berat dan badanku juga terasa meriang. Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Pak Slamet tidak meninggalkan kami untuk malam ini, berjaga-jaga bila terjadi sesuatu. Mengingat ruangan ini rawan sekali, bahkan banyak yang say hello secara terang-terangan. Beliau takut ada apa-apa dengan kami, sebagai antisipasi akhirnya malam ini Pak Slamet memutuskan untuk menginap di rumah sakit. Kondisiku sendiri juga sedang tidak baik, setelah insiden kelindihan badanku terasa berat.
Apa yang aku alami tadi sore dinamakan kelindihan oleh orang Jawa. Memang menjadi pantangan bagi kami, tidur di antara dua waktu. Bahkan agama pun juga melarang untuk tidur selepas sholat ashar, terlebih sampai menginjak waktu magrib. Sebagaimana diterangkan dalam hadis bahwa diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiayallahu anha, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidur setelah sholat ashar lalu akalnya hilang, maka janganlah dia mencela (menyalahkan) kecuali dirinya sendiri. Dan itu menjadi kesalahan terbesarku sampai harus didatangi mbak kun. Efeknya sendiri masih terasa di tubuhku. Pak Slamet sekilas terus melirikku, beliau khawatir dengan keadaanku.
Sejak aku keluar dari kamar mandi, Sekar nempel terus denganku. Dia menatapku aneh, entah apa yang membuatnya seperti itu. Dari gelagatnya dia sedang menyembunyikan sesuatu, tapi tidak mau ngomong jujur denganku. Pak Slamet juga mengawasi gerak-gerik Sekar, ada yang berbeda dari adik perempuanku itu.
“Kamu nggak papa kan, Kar? Ada apa? Kalau ada apa-apa langsung ngomong aja ke mas atau Pak Slamet.” Dia menggelengkan kepalanya perlahan, tapi tetap ada yang janggal. Tangannya terus memegang ujung bajuku, seperti anak kecil yang takut kehilangan jejak ibunya di pasar. Sekar menoleh sekitar lalu menatapku ketakutan.
“Mas, nggak ngerasa berbeda dari ruangan ini?” tanya Sekar dengan nada lirih. Dia berbisik-bisik seolah takut ada yang dengar, padahal juga hanya ada Pak Slamet dan juga Mamak. Bapak belum kunjung bangun dari tidurnya, mungkin tenaganya banyak terkuras karena bergantian dimasuki oleh makhluk lain.
“Ada apa? Nggak ada apa-apa loh. Kamu lihat apa? Emangnya ada yang aneh?” Sekar menganggukkan kepalanya semangat, aku mengerutkan dahiku lalu menoleh ke arah Pak Slamet. Beliau kebetulan melihat kami langsung menganggukkan kepalanya dan memilih mendekat ke arah kami berdua.
“Mbak Sekar, biarkan saja. Dia nggak ganggu kok. Cuma pengen menampakkan diri aja, pengen say hello sama kita semua. Biarkan dia di sana, nggak ganggu kita kok. Nggak semua si mbak itu jahat, ada juga yang baik.” Pak Slamet mengusap puncak kepala Sekar. Aku semakin tidak paham. Tapi yang aku tangkap, Sekar bisa melihat barang yang tidak bisa terlihat mata. Sebuah kejutan, ini menjadi pertanda bahwa kami sekeluarga memang sengaja dibuka mata batinnya oleh seseorang.
Aku menghembuskan napasku perlahan, untung saja aku hanya bisa merasakan kehadiran mereka bukan dengan wujud mereka selama ini. Dan Sekar menjadi orang pertama yang bisa melihat hal itu di keluarga kami. Ada yang aneh, kakiku seperti ada yang memegang dan terasa dingin sekali. Perasaanku mulai tidak enak. Aku menghembuskan napas panjang dan ancang-ancang untuk melihat ke bawah sofa. Perasaanku harap-harap cemas. Berharap ini hanya sebuah botol minum dingin yang menempel ke kakiku, tapi pikiran positif itu tidak mungkin terjadi mengingat di antara kami tidak ada yang belanja minuman dingin. Tapi tetap saja aku berusaha berpikiran positif.
