Hawa dingin berangsur menghilang, aku merasakan badanku mulai gerah. Mungkin karena jaket yang ku kenakan masih melekat dan membalut tubuhku dengan sempurna. Pak Slamet berkali-kali menoleh ke arahku, entah apa yang ingin beliau katakana. Tapi sepertinya itu adalah hal yang serius. Matahari mulai meninggi dan udara hangat mulai terasa membelai permukaan kulit kami. Perbincangan kami dengan Mbah Kadiran pun mulai merembet kemana-mana, dari aktivitas sehari-hari sampai beberapa barang yang beliau pajang. Semua tak luput dari serbuan pertanyaan kami yang sudah menggumpal di kepala.
“Jadi, bagaimana keadaan Pak Soma? Saya dengar kok beliau sedang sakit,” tanya Mbah Kadiran. Pak Slamet menghela napas panjang lalu menganggukkan kepalanya perlahan. Sebenarnya aku tak tau harus menjawab apa, karena semua masalah bicara dengan Mbah Kadiran itu menjadi tugas Pak Slamet. Dan aku percayakan semuanya kepada beliau.
“Ada yang iri. Ini sakitnya bukan sakit penyakit dokter, Mas Banyu. Saya akan mencoba membantu Pak Soma sesuai kemampuan yang saya bisa. Jangan sampai Pak Soma ditinggal sendirian. Meski sekarang belum sadar, tapi tetap ditemani saja dulu. Tubuhnya itu masih rawan, Mas, banyak yang ngantri pengen masuk ke tubuh Pak Soma. Ini karena pintunya sudah ada yang buka, jadi semua makhluk itu pada tertarik.” Mbah Kadiran menatap kami dengan tatapan lurus, seolah pandangannya sedang menerawang kondisi bapakku yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
“Yang buat juga bukan orang jauh, masih dekat. Masih punya ikatan paseduluran raket. Bisnis Pak Soma kan sekarang lagi naik daun istilahnya, jadi ada orang yang iri. Nggak suka lihat bisnis beliau lebih berkembang pesat. Ini bukan sembarang ilmu hitam yang digunakan, Mas.” Mbah Kadiran menyatukan kedua tangannya, pandangannya masih lurus. Hawa di dalam ruangan ini kembali terasa dingin seperti terselimuti salju tebal. Pak Slamet menoleh ke arahku sambil mengerutkan dahinya, bahkan beliau menutup hidung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Bau bangkai busuk tercium menusuk sekali di dalam hidung. Astaga, ini bau apa sebenarnya?
Tak selang lama berganti semerbak bau wangi melati, ini pun tak kalah menyengat di hidung. Aku sampai menutup hidungku, tak kuat. Mulut Mbah Kadiran komat-kamit, seperti sedang membaca sesuatu. Apa itu mantra? Kepalaku terasa pusing mencium aroma melati, sekuat tenaga aku memegang pinggiran kursi agar tetap terjaga keseimbangan tubuhku. Pak Slamet memegang pundakku sambil mengerutkan dahinya, ia seolah bertanya ‘kenapa?’. Aku hanya menggelengkan kepalaku singkat.
“Ini, banaspati.” Aku dan Pak Slamet menatap Mbah Kadiran penuh tanda tanya. Apa itu banaspati? Beliau sudah menjadi normal kembali sekarang, pandangannya sudah seperti biasanya. Kerutan di dahi kami semakin dalam saja. Bau melati dan busuk sudah menghilang entah kemana. Hawa dingin pun mendadak kembali menjadi menghangat. Semua sudah menjadi baik-baik saja. Hanya saja kepalaku mendadak berat memikirkan apa itu banaspati. Apa itu sejenis makluk jadi-jadian yang bisa mengancam nyawa?
“Banaspati itu santet. Santet paling sakti. Perwujudannya itu mirip bola tapi diselimuti api, jadi dia itu bola api menyala biasanya langsung terbang ke rumah korban atau sasaran. Pasti sebelum Pak Soma seperti ini, sudah ada hal yang aneh. Mungkin seperti sesuatu benda jatuh di atas rumah. Atau mungkin malah ada tetangga yang lihat langsung si banaspati turun di rumahmu, Mas.” Mbah Kadiran mengusap wajahnya gusar. Tatapannya mendadak menjadi lemas. Aku tak terlalu paham dengan si banaspati. Bola api yang menyala dan terbang. Dan itu adalah santet.