Kepalaku mulai merendah, aku mulai menelan ludah sendiri. Mencoba memikirkan hal positif, tapi tidak bisa. Dan benar saja sampai penglihatanku pas di depan kaki, aku melihat si mbak kun yang berada di dalam mimpi tersenyum ke arahku dengan wajah yang sama seperti awal menampakkan diri. Spontan aku langsung melafalkan istigfar, Pak Slamet hanya terkekeh geli di samping Sekar. Sepertinya beliau sudah melihat si mbak kun sebelumnya, hanya saja tidak memberitahu kami berdua. Pengen kami langsung melihatnya dan ini untuk kedua kalinya aku bertemu dengan si mbak kun.
Tak hanya berada di bawah sofa, tapi di pojok dekat pintu ke kamar mandi masih ada satu si mbak kun yang berdiri mengawasi kami. Dia menundukkan kepalanya. Aku baru menyadarinya setelah perbincangan Pak Slamet dan Sekar. Astaga, ternyata aku sekarang memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal kasat mata. Entah aku harus bahagia atau bagaimana, memiliki kemampuan seperti ini sebenarnya juga tidak enak. Hampir semua bentuk bisa melihat dengan gamblang, bahkan mungkin bisa diikuti kemana pun kita pergi.
“Berarti kalian berdua ini punya kemampuan yang sama. Kalau ada apa-apa jangan panik. Pas mereka lagi menampakkan diri ya kita biasa saja, seolah nggak tau. Mereka bakal usil kalau sampai kita panik atau takut. Jadi hati-hati ya. Pokoknya bawa enjoy.” Pak Slamet tersenyum kecil sambil mengedipkan mata ke arah kami berdua. Sebenarnya ini tidak terlalu membuat kami resah, hanya saja akan menjadikan maslaah baru. Kami berdua harus bisa mengontrol diri dan tetap menjaga reflek dengan baik. Aku dan Sekar bukan orang yang pandai menyembunyikan rasa kaget, pasti akan reflek teriak atau pun istigfar. Sebuah pr baru untuk kami berdua
***
Gelap. Satu kata yang menjelaskan posisiku sekarang, aku tidak tau saat ini berada di mana. Tidak ada satu pun orang yang melintas di sini, jalan ini sepertinya tidak pernah ku lalui sebelumnya. Terasa sangat asing sekali. Sekelilingku banyak pepohonan rimbun, pohon di sini hampir seperti jalan ke rumah Mbah Kadiran. Tapi jalan ini tak seperti jalan ke rumah Mbah Kadiran, tak ada yang mirip hanya tipe pohon saja yang sama. Kakiku terus melangkah menyusuri jalan ini, aku merasa jalan yang aku lalui tidak memiliki ujung. Terasa jauh sekali.
“Ini jalan mau kemana sebenarnya sih? Jauh banget perasaan. Terus sekarang aku dimana? Kemana semuanya? Ini mimpi apa kenyataan? Kalau ini nyata, kemana Sekar, Pak Slamet, mamak dan juga bapak? Tidak mungkin aku bangun berada di tengah hutan seperti ini, padahal aku masih ingat sebelum tidur aku berada di samping ranjang tidur bapak. Masa iya aku dibuang sama mereka? Ah, nggak mungkin banget. Ini pasti mimpi. Aku yakin banget ini cuma mimpi. Tapi gimana aku keluar dari mimpiku sendiri?” Aku mengacak-acak rambutku perlahan. Hati kecilku mengatakan bila semua ini adalah mimpi.
Kakiku berhenti saat aku melihat bapak disiksa oleh dua orang menggunakan jubah berwarna hitam, wajahnya tidak terlihat dengan jelas. Hal yang pertama aku lakukan adalah menolong bapak, kasihan sekali bapak. Aku mencoba mendekati mereka dengan membawa balok kayu yang ku dapatkan di pinggir jalan tadi, mereka tidak mengalihkan pandangannya kepada ku. Masih terlalu fokus pada bapak, mereka memukul tubuh bapak membabi buta.