Pikiranku malah melayang pada pertanyaan siapa yang tega mengirimkan hal seperti ini pada bapak? Kok sampai hati buat orang lain celaka. Hati yang sudah terselimuti dengan iri dengki terkadang lebih menyeramkan ketimbang hantu sekali pun. Mereka menghalalkan segala cara agar rasa dendam dan irinya tersebut tersampai dengan baik. Seperti halnya dengan bapak yang menjadi korban sifat tamak seorang manusia. Aku berkali-kali istigfar di dalam hati. Yang dihadapi bapak bukan lagi seorang manusia biasa, tapi manusia berhati setan. Tidak ada manusia yang sampai hati mengirimkan hal keji seperti ini pada manusia lain. Aku percaya bapak selama ini tidak mungkin menyenggol orang lain terlebih dahulu, tapi kenapa malah orang lain menyenggol sampai keterlaluan.
“Banaspati itu kuat, Mas. Jarang ada yang bisa selamat dari santet banaspati.” Mbah Kadiran menghela napasnya, pasrah. Jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Maksud dari Mbah kadiran ini apa? Tak mungkin bapakku menyerah, aku tau beliau orang yang kuat dan tidak mudah menyerah begitu saja. Tapi mendengar ucapan dan juga ekspresi Mbah Kadiran membuatku sedikit khawatir. Aku tak sepenuhnya percaya dengan ucapan Mbah Kadiran. Masih ada Tuhan yang menulis semua takdir kehidupan manusia. Aku percaya Allah memiliki rencana yang lebih baik untuk bapakku.
“Tapi, kita kembalikan lagi ke yang punya kehidupan, Mas. Manusia bisa menebak, tapi tetap kembali lagi ke Yang Maha Kuasa. Penentu jagat raya ini. Jadi kita tetap berdoa saja yang terbaik untuk Pak Soma, beliau pribadi yang kuat.” Mbah Kadiran tersenyum ke arahku dan juga Pak Slamet. Aku masih kepikiran dengan siapa yang mengirim semua ini ke bapak. Mbah Kadiran belum mau memberikan jawaban yang gamblang, kata beliau nanti akan terungkap sendiri. Yang jelas kami satu keluarga harus tetap berhati-hati.
“Saya akan tetap bantu kalian dari sini. Kalau semisal ada hal yang begitu genting langsung telpon saya saja. Sebisa mungkin tak usahakan datang untuk membantu. Semoga Pak Soma segera sembuh.” Mbah Kadiran mengambil buku di rak meja belakangnya. Ia menuliskan nomornya lalu merobek kertas tersebut dan memberikannya padaku. Aku hanya menganggukkan kepalaku, sobekan kertas tersebut ku saku di jaket.
Pak Slamet menatapku sambil menganggukkan kepalanya, memberiku kode untuk segera bersiap pulang. Kami tak bisa lama-lama berada di rumah Mbah Kadiran, pikiranku selalu saja terbang pada bapak yang belum sadar di rumah sakit. Terlebih yang membuat beliau sampai harus seperti ini bukanlah penyakit biasa yang sering disembuhkan dokter, melainkan sakit yang dibuat manusia. Atau biasa kami menyebutnya dengan kiriman santet.
Aku menjadi khawatir dengan keadaan bapak, terlebih ucapan Mbah Kadiran terus terngiang di kepalaku. Banaspati itu kuat, Mas. Jarang ada yang bisa selamat dari santet banaspati. Bagaimana jika ucapan Mbah Kadiran itu benar terjadi? Aku tidak siap kehilangan bapak. Tapi, Mbah Kadiran bukan Tuhan. Aku percaya dengan keajaiban Allah yang tak pernah disangka-sangka. Bapak adalah orang yang kuat, aku yakin bapak bisa melewati semua ini.
Pak Slamet berpamitan pada Mbah Kadiran, begitu juga dengan aku. Kami tak mungkin berlama-lama meninggalkan bapak dan mamak, terlebih kondisi bapak yang belum stabil sama sekali. Aku jadi takut dan khawatir bila harus pergi terlalu lama. Mamak hanya ditemani oleh adikku, mereka pasti juga tidak tenang memikirkan aku dan Pak Slamet yang dari subuh sudah meninggalkan mereka.