“Berhenti! Ya Allah, Bapak! Ini kenapa nggak mau berhenti! Berhenti!” teriakku sambil berusaha melerai perkelahian tersebut. Tapi anehnya, mereka bisa menembus tubuhku. Aku tidak bisa memegang mereka dan aku terasa ghoib di sini. Apa yang terjadi dengan diriku? Sekarang aku berada di dunia mana? Mengapa aku tidak bisa menyentuh mereka dan kenapa aku tembus pandang?
Kedua orang berjubah tersebut tiba-tiba menghilang, menyisakan aku dengan bapakku. Aku berusaha untuk memegang tubuh bapakku dan … berhasil. Sekarang aku bisa menyentuh bapak, beliau menoleh ke arahku lalu tersenyum seperti biasanya. Astaga, aku bisa memegang tubuh bapak. Bahkan beliau bisa memegang wajahku dan memelukku dengan erat. Jujur, aku merindukan beliau. Sudah lama ingin pulang tapi belum ada waktu libur dan akhirnya aku pulang tapi posisi bapak sakit seperti kemarin.
“Kamu kenapa ada di sini, Nak? Kenapa kamu ikut bapak? Tempatmu tidak ada di sini, kamu harus pergi sebelum setan itu membunuhmu. Ayo bapak antar kamu ke tempat aman.” Aku menggelengkan kepalaku, bapak juga harus keluar dari tempat ini. Tempat ini juga tidak aman untuk bapak. Aku dan bapak bergandengan tangan, berusah berlari dan menjauh dari tempat ini.
“Lurus terus, Nak Banyu. Ikuti arah cahaya. Kamu akan kembali dengan selamat.” Aku menganggukkan kepala, suara bisikan itu terasa tidak asing di telingaku. Seperti suara Mbah Kadiran yang tengah menuntun kami keluar dari jalan panjang ini. Tanganku tidak lepas dari tangan bapak, kami berdua terus berlari mencari sumber cahaya yang dimaksud.
“Kita kemana, Banyu? Jalan di sini buntu, tidak ada jalan keluar. Sebelum dua orang jubah itu datang, bapak terlebih dahulu mencari jalan keluar tapi semua jalan di sini tidak memiliki ujung. Bapak nggak mau kamu kenapa-napa, Banyu.” Aku kembali menggelengkan kepala, menyanggah ucapan bapak. Bukan aku saja yang bisa keluar tapi bapak juga, aku yakin itu.
“Pak, kita berdua bisa keluar dari sini. Bapak jangan khawatir. Kita berdua, bukan aku aja yang bisa. Kalau aku bisa, berarti bapak juga harus bisa. Kita cari sama-sama ya, Pak. Banyu akan terus mencari jalan keluarnya. Kita harus cari sumber cahaya, Pak. Pokoknya kita bisa,” ucapku sambil menggenggam erat tangan bapak. Beliau harus memiliki rasa percaya diri dan optimis bisa melewati semua ini bersamaku.
Kami melanjutkan perjalanan terus mencari arah cahaya seperti bisikan yang ku dapat. Entah itu bisikan dari siapa tapi aku yakin sekali jika itu adalah petunjuk jalan yang benar dan bisa membebaskan kami berdua dari tempat neraka ini. Bapak mulai kelelahan, napasnya tersengal. Tapi perjalanan kami masih cukup panjang, belum ada titik cahaya yang kami temukan. Itu menjadi pertanda jika kami harus tetap berjalan entah sampai ujung mana. Sampai kami kelelahan pun belum ada pertanda jika segera berjumpa dengan cahaya yang dimaksud. Apa mungkin kami salah jalan? Tapi itu tidak mungkin, pasti si suara berbisik akan memberitahu kami.
“Bapak capek? Kita istirahat dulu aja ya, gimana?” Bapak menggelengkan kepalanya, beliau terus mengajakku berjalan. Sesekali menoleh ke arah belakang, takut jika si mahkluk berjubah tadi mengikuti kami. Jalan beliau tidak tenang, setiap langkahnya selalu menoleh ke belakang. Aku terus berlari, begitu juga dengan bapak.
Tak sia-sia perjuangan kami, ada secerca cahaya yang menyinari. Ini pertanda baik bagi kami, jalan ini memiliki ujung. Dan juga kami menemukan jalan pulang, jalan keluar dari semua kegelapan ini. Aku dan bapak bergandengan tangan bersama lalu menembus cahaya tersebut, silau rasanya. Selepas itu aku melupakan semuanya. Aku lupa dengan kondisiku sendiri.
***
Samar terdengar suara mamak yang terus memanggil namaku, tak hanya itu aku juga mendengarkan suara isak tangis di dekatku. Siapa yang mereka tangisi? Apa aku? Perlahan aku mencoba untuk membuka mata, berat sekali rasanya. Cahaya di ruangan ini menembus ke retinaku, silau. Masih terlihat buram, aku melihat mamak yang menangis sambil memelukku setelah melihat aku mulai membuka mata. Begitu juga dengan Sekar yang langsung ikut memeluk tubuhku.
“Alhamdulillah, Nak. Mamak khawatir sama kamu, Banyu. Kamu ndak papa kan, Banyu?” Mamak menghujani pipiku dengan kecupan kecil, beliau menangis haru dengan memelukku kembali. Sekar ikut menangis melihat aku kembali sadar diri. Apa yang baru saja aku lewati? Mengapa mereka jadi menangis seperti ini?
Aku diberi air putih oleh Sekar, setidaknya tenggorokanku yang kering bisa kembali pulih seperti biasa. “Aku nggak papa kok, Mak.” Pandanganku jatuh pada Sekar, aku ingin meminta penjelasan dia lebih lanjut lagi. Sepertinya banyak hal yang aku lewatkan selama tidur dan berlari-lari bersama bapak.
Sekar menghela napasnya panjang lalu menghapus jejak air matanya. “Kamu udah dua hari nggak sadar, Mas. Bapak juga udah dua hari lebih nggak sadar, kata Mbah Kadiran kalian berdua ditarik sama makhluk penghuni alam lain. Si mbak kun yang kemarin kita lihat itu ternyata jadi portal kamu sama bapak buat sampai ke alam mereka. Untungnya Mbah Kadiran segera datang dan mencoba memberikan jalan pulang, Mas, jadi selama dua hari ini kamu cuma tidur aja, Mas, kayak orang tidur biasa tapi kamu nggak bisa bangun.”
“Kita semua panik, Mas. Panik sama kondisi kamu, Mas. Bapak juga nggak bisa bangun, padahal kata Mbah Kadiran itu kan cuma dua jam tapi ternyata bapak malah dibawa sama si mbak kun. Disembunyikan sama mbak kun entah di alam mana. Tapi yang jelas Mas Banyu udah kembali, tinggal nunggu kabar dari bapak. Nanti kita tunggu kabar bapak bagaimana, semoga aja bapak baik-baik aja.” Sekar kembali menyeka air matanya perlahan. Ia terus mengeluarkan air matanya padahal bibirnya memasang senyuman lebar.
“Jangan nangis, Mas Banyu udah kembali lagi kok.” Aku memeluk mamak dan juga Sekar, kami menangis haru bersama. Mereka berdua menangisi aku, padahal aku sendiri merasa hanya berkelana di dunia mimpi bersama bapak.
Si suara pembisik itu adalah Mbah Kadiran, benar seperti dugaan ku awal. Mbah Kadiran yang memberi bisikan padaku, beliau yang memberikan jalan kembali untuk aku dan bapak. Mengapa hidupku rumit dengan dunia perghoiban setelah bapak menerima santet itu? Semua menjadi serba alam lain sekarang dan aku perlu berhati-hati. Aku memiliki kemampuan yang tak bisa dimiliki oleh banyak orang, dan itu menjadi salah satu potensi untuk penghuni alam lain mendekat. Karena aku memiliki daya tarik tersendiri di mata mereka.