“Pak, kok saya jadi kepikiran ya sama ucapan Mbah Kadiran tadi. Apa iya bapak nggak bisa diselamatkan, Pak? Saya tau bapak itu kuat, jadi nggak mungkin bapak kalah. Tapi pikiran saya jadi nggak tenang gini ya.” Kami berdua sudah berada di atas motor, Pak Slamet pun masih terdiam mendengarkan ucapanku. Mungkin beliau masih mencari kata-kata yang pas untuk menjawab ucapanku, agar pikiranku tidak terlalu kalut dengan ucapan Mbah Kadiran tadi.
“Mas Banyu, jangan terlalu percaya dengan ramalan orang. Semua kita percayakan pada Sang Pencipta, Mas. Kita kan juga nggak tau umur seseorang sampai kapan, Mas. Jangan mikir yang neko-neko dulu. Yang punya kuasa atas diri semua makhluk itu ya Gusti Allah, Mas Banyu. Saya juga ndak membenarkan ucapan Mbah Kadiran, tapi ada beberapa ucapan beliau yang bisa kita jadikan waspada. Kalau benar semisal Pak Soma kena guna-guna, berarti Mas Banyu dan sekeluarga harus terus mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Kita meminta pertolongan pada Allah, Mas.” Aku menghela napas perlahan, benar apa yang diucapkan Pak Slamet. (neko-neko= macam-macam)
“Tapi kenapa ada yang tega ke bapak sampai mengirimkan santet segala, Pak. Padahal setau saya bapak itu nggak pernah nyenggol orang lain duluan, kok bisa sampai ada yang begini ke bapak. Kalau bisa diganti, biar saya aja yang merasakan semua penderitaan bapak. Bapak terlalu baik untuk mendapatkan semua ini.” Air mataku bahkan sudah ingin meronta-ronta keluar dari pelupuk mata. Membayangkan wajah bapak yang pucat dan tidak bisa melakukan aktivitas apa pun seperti biasanya membuat hatiku teriris. Aku ingin bapak kembali seperti sedia kala, melakukan aktivitas seperti biasanya.
“Manusia itu ada macam, Mas, ada yang baik dan ada yang jahat. Terkadang yang terlihat baik sama kita, memberikan pujian, perhatian bahkan mau menolong bisa aja di belakang kita malah yang paling menusuk. Bermuka dua. Luarnya baik, tapi dalamnya busuk. Manusia kalau sudah dikuasai iri dengki, jahatnya melebihi iblis. Menghalalkan segala cara agar dendamnya bisa tersampaikan. Dan tidak akan berhenti sebelum semua dendamnya terbalaskan,” jawab Pak Slamet enteng. Dan entah mengapa ucapan beliau memang benar adanya.
Manusia selalu gelap mata, melupakan alam sadarnya ketika dendam, iri dan dengki sudah menguasai pikiran dan hatinya. Seperti yang dikatakan Pak Slamet, bakal menghalalkan semua cara agar dendamnya terbalaskan. Bapak menjadi korban hal tersebut. Seseorang yang tega mengirimkan hal keji ini kepada bapakku. Pikiranku hanya terisi pertanyaan siapa, siapa dan siapa. Siapa orang itu yang tega mengirimkan semua ini? Mengapa sampai hati? Apa salah yang pernah bapak perbuat sebelumnya? Kepalaku terasa ingin meledak memikirkan semuanya.
“Udah, Mas, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Kita berdoa dulu kepada Yang Maha Kuasa agar diangkat semua penyakit Pak Soma. Pasti ada jalan di setiap masalah, Mas Banyu. Ini semua ujian, Allah ingin mengangkat lebih tinggi lagi derajat keluarga Mas Banyu. Saya akan tetap ikut bantu Mas Banyu, jangan khawatir sendirian. Pak Soma itu baik banget, jadi nggak mungkin saya tega ngebiarin Mas Banyu montang-manting sendirian.” Aku menganggukkan kepalaku perlahan, ternyata masih ada yang baik seperti Pak Slamet. Beruntung sekali aku masih dikelilingi orang baik.
Kami melewati jalan yang sama dengan jalan berangkat tadi pagi, tak seburuk tadi pagi. Satu dua kami berpapasan dengan motor dan mobil, udaranya pun tidak terlalu lembab. Tapi memang cahaya matahari hanya menembus sekitar lima puluh persen saja, pepohonan di sini sangat rimbun sekali. Berarti dugaan ku tadi pagi benar. Mau pagi, siang atau pun sore hawa di jalan ini masih sama saja. Terlebih tidak ada satu pun rumah sepanjang perjalanan kami menuju rumah Mbah Kadiran, hanya ada pohon, pohon dan pohon. Kami menjumpai perkampungan setelah hampir mendekati rumah Mbah Kadiran itu pun hanya satu dua saja dengan jarak yang cukup terbilang jauh.
“Mas, rumah Mbah Kadiran unik ya? Semua terasa, aneh. Mas Banyu merasakan hal yang sama enggak?” tanya Pak Slamet dengan menatapku dari arah spion motor. Aku hanya menganggukkan kepala ragu, ada perasaan takut saat menjawab pertanyaan Pak Slamet tersebut.
“Banyak banget ya yang dipelihara. Pantes Mbah Kadiran menjadi yang paling disegani ya, Mas Banyu. Ngeri sedap kalau peliharaannya banyak kayak gitu,” lanjut Pak Slamet. Aku mulai tak paham dengan arah pembicaraan Pak Slamet. Apa yang dimaksud peliharaan? Padahal aku tidak melihat apa pun di sana, seekor ayam pun ku rasa tidak ada. Lalu yang dimaksud ini peliharaan yang mana? Astaga, apa jangan-jangan peliharaan tanda kutip?
“Jujur saya ndak paham dengan arah pembicaraan Pak Slamet. Peliharaan yang mana, Pak? Perasaan tadi ayam aja nggak ada loh. Biasanya kan ayam kalau di desa itu berkeliaran dimana-mana, tadi malah nggak ada. Sapi, kambing atau pun domba juga nggak ada. Terus peliharaan yang mana, Pak? Kok saya jadi gagal paham gini ya,” jawabku dengan dahi penuh kerutan dalam. Aku benar-benar tak paham dengan yang dimaksud Pak Slamet. Perasaanku tidak ada satu pun hewan yang berkeliaran di pekarangan rumah Mbah Kadiran, bahkan kendang sapi, kambing atau pun domba juga tidak ada.
Pak Slamet berdehem sebentar lalu menghembuskan napasnya perlahan. “Bukan peliharaan yang bisa dilihat mata maksud saya, Mas. Tadi banyak banget yang berlalu lalang di dekat kita sebenarnya, saya yang tidak punya bakat khusus buat melihat hal ghoib tapi untuk pertama kalinya saya tadi melihat hal itu. Terkejut banget saya tadi, Mas. Tapi kalau saya teriak-teriak pasti jadi aneh suasananya kan, jadi sebisa mungkin saya mengendalikan diri. Kelihatannya semua udah jinak, Mas, nggak bakal ganggu kita.”
“Tapi, tadi lukisannya hidup, Pak. Semua isi rumah Mbah Kadiran itu beraura mistis, Pak. Semua terasa bernyawa. Saya hanya merasa semua punya nyawa,” tambahku. Memang semua benda yang berada di rumah Mbah Kadiran terasa hidup dan nyata bila dilihat sekilas mata. Tapi mungkin memang benar seperti itu nyata adanya.
“Semua itu terasa aneh, Mas Banyu.” Aku hanya menganggukkan kepalaku, setuju dengan pendapat Pak Slamet.
Aku menatap kiri kanan sisi jalan, di sini pun terasa banyak yang menatap kami berdua. Tapi aku tak bisa memastikan apa saja itu wujud mereka, hanya merasa tak lebih dari itu. Di sepanjang jalan ini aku yakin berbagai spesies dari negeri ghoib ada semua di sini, berkumpul menjadi satu dan beranak pinak menjadi banyak. Jumlah para makhluk itu sudah seperti populasi manusia yang mendiami di Provinsi Jawa Timur. Berjubel.
“Jangan lihat kiri kanan, Mas, nanti kalau kelihatan satu yang lain pada ikutan nampakkan diri. Mending nunduk aja sambil baca doa. Saya juga merasa merinding di sini, udah pengen cepet-cepet keluar tapi kok perasaan saya jalannya terasa jauh banget ya.” Aku hanya nurut saja dengan ucapan Pak Slamet, aku tidak mau mengambil resiko terlalu besar. Jadi lebih baik aku menunduk dan merapalkan doa yang aku bisa. Setidaknya biar kami berdua segera keluar dari hutan ini, hutan sejuta spesies ghoib.